PARADIGMA BARU DALAM PEMBELAJARAN KESENIAN[1]
OLEH:
INDRAYUDA dan A.S. HARDY SYAFII[2]
PUSAT PENGAJIAN SENI UNIVERSITI SAINS MALAYSIA
ABSTRACT
This article focuses on the new pradigm of arts learning. This study is based on the research in
PENDAHULUAN
Beberapa tahun ke belakang dan saat ini berdasarkan hasil penelitian dan laporan dari guru-guru kesenian yang mengajar kesenian di berbagai sekolah yang ada khususnya di Sumatera Barat, Jambi maupun Bengkulu, menunjukkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan pengajaran kesenian di dalam kelas. Hal demikian dapat dilihat dari kurangnya motivasi siswa dan kreativitas serta kemampuan atau keterampilan mereka dalam memahami dan mempraktikkan mata pelajaran kesenian tersebut, seperti tari dan musik. Hal inipun disebabkan pula oleh fasilitas yang kurang tersedia.
Fenomena ini dari tahun ke tahun selalu seperti itu, alasan klasik ini yakni siswa kurang berminat, banyak siswa yang pada saat proses belajar kurang terfokus dalam menanggapi berbagai materi yang diajarkan guru dalam bidang seni tari, musik maupun drama. Guru kesenian yang mengajar sering tidak mendapat respon yang baik dari siswa, akibatnya gurupun merasa gusar. Dengan memperhatikan kenyataan tersebut, maka sudah barang tentu tujuan pembelajaran kurang tercapai.
Merujuk pada kurikulum mata pelajaran seni yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, secara umum untuk menumbuhkembangkan sikap dan perilaku siswa atau anak didik yang berloyalitas dan bertoleransi, di samping dapat mengembangkan diri dalam hal intelektualitas, kepribadian yang disampaikan melalui materi pembelajaran kesenian[3]
Seperti halnya yang tertera dalam buku Panduan Kurikulum yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang berbunyi:
Mata pelajaran Pendidikan Seni memiliki fungsi dan tujuan menumbuhkembangkan sikap toleransi, demokrasi, beradab, serta mampu hidup rukun dalam masyarakat yang majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual, ekspresi melalui seni, mengembangkan kepekaan rasa, keterampilan serta mampu menerapkan teknologi dalam berkreasi dan dalam memamerkan dan mempergelarkan karya seni. (Depdiknas, 2003; 2-3)
Inti dari kurikulum ini sudah barang tentu memperbaiki citra atau sikap siswa di samping memacu daya kreatifitas siswa, dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana membentuk siswa yang mandiri dengan mengembangkan kemampuan diri yang terarah yang dipandu oleh guru melalui mata pelajaran kesenian. Mata pelajaran seni merupakan media atau jembatan untuk mendorong siswa dapat bertoleransi, berkreasi dengan mengembangkan diri dan kepribadiannya.
Andai usaha-usaha yang dilakukan melalui mata pelajaran seni, di mana usaha-usaha tersebut mengalami hambatan dalam menerapkannya. Seperti guru tari di berbagai SLTP dan SLTA di Sumatera Barat, Jambi dan Bengkulu[4] dan mungkin hampir di Sumatera, di mana banyak guru seni yang mengeluh terhadap sulitnya menerapkan materi pada siswa, sehingga banyak siswa yang tidak mampu menguasai materi. Hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan siswa tidak mampu mengembangkan diri, atau siswa pada akhirnya memiliki prestasi yang belum memadai dalam nilai mata pelajaran bidang kesenian seperti seni pertunjukan yaitu tari, musik dan drama.
Di sisi lain, pendidikan kesenian seperti drama, musik, dan tari[5] sangat berbeda dengan pendidikan atau mata pelajaran lain dalam pengungkapannya. Seni drama menggunakan dialog dan akting atau mimik wajah dan bahasa tubuh , sedangkan musik menggunakan bunyi-bunyian dan tari menggunakan gerak yang mengisi ruang dan waktu, seni rupa menggunakan unsur rupa sebagai media ekspresi mengungkapkan gagasan . Keempat jenis kesenian ini, perlu mendapat cara dan pemahaman tertentu untuk menyampaikannya pada orang lain. Andai guru adalah penyampai, maka orang lain itu adalah siswanya (Astuti, 2002 :1987).
Lebih hlanjut Fadli (2005:1979) menjelaskan bahwa kegagalan guru dalam mentransformasi mata pelajaran kepada siswa disebabkan kurang menguasai strategi pembelajaran di antaranya metode dan media pembelajaran. Bahwa guru tidak menguasai metoda dan media pembelajaran dengan baik yang pada akhirnya berakibat pada tidak tercapainya hasil pembelajaran yang baik. Seharusnya guru menguasai metoda dan media dengan baik agar proses transformasi dari guru ke siswa dapat berjalan dengan baik pula, yang akhirnya siswa dapat menangkap komunikasi yang disampaikan oleh guru sehinggga pengetahuan mengenai tari, drama dan musik tersebut dapat diserap oleh siswa.
Kemampuan menguasai metode dan media saja, belum cukup menjadi jaminan akan tercapainya tujuan pembelajaran yang ideal, berdasarkan kepada tujuan pembelajaran kesenian dalam kurikulum pendidikan kesenian yang dicetuskan oleh Depdiknas Indonesia, tetapi bagaimana kemampuan menguasai metode dan media sejalan dengan kemampuan menempatkannya. Maksudnya, adalah penguasaan metoda ditempatkan pada kondisi yang tepat. Terkadang mungkin metoda ceramah yang tepat digunakan dalam situasi dan kondisi saat pembelajaran berlangsung , dan sebaliknya metoda diskusi ataupun metoda demonstrasi yang lebih tepat digunakan dalam saat kondisi dan situasi yang lain. Begitu juga dengan memilih media mesti menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran yang dilaksanakan.
Melihat pembelajaran kesenian merupakan sebuah pembelajaran yang berhubungan dengan kognitif dan psikomotorik[6]. Artinya bahwa dalam mata pelajaran kesenian yang diajarkan adalah pengetahuan dan keterampilan. Kedua aspek ini terdapat dalam pembelajaran tari, drama dan musik. Tanpa pengetahuan, kemampuan motorik juga tidak bisa diajarkan, sebaliknya tanpa ketrampilan motorik, siswa tidak akan terampil dalam mempraktikan materi pembelajaran tersebut.
Oleh karena itu mungkin perlu guru-guru kesenian di sekolah baik di Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas, saat sekarang mulai berpikir dengan paradigma baru, bahwa metode yang usang dan media yang tidak lagi up to date[7]perlu digantikan dengan hal-hal yang baru dan relevan. Hal ini terkait kepada strategi yang tepat yang dipilih oleh pengajar seni di sekolah, salah dalam menerapkan strategi maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Oleh yang demikian guru kesenian mesti merubah paradigmanya baik dalam sistem mengajar maupun terhadap tujuan dan sasaran pembelajran kesenian di sekolah umum. Selama ini paradigma guru bahwa kesenian adalah mata pelajaran pelengkap penderita hal ini juga perlu diubah, apalagi paradigma dalam sistem pembelajarannya yang lebih banyak berpraktik dengan menjadikan siswanya sebagai robot-robot yang tidak berekspresi dan kurang memiliki naluri estetis.
Merujuk berbagai paparan tersebut yang telah diuraikan di atas, maka makalah (paper) ini akan difokuskan pada paradigma baru dalam pembelajaran kesenian khususnya dalam pembelajaran yang berhubungan dengan seni pertunjukan, seperti tari, musik dan drama.
PEMBAHASAN
1. GURU MESTI MERUBAH PARADIGMA TERHADAP PEMBELAJARAN KESENIAN
.
Selama ini guru cenderung menganggap bahwa pembelajran kesenian di sekolah merupakan sebagai mata pembelajaran nomor dua, artinya pembelajaran kesenian dipandang tidak akan menghasilkan apa-apa. Sehingga guru keseniaan sebahagian ada yang mengajar asal-asalan saja, atau sebagai pelepas tanggung jawab saja. Di sisi lain guru menganggap kesenian hanya sekedar pengisi waktu luang saja, tidak seperti mata pembelajaran matematik, fisika dan kimia atapun bahasa inggeris dan ekonomi. Sehingga guru lainpun malah terkadang kepala sekolah sendiri berpandangan bahwa mata pembelajaran kesenian adalah sebagai mata pemebelajaran yang terlalu penting, karena dianggap mata pembelajran hura-hura.
Selain itu, guru kesenianpun dalam paradigma pembelajarannya menganggap siswanya sebagai robot-robot yang mampu dikendalikan dengan remote kontrolnya, yaitu dikendalikan dengan ceramahnya saja, serta sebahagian guru memang suka berceramah, meskipun siswanya sudah terkantuk-kantuk, sehingga tidak terjadi umpan balik yang bersifat kondusif dan membangun dari sisanya. Banyak guru kesenian selalu berpiir bahwa dia adalah guru yang mengajar sedangkan siswanya adalah murid yang diajar, artinya dia berpikiran di dalam kelas hanya ada dua struktur yaitu yang engajar dan diajar. Secara sistem sosial itu sangat betul, tetapi dalam dunia pendidikan sekarang apalagi pendidikan kesenian yang berdasarkan pada naluri dan emosi serta psikologi, mesti di antara kedua struktur tersebut saling bersinergi, sehingga pembangunan mental, emosi dan kemampuan mengaktualkan diri dari siswa akan mudah terbangun.
Sebab itu paradigma siswa sebagai robot tersebut perlu diubah oleh para guru kesenian di sekolah dalam melaksanakan pembelajaran seni di dalam kelas. Karena kesenian memerlukan rangsangan imajinatif yang dibangun berdasarkan ketenangan jiwa, dan emosi serta berbagai dorongan psikologi dari lingkungannya. Karenanya dalam pembelajaran kesenian seperti seni tari, musik dan drama dorongan dan sokongan moral sangat berpengaruh terhadap peningkatan kreativitas dan peningkatan kualitas belajar daripada siswa di sekolah.
Paradigma yang lain yang perlu diubah oleh guru adalah tentang strategi dalam pendekatan kepada siswa dalam pengelolaan kelas, yang selama ini guru adalah raja, berarti setiap perkataan guru tidak boleh disangah, itu perlu mesti diubah dalam masa kini. Persoalan lain adalah mengenai penguasaan metoda dan media, guru selalu berpendapat bahwa metoda ceramah dan metoda demonstrasi dari guru dalam praktik perlu dilakukan lebih banyak, karena siswa dianggap seperti pahat, bila di pukul baru dia akan berjalan. Paradigma seperti itu juga perlu diubah kepada paradigma yang baru dengan berpedoman pada situasi, kondisi dan tujuan kurikulum pembelajaran seni itu sendiri. Begitu juga dengan paradigma bahwa media pembelajaran seni cukup saja gerak tubuh daripada guru atau siswa yang dianggap pintar, kenyataan seperti ini selalu terjadi dalam pembelajaran tai, juga dalam pembelajaran teater atau drama dan musik. Jarang guru berpikir bahwa zaman sekarang adalah zaman teknologi,yang semestinya teknologi itu dimanfaatkan untuk kemudahan mereka dalam mentransformasi materi pembelajaran seni kepada siswanya. Apalagi secara fungsional teknologi tersebut adalah alat atau media yang mampu meringankan pekerjaan daripada manusia untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu sepatutnya media teknologi tersebut kita manfaatkan untuk efektifitas dan efisisensi pekerjaan guru di dalam melaksanakan pembelajaran kesenian di sekolah.
2. STRATEGI PEMBELAJARAN YANG HARUS DILAKUKAN
2.1. PENGELOLAAN KELAS SECARA PERSUASIF DAN KEMITRAAN
Strategi pendekatan persuasif atau kebapakan dan keibuan adalah strategi yang mesti digunakan oleh guru kesenian baik guru seni tari, musik dan drama di SLTP maupun di SLTA. Strategi pendekatan ini harus dilakukan mengingat siswa SLTP dan SLTA rata-rata adalah remaja putri dan sebagian remaja putra. Para siswa ini secara psikologis tidak bisa ditekan dan dilakukan ketegasan yang agak otoriter. Apabila hal seperti ini dilakukan mereka akan sulit menerima materi pelajaran yang disampaikan dalam proses belajar mengajar. Tak jarang para siswa vakum dan tidak memiliki motivasi walau ada namun sedikit sekali yang dapat dengan baik memahami materi pembelajaran tari, musik dan drama, apalagi yang menyangkut masalah teori.
Pendekatan persuasif ini adalah bagaimana seorang guru dengan kebapakannya atau keibuannya dapat mendekati para siswa sambil memberikan materi pelajaran. Guru dalam hal ini perlu membuka diri dan berdialog secara kekeluargaan dengan siswa. Guru sepatutnya mengetahui problem yang terjadi pada diri siswa dan dapat memahami problem tersebut yang pada gilirannya memberikan jalan keluarnya. Dengan begitu penerapan terhadap pembelajaran seni tari, musik dan drama tidak mendapat rintangan decara psikologis dari siswa.
Seorang guru seni sangat diperlukan melakukan pendekatan dengan strategi persuasif, karena seni sangat berhubungan dengan kejiwaan seperti emosi ataupun perasaan seseorang. Oleh sebab itu, berdasarkan pantauan di lapangan ternyata pendekatan secara emosional sangat membantu guru kesenian untuk merangsang minat siswa terhadap pembelajaran tari, musik dan drama.
Pendekatan strategi kemitraan adalah strategi untuk melonggarkan batas-batas formal yang biasanya terjadi di sekolah seperti biasanya di lembaga pendidikan apalagi pada sekolah lanjutan tingkat pertama. Kesan formal sangat terasa dalam proses belajar mengajar apalagi dalam pembelajarn di kelas. Terutama kesan ini terlihat Pada mata pelajaran yang bersifat teori. Kesan formal tersebut perlu diganti dengan kemitraan. Artinya bukan dengan sendirinya lantas siswa bisa menganggap enteng guru. Tetapi guru dengan kedudukannya sebagai guru dan dengan batas-batas etika keguruannya mengajak siswa saling bertukar pikiran seperti pada mata pelajaran yang bersifat praktik.
Adanya pendekatan kemitraan, berarti telah terjadi keterbukaan antara guru dan siswa. Hal ini berdampak kepada terlaksananya interaksi antara guru dan siswa. Dengan adanya interaksi yang baik menyebabkan tercapainya proses belajar mengajar yang kondusif. Berarti pula dapat terjadi proses transformasi yang baik dari penerapan pembelajaran kesenian kepada siswa.
Sering seorang guru terkadang lupa, apalagi guru seni seperti guru tari, musik dan drama bahwa seni pertunjukan (persembahan) adalah sebuah seni yang bersifat kolektif bukan sebuah cabang seni yang bersifat individual, bila sebuah seni individual seorang kreator tidak perlu meminta bantuan orang lain, namun dalam seni pertunjukan kerjasama antara satu dan lain pihak sangat diwajibkan sehingga tercapai tujuan yang dinginkan. Seperti pertunjukan atau pelatihan dan pengajaran, artinya kalau tidak ada siswa (murid) berarti tidak ada guru, begitu sebaliknya kalau tidak ada guru berarti tidak dapat berjalan sebuah pembelajaran.
Oleh sebab itu pemilihan pendekatan strategi kemitraan sangat diperlukan oleh seorang guru seni, dengan menerapkan strategi ini siswa akan merasa terlibat sebagai kreator atau sutradara dalam masalah pembelajaran drama, artinya kehadiran mereka memiliki arti yang sama dengan guru untuk mencapai terjadinya sebuah pembelajaran seni yang kondusif dan berhasil. Karena pembelajaran seni tidak sama dengan pembelajaran yang lain, seni sarat dengan melibatkan intuisi dan emosi. Bahkan emosi merupakan juga salah satu unsur utama daripada seni pertunjukan selain daripada gerak. Sebab itu memposisikan siswa sebagai mitra daripada guru seni, adalah hal yang menguntungkan, bukan berarti secara struktural melemahkan wibawa atau hirarki dari seorang guru. Namun meningkatkan kharismatik guru di depan mata siswa itu sendiri.
2.2. METODE YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN KESENIAAN YANG RELEVAN MASA KINI
Secara tradisi metode yang dilakukan oleh guru kesenian selalu bertitik tolak daripada metoda ceramah, demonstrasi dan tanya jawab, namun yang dominan dan paling dominan adalah metoda ceramah, selanjutnya dalam pembelajaran seni dilakukan dengan metode demonstrasi untuk pembelajran praktiknya. Terkadang metode demonstrasi tidak pula terlalu detail, artinya seorang guru tari atau musik sering memberikan percontohan yang kurang rinci mengenai detail-detail gerak dan detail artikulasi bunnyi vokal suara maupun dalam memetik gitar dan memaminkan recorder misalnya. Hal ini pun disebabkan juga dengan sedikitnya jam pembelajran yang tersedia, akibatnya guru sering mengejar jam tayang dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Sehingga bagaimana pembelajaran dapat berlangsung secepat mungkin dan materi terajikan sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Dalam makalah ini akan ditawarkan paradigma baru mengenai strategi pemeblajaran dengan metode yng dianggap relevan, seperti metoda yang disebut dengan metode Eksplorasi (penjelajahan), metoda Apresiasi dan Rekreatif Pikiran
2.2.1 METODE EKSPLORASI (PENJELAJAHAN)
Menurut Afrizal (2001:63) bahwa keterampilan berhubungan dengan kemampuan motorik yang dimiliki siswa. Siswa memiliki tinggi rendahnya kemampuan motorik. Oleh sebab itu, perlu didekati dengan metode latihan dan metode pembelajaran yang tepat agar kemampuan atau keterampilan motorik siswa dapat terbentuk dengan baik.
Berdasarkan kepada hal di atas guru seni baik tari, musik dan drama menerapkan metode pembelajaran eksplorasi (penjelajahanan). Metode eksplorasi ini dilakukan guna menyesuaikan dengan pokok bahasan yang ada dalam kurikulum. Dimana dalam kurikulum terdapat pokok bahasan yang meliputi praktikal, seperti : (1) praktik tari, (2) praktik musik, dan (3) praktik drama.
Untuk menindaklanjuti pokok bahasan tersebut diatas, guru kesenian perlu melakukan metode eksplorasi. Seperti dalam pembelajaran tari dan drama, guru membimbing siswa untuk menentukan judul atau topik sebuah tarian dan tema dari cerita yang akan diperankan, kemudian siswa disuruh bereksplorasi. Terkadang eksplorasi dilakukan dengan tema-tema sederhana, malah terkadang berangkat dari cerita yang ringan dan akrab dengan lingkungannya, seperti cerita burung terbang mencari makan, itik pulang ke kandang, si pengemis, dan pedagang asongan.
Siswa dalam menjalankan eksplorasi harus bisa menjelaskan apa yang dia eksplorasi. Namun sebelumnya guru seni tari, dan drama terlebih dahulu perlu menjelaskan apa itu eksplorasi dan apa tujuan dan kegunaannya. Ternyata setelah siswa melakukan eksplorasi, yang menjadi indikator atau penilaian kepada siswa bukanlah berhasil tidaknya hasil eksplorasi, melainkan sikap yang positif positif dan penghargaan terhadap mata pelajaran kesenian tersebut. Sehingga sasaranya adalah, siswa akan paham apa itu tari dan seni gerak maupun apa itu bunyi yang harmonis yang dikatakan musik serta bagaimana berlakon yang baik itu seperti apa. Artinya mereka mulai paham bagaimana sebetulnya pembelajaran kesenian tersebut, karena mereka telah menjelajahinya dari segi tenaga, ruang dan waktu maupun dari segi emosi dan ekspresi, serta mereka juga telah merasakan bagaimana menghayati dan mentransformasi objek kepada sebuah bentuk kesenian, seperti bagaimana mereka merasakan melahirkan gerak burung yang sedang terbang, pada gilirannya mereka refleksikan sendiri dalam wujud geak milik atau ciptaannya sendiri.
Bagian yang terpenting dalam eksplorasi adalah melatih gerak atau keterampilan motorik siswa. Dengan melakukan eksplorasi, secara tidak langsung siswa melakukan suatu latihan motorik yang pada gilirannya menghasilkan gerak reflek atau suatu intuisi atau perasaan yang peka terhadap rasa seni, baik rasa musikal, rasa akting dan rasa gerak. Melalui eksplorasi seorang siswa dapat menemukan sendiri teknik olah vokal yang menurut mereka cocok dengan dirinya, begitu juga dengan tari dan drama, seorang siswa akan merasakan bahwa saya cocok berakting seperti ini dan seperti itu. Dalam arti kata, eksplorasi menghasilkan suatu sensitifitas yang tinggi terhadap motorik siswa.
2.2.2 METODE APRESIASI dan REKREATIF PIKIRAN
Metode Apresiasi dilakukan bertujuan agar siswa tidak merasa monoton dalam belajar menggunakan media atau materi yang itu ke itu juga. Di sisi lain metode apresiasi dilakukan dengan tujuan agar siswa lebih bertambah wawasan dan cakrawala berpikirnya tentang kesenian.
Kegiatan yang dilakukan dalam metode Apresiasi adalah menyaksikan berbagai pertunjukan kesenian baik itu di sekolah maupun di luar sekolah. di luar sekolah yaitu yang disajikan di Gedung Pertemuan Kabupaten dan Kecamatan. Selain itu siswa diajak menyaksikan pertunjukan kesenian ke pusat kesenian seperti Taman Budaya, karena Taman Budaya adalah sumber informasi dan apresiasi bagi siswa. Guru boleh saja melakukan kegiatan pembelajaran sekali waktu di lu ar kelas seperti di Taman Budaya tersebut, artinya guru dapat memberikan contoh konkrit terhadap materi pembelajran seni yang di ajarkan seperti tari, musik dan drama. Karena guru langsung memberikan apresiasi yang aktual kepada siswanya.
Pada kesempatan itu guru perlu memberikan hiburan dari berbagai tontonan kesenian kepada siswa yang terdapat di pusat kesenian tersebut, sehingga siswa perlu pikrannya diberi rekreasi, guna mengendurkan syaraf pikirannya yang telah terkontaminasi degan mata pelajaran yang menyita psikologi dan pikirannya. Setelah hal ini dilakukan baru tahap berikutnya guru mengarah kepada dialog dan diskusi sekitar topik pembelajaran seni yang sedang diajarkan.
Kegiatan apresiasi dilakukan berulang-ulang, artinya tidak dilakukan sekali saja. Sehingga siswa dapat memahami dan menghayati serta menghargai dan mencintai tari sebagai mata pelajaran dari pendidikan kesenian yang ada di sekolah.
Metode Apresiasi berdampak pada kecintaan siswa terhadap kesenian, terutama apresiasi telah memotivasi siswa terhadap pengertian seni tari, musik dan drama sebagai produk kesenian. Dengan berapresiasi siswa memiliki sensitifitas terhadap kesenian. Pada gilirannya siswa mampu menguasai pengetahuan, pemahaman dan mampu mengklasifikasi seni serta memilki sensitifitas yang tinggi terhadap seni, sehingga mereka memiliki tingkat penghargaan dan kecintaan yang tinggi kepada mata pelajaran kesenian.
2.3 MEDIA PEMBELAJARAN
Guru perlu mengaktifkan media pembelajaran yang relevan dengan mata pembelajaran, seperti seni tari dan musik maupun drama, masing-masing mata pembelajaran tersebut memilki kesamaan dan perbedaan. Selalin itu jangan terfokus lagi pada media yang dianggap tidak aktual, seperti pada seni tari di mana guru tari sealu saja menggunakan media tubuhnya sendiri sebagai media, kemudian dibantu oleh tape recorder. Semestinya dalam paradigma baru pemebelajaran kesenian khususnya tari, seorang guru mesti menggunakan media teknologi. Karena siswa sendiri tela banyak yang mengerti dan paham dengan teknologi, misalnya siswa SLTP dan SLTA sudah mampu mengaktifkan peralatan computer dan mengakses internet. Hand phone saja sudah banyak yang canggih.
Sebetulnya teknologi bukan berarti elektronik saja, artinya teknologi itu juga ada yang manual, karena banyak guru-guru mengatakan bagaimana kami untuk memutar video kami tidak mengerti dengan laptop atau kami belum paham dengan LCD. Teknologi bisa digunakan yang manual, artinya seorang guru musik bisa saja membuat gambar tut piano atau pionika dengan karton, dan membuat motif gerak tari dengan sketsa, atau dengan patung-atung dari kawat sebagai contoh jika guru tersebut belum mampu mengaktifkan teknologi computer (laptop). Namun sebaiknya juga guru memutar film tari, dan cuplikan-cuplkan motif geraknya secara ditail. Begitu juga dengan guru drama, bisa melalui gambar-gambar karikatur dan slide atau foto, sehingga pembelajaran lebih dapat diarahkan dan mampu menarik minat siswa serta mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap pemebelajaran kesenian tersebut.
2.4. GUNAKAN MATERI YANG MEMPERTIMBANGKAN USIA DAN PSIKOLOGI SISWA
Dalam memberikan bahan materi praktik sepatutnya guru mempertimbangkan emosi dan usia dari siswa tersebut. Terkadang misalnya siswa SLTP oleh guru musik telah diberi lagu-lagu klasik dalam praktik ensambel atau musik sekolah, mestinya lagu seperti itu digunakan untuk mahasiswa seni di perguruan tinggi, atau di SMK yang khusus belajar musik. Bagi sekolah umum tujuan pemebalajaran kesenian tidak sama dengan di SMK, oleh sebab itu pemilihan materi perlu yang relevan. Artinya sesuaikan materi tersebut dengan tingkat psikologi dan usianya.
Seperti siswa SLTP lagu yang cocok bagi mereka adalah lagu yang akrab dengan masa mudanya, seperti lagu remaja, karena juga tidak ada salahnya lagu remaja diajarkan, sebab itu di sekolah umum tidak mencetak atau memproduk penyanyi tapi bagaimana melalui bernyanyi tersebut kita dapat mendidik siswa untuk bekerjasama, memiliki solidartas, loyalitas dan melatih kepekaan pikiran, perasaan dan berkreatifitas serta hidup beradab. Sebab itu seorang guru mesti mengajarkan musik tersebut yaitu musik pendidikan, atau mengajarkan tari juga tari pendidikan, begitu juga dengan drama. Bukan harus mementingkan kualitas bernyanyi atau menari dan berakting, bukan itu harusnya sasaran pembelajaran seni di sekolah umum. Namun penekanannya adalah kepada bagaimana pembelajaran kesenian sebagai alat untuk membawa siswa menjadi seorang yang manusiawi, yaitu berpikir, bergaul, beradab dan bermartabat serta kreatif dan progresif. Pembelajran seni merupakan alat untuk menuju hal tersebut, karena pembelajaran seni dipandang memiliki daya magis untuk membentuk seorang siswa menjadi manusia yang humanitis dan cerdas. Itulah paradigma baru dunia pendidikan seni masa kini.
Oleh yang demikian, pembelajaran seni jangan dipandang lagi sebagai pembelajaran kelas dua, atau hanya sebagai pelengkap penderita. Bahkan sebetulnya melalui seni orang bisa hidup mandiri tanpa menjadi pegawai negeripun, banyak artis yang kaya-kaya daripada Profesor atau Wali Kota dan Gubernur bahkan daripada seorang Presiden sekalipun. Namun pembelajaran seni di sekolah umum bukan untuk mendidik siswa untuk mencari lapangan pekerjaan, tapi kalau ada masyrakat atau guru bidang studi lain mengangap seni tidak dapat menghasilkan uang, atau tidak menjamin masa depan itu adalah pandangan yang keliru. Mungkin paradigma ini yang melekat dari orang tua siswa dan guru-guru serta siswa selama ini, sehingga menghalangi proses pembelajaran seni di sekolah, penulis berharap mulai saat ini paradigma seperti itu perlu dihapus dalam memori kita semua, termasuk insan guru.
PENUTUP
Penerapan pembelajaran kesenian di sekolah-sekolah terkadang tidak dapat berjalan dengan baik, dan tidak dapat memenuhi tujuan dan sasaran pendidikan yang tertera dalam kurikulum. Hal ini secara klasik disebabkan oleh berbagai kemampuan guru yang kurang dapat menjabarkan materi pelajaran dengan baik.
Kekurang mampuan guru tersebut bisa saja berasal dari penerapan yang dilakukan dalam pembelajaran tidak menguasai strategi pembelajaran seperti metode dan media yang baik dan tepat. Guru sering terkesan menggunakan metode yang monoton dan tidak memiliki metode maupun menguasainya dengan baik.
Hal yang paling keliru adalah paradigma guru yang selama ini, menempatkan pembelaaran seni sebagai pelajaran kelas dua, bahkan termasuk pimpinan sekolah, siswa dan orang tuanya. Selain itu penguasaan pengelolaan kelas yang belum mengunakan strategi yang relevan.
Sebab itu, seorang guru mesti merubah paradigmanya terhadap pembelajaran kesenian, baik paradigma tentang tujuan, sasaran, metode dan media serta pemilihan materi pembelajaran yang relevan dengan tingkat usia siswa. Oelh karenanya, dalam makalah ini ditawarkan beberapa metode selain metode konvensional yang biasa digunakan yaitu ceramah dan demonstrasi, seperti metode apresiasi dan rekreatif pikran dan metode eksplorasi.
Selain daripada metode seorang guru kesenian masa kini mesti memanfaatkan teknologi dalam media pembelajarannya, karena teknologi dapat membantu seorang guru untuk berlaku efektif, efesien dan mampu membantu seorang guru untuk menjelaskan materi pembelajaran. Media yang bersifat teknologi bukan saja yang bersifat elektronik tetapi juga ada yang bersifatkan manual. Dengan menerapkan paradigma baru tersebut dalam pembelajaran kesenian di sekolah, maka pada gilirannya pembelajaran kesenian memperoleh pencapaian hasil yang sesuai dengan kansep pendidikan tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Afrizal.2001.Pengaruh Metode Latihan dan Kemampuan Motorik Terhadap Hasil Latihan Ketepatan Tendangan ke Gawang Sepakbol.Jurnal Forum Pendidikan Nomor 1, Tahun XXVI/edisi Maret 2001.
Astuti, Fuji.2001. Strategi Pengajaran Ketrampilan Tari di Sekolah Kejuruan Kesenian.Jurnal Komposisi Pendidikan Volume 2 Nomor 1 Tahun 2003.
Jama, Julius.2001.Paradigma Penataan Program Studi : Model Pendekatan Sistem.Jurnal Forum Pendidikan Nomor 1 Tahun XXVI/edisi Maret 2001.
Mukhadis, A. 2004 “ Menciptakan Pembelajaran Kondusif Berbasis Pendekatan Competency Based Training di Sekolah Menengah Kejuruan.” Buletin Pembelajaran Volume 27 Nomor 03 Desember 2004.
S. Farida, 2002. Pengaruh Komunikasi Instruksional terhadap Sikap Siswa dalam Bidang Studi IPS.” Buletin Pembelajaran Nomor 03 Tahun 25/ September 2002.
Suud Ibnu, Akman. 2001. “Keterampilan Mengajar Guru Fisika dalam Proses Pembelajaran Fisika di SMU Negeri Kodya Padang.” Forum Pendidikan Nomor 01 Tahun XXVI/edisi Maret 2001.
Syahrul. 2002. “Pembelajaran Randai di Sekolah dalam Memupuk Kreatifitas Siswa.” Buletin Pembelajaran Nomor 03 Tahu
[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Tentang Paradigma Baru pendidikan di Universitas Negeri Medan
[2] Indrayuda adalah Dosen di Universitas Negeri Padang, memperoleh M.Pd dalam Bidang Pendidikan Sosiologi Antropologi dan saat ini mengambil program Doktor di Universiti Sains Malaysia Pulau Penang, A.S. Hardi Syafii seorang Dosen (pensyarah) dan Pakar serta Doktor dalam Bidang Teater (khususnya Makyong) di Universiti Sains Malaysia
[3] Konsep seperti itu adalah konsep yang sebenarnya, yang mesti diaplikasikan oleh para pendidik seni di sekolah umum, bukan mendidik siswa menjadi seorang seniman atau pelaku seni.
[4] Berdasarkan penelitian dan observasi maupun keluhan secara langsung dari guru kesenian tersebut yang rata-rata berasal dari alumni Jurusan Sendratasik IKIP Padang (UNP).
[5] Bahagian daripada seni pertunjukan ( seni persembahan)
[6] Psikomotorik adalah sebuah pembelajaran yang berhubungan dengan ketrampilan, seperti ketrampilan bernyanyi, menari memaminkan gitar atau rekorder maupun perkusi
[7] Adalah mengenai media pemebelajaran yang terkini.
1 komentar:
terima kasih atas apresiasinya
Posting Komentar