Sabtu, 28 Mei 2011

Performing Arts


Read More......

Selasa, 22 Februari 2011

Etnologi Tari Minangkabau

PROBLEMATIKA PEWARISAN TARI RANTAK KUDO

DALAM MASYARAKAT NAGARI LUMPO, KAB. PESISIR SELATAN

SUMATERA BARAT

Indrayuda

Dosen FBS Universitas Negeri Padang

Abstrak : Tujuan penulisan artikel ini adalah mendeskripsikan dan mengungkapkan tentang masalah yang dihadapi oleh tari Rantak Kudo dalam pewarisannya. Artikel ini merupakan hasil penelitian, yang menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Fokus penelitian adalah pada problematika proses pewarisan tari Rantak Kudo. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara maupun studi dokumentasi dan pustaka. Data dianalisis secara etnografi. Hasil penelitian menunjukan, bahwa tari Rantak Kudo yang merupakan salah satu warisan budaya masyarakat nagari Lumpo, sampai saat ini perkembangannya dari aspek pewarisan menjadi terabaikan, dan diprediksi ada jaringan yang terputus antar generasi. Kemacetan proses pewarisan tersebut disebabkan oleh sistem pewarisan yang kurang relevan dengan kondisi sosial budaya masyarakat masa kini. Selain itu, tidak adanya campur tangan pemegang adat serta pemerintahan nagari, untuk mendukung agar pewarisan dapat berlangsung secara berkesinambungan dalam masyarakat nagari Lumpo.

Kata kunci : problematika pewarisan, tari rantak kudo, pemangku adat, pemerintahan nagari, sistem pewarisan.

Pendahuluan

Sedyawati (dalam Yosika, 2008 : 27) mengatakan, bahwa kesenian tradisi merupakan cerminan identitas daripada suatu masyarakat, sehingga kesenian disebut juga perwujudan budaya. Oleh karenanya kesenian tradisi tidak sebegitu saja dengan mudah ditarik lepas daripada masyarakat pendukungnya. Kesenian tradisi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari berbagai kejadian budaya yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga kesenian merupakan suatu kesatuan (uniti) yang melekat dengan kepribadian dan perilaku masyarakat pendukungnya.

Sering tari tradisi masa kini menjadi sesuatu yang diabaikan keberadaannya oleh masyarakat pendukungnya. Pada sebagian masyarakat di berbagai daerah di Sumatera Barat tari tradisi masa kini tidak lagi menjadi hal yang sakral dan yang perlu di agungkan atau dibanggakan, sehingga kurang dipandang lagi sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Pada setiap berbagai perhelatan nagari atau desa, baik dalam konteks adat maupun dalam konteks hiburan rakyat, sepertinya keberadaan tari tradisi jarang digunakan dalam peristiwa tersebut. Masyarakat lebih suka berpikir yang praghmatis saja, artinya masyarakat ingin menggampangkan sesuatu dengan tidak mau menyibukkan diri. Sebab itu pilihan mereka cenderung kepada kesenian yang bersifat modern dan praghmatis, seperti organ tunggal dengan tari tripingnya (Susmiarti, 2009 : 21).

Memandang kepada perilaku masyarakat Minangkabau yang rata-rata tidak lagi membudayakan budaya seni tari dalam kehidupan sosialnya, berakibat kepada kurangnya perhatian masyarakat dan pemilik tari tradisi tersebut dalam hal untuk mengembangkan dan mempertahankannya, agar tarian tersebut tetap bertahan di dalam kehidupan masyarakat pendukungnya sendiri.

Merujuk kepada kasus pewarisan budaya yang terjadi nagari Lumpo sebagai salah satu tempat tumbuh dan berkembangnya tarian tradisi di Pesisir Selatan, di mana masa kini keberadaan tari tradisional Rantak Kudo cukup diakui keberadaannya. Artinya tarian tersebut sering digunakan oleh masyarakat dalam berbagai aktivitas sosial dan adat di nagari Lumpo. Setiap pertunjukan yang diadakan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, terkesan antusias dari berbagai lapisan masyarakat untuk menontonnya. Sebab itu dapat disimpulkan bahwa pada nagari Lumpo tari Rantak Kudo secara kontekstual masih diterima kehadirannya oleh masyarakat nagari Lumpo.

Namun inti persoalannya, adalah apabila diajak serta untuk mewarisi dan mempelajari tari Rantak Kudo banyak di antara masyarakat yang enggan untuk belajar dan mewarisi tarian tersebut. Kenyataannya masyarakat hanya berperanan lebih banyak sebagai penikmat saja. Namun mereka kurang berpikir bagaimana agar tari ini tetap hidup dan berkembang di nagari tersebut. Bagaimana cara agar tari itu tetap tumbuh dan berkembang, sepertinya hal ini mereka serahkan saja kepada seniman yang ada sekarang, kebanyakan dari mereka sudah tua-tua. Artinya seandainya mereka telah berkubur berarti tari itupun ikut brtkubur. Persoalan seperti ini belum sampai dalam pikiran masyarakat kebanyakan. Inilah realita yang terjadi pada persoalan pewarisan tari Rantak Kudo di nagari Lumpo masa kini.

Kenyataannya masa kini, yang terlihat dalam berbagai aktivitas pertunjukan tari Rantak Kudo lebih banyak dilakukan oleh golongan orang-orang tua, sementara golongan orang muda sebagai generasi penerus sangat jarang terlibat sebagai penggerak ataupun sebagai pelaku dari tari tradisional tersebut. Justru hal ini yang menjadi menarik untuk ditelusuri dalam penelitian ini. Karena biasanya kehadiran tari tradisi di berbagai daerah baik di Sumatera Barat maupun di Indonesia umumnya, sudah mulai di pinggirkan oleh masyarakat pendukungnya sendiri. Secara tidak langsung mereka pun enggan untuk mempelajari dan mewarisi. Artinya sudah hal yang umum, bahwa masyarakat sekarang telah menafikan tari tradisi, oleh karenanya mereka tidak menggunakannya dalam aktivitas sosialnya. Namun, di nagari Lumpo di satu sisi masyarakatnya masih mau menggunakan dan memfungsikan budaya tari Rantak Kudo dalam kehidupannya, hanya saja pada masalah menggiatkan dan mewarisi serta mengelola pertumbuhannya mereka kurang berminat untuk hal tersebut.

Sebab itu sekarang ini di nagari Lumpo, tarian tradisional Rantak Kudo masih menjadi komoditi hiburan, bahkan komoditi utama oleh masyarakat Lumpo dalam aktivitas sosialnya. Akan tetapi, mereka tidak mau untuk mewarisi atau mempelajari dan mengurusnya. Persoalan pengurusan dan pewarisan diserahkan saja tanggung jawabnya pada seniman yang telah ada, untuk mengurus bagaimana agar tarian tersebut terus hidup dan berkembang. Secara realitta, seniman yang telah berumur tersebut mengalami kesulitan untuk mencarikan formulasi yang tepat bagi pewarisan tari rantak Kudo. Hal ini disebabkan salah satunya foktor usia dan tenaga maupun daya pikir mereka yang terbatas. Dampak dari gejala tersebut pada akhirnya tari Rantak Kudo kurang berkembang, dan suatu masa tari ini akan tengelam dan punah.

Gejala yang terjadi masa kini, secara kuantitas tari tradisional Rantak Kudo tidak berkembang, karena yang tampil dalam berbagi peristiwa pasti orangnya itu ke itu saja, sehingga ada kesan bahwa tari tradisi tidak berjalan dengan baik pembudayaan dan pewarisannya. Seandainya pewarisannya berlangsung dengan benar secara tidak langsung mesti orang-orang yang bertindak sebagai pelaku akan berjumlah lebih banyak, dan yang tampil dapat bervariasi, artinya seniman pelakunya yang menyajikan tarian tersebut orangnya berbeda-beda dalam berbagai peristiwa.

Sebab itu menarik untuk di teliti, ada apa dengan pewarisan tari Rantak Kudo? Mengapa pewarisan tari Rantak Kudo mengalami kendala, padahal secara realita tari Rantak Kudo masih mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat nagari Lumpo. Bahkan masyarakat antusias untuk menyaksikan setiap suguhan dari pertunjukan tari Rantak Kudo yang dilakukan oleh senimannya yang rata-rata berusia lanjut. Karena itu penelitian ini perlu diungkapkan untuk menjawab fenomena dan realitas tersebut.

Berdasarkan permasalahan di atas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimanakah problematika pewarisan tari Rantak Kudo dalam masyarakat nagari Lumpo. Sedangkan peneltian ini bertujuan yaitu untuk mendeskripsikan dan mengungkapkan persoalan yang terjadi dalam proses pewarisan tari Rantak Kudo dalam kehidupan masyarakat nagari Lumpo masa kini.

Kajian Literatur

Sistem Pewarisan

Pewarisan budaya merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pada etnik tertentu, yang mana pewarisan budaya tersebut bertujuan untuk menyelamatkan jati diri mereka, maupun menyelamatkan harga diri mereka sebagai manusia yang beradab dan beradat. Karena kebudayaan tersebut merupakan gambaran dan refleksi (cerminan) dari perilaku mereka dalam berkehidupan, dan kebudayaan tersebutlah yang dapat membedakan mereka dengan orang lain, selain itu kebudayaan itu pula yang dapat membuat mereka memiliki harga diri. Oleh sebab itu mereka perlu memberikan kebudayaan tersebut untuk diurus dan digunakan oleh generasi berikutnya, agar budaya tersebut tetap ada dalam berbagai kehidupan mereka di tempatnya berada (Koentjaraningrat dalam Jasmiati, 2007 : 23).

Pewarisan berarti sebuah usaha untuk memindahkan kepemilikan dari golongan tua kepada golongan lebih muda, dengan tujuan objek yang diwariskan tersebut tidak akan musnah dan tetap menjadi harta yang paling berharga dalam keluarga, kelompok atau klen (Yosika, 2008 ; 18)

Menurut Malinowski dalam Indrayuda, (2008: 35) menjelaskan bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat saling berkait antara satu sistem dengan sistem yang lain. Hal ini dapat dilihat dari sistem mata pencaharian yang berkait dengan sistem lingkungan, dan unsur- unsur kebudayaan.

Malinowski mengatakan bahwa dalam masyarakat terdapat berbagai fungsi yang saling berhubungan. Pendapat ini didasari oleh Malinowski setelah ia mengamati kehidupan masyarakat Trobiand di sebelah tenggara Papua Nugini.

Lebih lanjut Koentjaraningrat, (1987: 171) menjelaskan bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan adalah sangat komplek. Inti dari hal tersebut adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupan. Sebagai contoh adalah bahwa kesenian sebetulnya terjadi karena adanya keinginan manusia untuk memuaskan kebutuhan nalurinya (perasaan) akan berbagai keindahan. Sebab itu kesenian perlu diwarisi sebagai identitas budaya mereka, dan sebagai pengikat solidaritas kekerabatan antar masyarakat tempatan.

Bambang Pujasworo dalam Jasmiati (2007: 32) menjelaskan bahwa tari terkait kepada interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam kehiduan bermasyarakat. Apabila interaksi tidak lagi menghasilkan integrasi maka keberadaan seni tari dapat terancam, pelaksanaan pelestarian dan pewarisannya bagi generasi berikutnya, dapat diperkirakan akan tidak berlangsung dengan baik.

Pewarisan tari tradisi sangat terkait dengan solidaritas dan kekerabatan antar masyarakat tradisi, bila tali silaturahim dan solidaritas telah bergeser menjadi individualis, maka seni tari tradisi tidak dapat dipertahankan pertumbuhannya dalam masyarakat tradisi tersebut. Dan tari tradisi bila tidak atau jarang digunakan dalam berbagai peristiwa adat dan seremonial maupun bagi kepentingan rakyat banyak, secara tidak langsung tari tradisi pewarisannya telah terputus ( Desrini, 2010 : 32).

Pewarisan tari dalam masyarakat biasanya dilakukan dalam dua aspek, yaitu aspek tertutup dan aspek terbuka. Aspek tertutup sering juga dilakukan oleh para sesepuh tari tradisi, mengingat kecurigaan mereka terhadap orang luar atau oran di luar lingkungan keluarga atau kelompoknya maupun klennya. Hal ini bertujuan menurut mereka untuk mempertahankan originalitas dari tarian tersebut, namun kelemahannya apabila jumlah orang dalam kerabat atau kaumnya mulai berkurang maka semakin lama tarian tersebut kekurangan pewarisnya, bisa diperkirakan tarian tersebut akan punah seiring dengan wafatnya pewarisnya tersebut. Sedangkan terbuka, yaitu diperbolehkan bagi siapa saja mempelajari dan menggunakan tarian tersebut walaupun tidak dalam klennya atau kerabatnya, dan biasanya aspek terbuka ini dapat menyebar luaskan perkembangan tari tradisi tersebut, namun originalitasnya memang tidak dapat dipercaya (Yosika, 2008 : 22).

Menurut Rasyid (2006 : 41) melalui hasil penelitiannya, bahwa dalam masyarakat tradisi di Minangkabau pewarisan cenderung dari mamak ka kamanakan, atau berkisar di dalam satu kaum dan dalam satu kumpulan kesukuan, sehingga pewarisan tersebut didukung oleh pemangku adat, dan tari tersebut menjadi milik masyarakat adat dan nagari.

Edy Sediawati ( dalam Lusiana, 2008 : 45) menjelaskan bahwa proses pewarisan tari tradisi di berbagai daerah di Indonesia, terkait kepada pimpinan adat, pemerintahan desa, kelompok atau paguyuban marga atau suku dan terkait juga kepada usaha seniman dan kemauan masyarakat untuk menggunakan dan mewarisinya. Faktor-faktor tersebut yang dapat mempengaruhi keberlangsungan daripada sebuah pewarisan tari tradisi di berbagai daerah di Indonesia.

Eksistensi (Keberadaan)

Sesuatu akan diakui keberadaannya, bila mana sebuah kesenian tersebut masih difungsikan oleh masyarakat pendukungnya. Artinya, bahwa sebuah kesenian bila ia masih bertahan hidup dalam masyarakatnya, meskipun dia tela bergeser fungsinya, secara tidak langsung kesenian tersebut masih diaki keberadaannya (Bambang Pujasworo dalam Jasmiati, 2007: 25).

Sedangkan Widaryanto (dalam Welly Yosika, 2008 : 32) menjelaskan bahwa keberadaan sebuah kesenian tergantung dari pengakuan masyarakat terhadap aktivitas kesenian tersebut. Selain itu keberadaan kesenian tersebut tergantung kepada pewarisannya, bila pewarisannya mengalami masalah maka keberadaannya juga akan bermasalah, artinya sistem pewarisan sangat menentukan keberadaan sebuah kesenian.

Problematika Pewarisan

Menurut Manan (2002 : 34) bahwa problematika pewarisan budaya dalam masyarakat cenderung dipengaruhi oleh aspek perilaku sosial masyarkat itu sendiri. Berbagai penyimpangan perilaku sosial dan gaya hidup telah menyebabkan macetnya berbagai pewarisan budaya.

Sedangkan Susanna K. Langer ( 1988 : 5) melihat bahwa adanya problematika pewarisan dalam sebuah kesenian disebabkan oleh interaksi kekuatan dari masyarakat yang saling tarik menarik dengan kepentingan kehidupan yang actual.

Selain itu Susmiarti (2009 : 23) menjelaskan bahwa faktor bentuk dan cita rasa dari penyajian tari tradisional berpengaruh kepada kecintaan dan keinginan masyarakat untuk mewarisinya.

Selain itu, pewarisan tari tradisi sering berbenturan dengan pengaruh eksternal yang lebih kuat mempengaruhi masyarakat pendukungnya. Pengaruh eksternal tersebut berupa masuknya unsur seni budaya baru yang lebih memikat secara artistik, dan mudah untuk dipelajari maupun untuk dipahami. Sehingga dia lebih praktis dan simple tidak bertele-tele lazimnya seperti kesenian tradisional ( Kunto Wijoyo dalam Indrayuda, 2006 : 17).

Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berupa metode deskriftif, sesuai dengan pemikiran Bogdan dan Biklen (1982: 5) yang mengemukakan bahwa penelitian kualitatif lebih mengutamakan pengamatan yang bersifat latar alamiah dan perilaku manusia serta bersifat fenomenologi. Pengamatan tersebut dilaksanakan secara menyeluruh dan bersifat langsung. Berkaitan dengan itu, penelitian kualitatif tidak mengutamakan pengukuran dengan cara statistik, tetapi lebih mengutamakan kedalaman penghayatan dan tingkat interpretasi yang kritis terhadap objek yang dikaji secara empirik, sehingga terjadi interaksi yang konkrit antara peneliti dengan objek kajian ( Atar Semi dalam Desrini, 2010 : 47)

Penelitian ini menggunakan asumsi-asumsi kualitatif dalam sifatnya mengungkapkan persoalan yang bersifat fenomenologis dengan latar alamiah. Dalam hal ini, kenyataan fenomena budaya yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat nagari Lumpo, khususnya mengenai kehidupan berkesenian dijadikan sebagai sasaran untuk mengkaji sejauhmana permasalahan pewarisan budaya khususnya tari Rantak Kudo dalam kehidupan masyarakat nagari Lumpo.

Pada tahap awal dilakukan observasi yang bersifat grand tour, kemudian setelah menemukan permasalahan di lokasi penelitian dilakukan observasi yang bersifat mini tour, yang bertujuan untuk mengumpulkan data yang lebih mendalam terhadap permasalahan penelitian. Kemudian data diperoleh melalui teknikpengumpulan data yang telah ditetapkan, sehingga data mengenai problematika pewarisan tari Rantak Kudo dalam masyarakat nagari Lumpo dapat dianalisis melalui pendekatan etnografi. Pada gilirannya hasil analisis dijadikan bahasan dan laporan penelitian.

Objek dan Lokasi Penelitian

Objek penelitian adalah tari Rantak Kudo, yang merupakan tari tradisional masyarakat nagari Lumpo. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan nagari Lumpo, yang merupakan daerah bagian dari Kecamatan IV Jurai Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya menelusuri gambaran sistem sosial masyarakat nagari Lumpo, selain itu juga menelusuri brbagai fenomena budaya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kedua aspek ini dilakukan dengan pendekatan observasi terlibat dan wawancara. Sedangkan teknik yang lain yaitu dengan mengamati perilaku budaya dan kegiatan dari aktivitas seniman dan pelatihan ataupun pertunjukan tari Rantak Kudo, serta respon atau perilaku masyarakat terhadap keberadaan dan aktivitas budaya tari rantak Kudo dalam kehidupan masyarakat nagari Lumpo. Untuk mengumpulkan data dari perilaku budaya dan respon masyarkat terhadap tari Rantak Kudo, maupun mengenai aktivitas tarian tersebut, dilakukan dengan observasi terlibat dan wawancara serta melalui data kepustakaan dan dokumentasi.

Selain teknik wawancara, observasi terlibat, studi kepustakaan dan dokomentasi, teknik analisis data ini juga menggunakan bantuan perekaman, pemotretan dan pencatatan atau sketsa, dengan harapan agar data yang diperoleh lebih berkualitas dan lebih kompleks.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, dimana peneliti merupakan sebagai instrumen kunci. Meskipun begitu, untuk menghindari subjektivitas dan untuk mengutamakan hasil yang objektif, peneliti bertindak mengutamakan kejernihan pikiran dan menerapkan pedoman observasi yang konkrit. Sehingga peneliti tidak akan larut dalam suasana yang menurutkan rasa emosianal, dan berakibat melupakan diri sebagai seorang peneliti. Instrumen lain yang membantu peneliti adalah: kamera video, kamera photo, alat pencatat dan tape recorder, kesemua peralatan tersebut berfungsi untuk melengkapi instrumen utama.

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan berpedoman kepada 12 langkah penelitian yang diajukan Spradley (1997) dan dimodifikasi menjadi sembilan langkah yaitu; 1) menentukan objek penelitian,( 2) melakukan observasi lapangan, (3) melakukan analisis domain, (4) melakukan observasi terfokus, (5) melakukan analisis taksonomi, (6) melakukan observasi terseleksi, (7) melakukan analisis komponensial, (8) melakukan analisis tema budaya, dan (9) menulis laporan.

Kesembilan langkah tersebut, melibatkan tari rantak Kudo dan masyarakat serta seniman tari sebagai objek kajian utama. Selanjutnya melibatkan hubungan antara tari dan kehidupan masyarakat, melibatkan antara tari Rantak Kudo dengan sistem sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Melibatkan struktur tari dan komposisi tari dan menghubungkannya dengan respon masyarakat mengenai wujud tari itu sendiri. Kemudian menghubungkan keberadaan tari sebagai warisan budaya da permasalahan yang ada dalam pewarisannya masa kini.

Hasil Penelitian dan Bahasan

Struktur Masyarakat Nagari Lumpo

Struktur masyarakat nagari Lumpo dapat dikenal dengan dua bentuk struktur, yang mana kedua-duanya memiliki kekuasaan dalam wilayah mereka masing-masing. Kedua struktur tersebut sehingga kini masih memegang kekuasaan dan diakui secara hukum tertulis maupun secara tidak tertulis. Kedua struktur masyarakat tersebut adalah pertama struktur masyarakat adat (secara adat) kedua struktur masyarakat secara teritorial pemerintahan nagari Lumpo.

Struktur secara adat bersifat hirarki yang berlandaskan kepada garis keturunan ibu. Karena orang Minangkabau hidup berkerabat berdasarkan matrilinial. Masyarakat nagari Lumpo hidup berkaum-kaum dan bersuku-suku. Masing-masing kaum dan suku memiliki organisasi sosialnya masing-masing. Secara hirarki struktur yang ada dalam kaum pesukuan tersebut adalah dimulai dari pangulu, manti, malin dan rangtuo serta dubalang, dalam kaum sarumah gadang satu niniak (satu turunan nenek moyang) memiliki struktur mamak kapalo waris, dan niniak mamak kaum serta kamanakan. Antara mamak kapalo waris, niniak mamak kaum dan kamanakan berhubungan secara sosial dengan struktur kaum pesukuan, yang mana dalam satu kaum pesukuan terkadang terdapat tiga sampai enam kaum satu niniak. Berarti dalam satu kesatuan kaum pesukuan terdapat tiga sampai enam mamak kapalo waris.

Untuk pengankatan pangulu, dipilih dari utusan kaum-kaum, bisa saja dipilih di antara mamak kapalo waris yang ada. Namun terkadang ada juga yang bukan berasal dari para mamak kapalo waris tersebut, yang pasti setiap calon pangulu (penhulu) diusulkan oleh masing-masing kaum dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh kaum pesukuan tersebut. Untuk selanjutnya dimusyawarahkan berdasrkan kepada garis keturunan serta alur dan patut. Alur dan patut sangat diutamakan dalam pemilihan pangulu, sebab kedua aspek tersebut saling melengkapi, sehingga akan memperoleh sebuah keputusan yang adil bagi semua kaum yang ada dalam pesukuan tersebut.

Sedangkan struktur masyarakat yang berlandaskan kepada teritorial pemerintahan nagari, yang telah diatur secara nasional oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak lagi mempertimbangkan asas keturunan yang berlandaskan kepada garis keturunan dari pihak ibu. Akan tetapi dia bersifat formal bukan bersifat tradisional. Oleh sebab itu, struktur masyarakat yang terbentuk berdasarkan teritorial pemerintah tidak mengikat secara emosional bagi masyarakat nagari Lumpo.

Susunan hirarki struktur masyarakat yang berladaskan teritorial pemerintahan nagari adalah wali nagari,sekretaris wali nagari, wali jorong/wali kampuang, ketua RW dan ketua RT. Sistem pemilihan dalam strktur masyarakat yang berlandaskan teritorial pemerintahan nagari ini, tetap berpedoman pada asas demokrasi. Akan tetapi sistem demokrasinya ada dua bentuk yang pertama melalui musyawarah dan mufakat dan yang kedua melalui voting atau pemilihan suara. Khusus untuk wali nagari masa kini telah melalui voting begitu juga untuk wali jorong, sedangkan untuk ketua RW dan RT melalui musyawarah dan mufakat.

Asal Usul Tari Rantak Kudo

Tari Rantak Kudo diciptakan pada mulanya ketika sekelompok masyarakat kawasan Bayang yang berasal dari daerah Cupak dan Koto Anau (Kab. Solok sekarang). Mereka pergi dan pulang dengan menunggang kuda ke daerah Solok dari Bayang. Setelah kembali dari Solok, dalam perjalanan mereka melepas lelah. Namun sedang melepas lelah tersebut mereka dihibur oleh dua ekor kuda yang sedang bergelut, gerakan kuda bergelut tersebut terasa aneh dan menjadi tontonan apresiatif bagi mereka.

Berdasarkan wawancara dengan Amirudin (2010 : 23 September), setelah menonton peristiwa kuda yang sedang bergelut tersebut, beberapa orang di antara masyarakat berkenaan secara berpasangan meniru pula tingkah polah dari kuda tersebut. Meskipun geraknya tidak persis sama. Namun suasana dan keunikan kuda yang sering merentak-rentak dan membuat gerakan jalan melingkar saling berlawanan arah, perilaku kuda tersebut mereka tiru. Bedanya mereka bergerak sambil bersiul dan berteriak, sebagian ada yang berdendang-dendang semaunya. Sementara objek apresiatif mereka yaitu kuda hanya mengeluarkan suara pekikan saja.

Menurut Zakaria (2010 : 22 September), semenjak peristiwa tersebut, masyarakat mulai membiasakan gerakan-gerakan peniruan tingkah polah kuda tersebut apa bila ada acara berkmpul-kumpul baik di ladang dan di sawah. Semakin lama kegiatan tersebut telah pula membudaya bagi masyarakat tempat tinggal mereka. Dan akhirnya terus menyebar keberbagai daerah yang terdekat dengan mereka.

Dari hasil wawancara dengan Hasna (2010 : 24 September), semakin lama tradisi bergurau seperti kuda bergelut tersebut telah menjadi permainan bagi masyarakat. Sebab itu kegiatan tersebut telah menjadi sebuah kesenian tradisi. Pada awalnya gerak dari kesenian tersebut geraknya belum tersusun. Setelah berdasarkan kesepakatan masyarakat maka geraknya disusun berdasarkan pola langkah gerak pencak dan memasukan unsur gerak kuda merentak dan divariasikan dengan tangan, karena kuda juga bergelut menggunakan kaki depannya, dan kaki depan tersebut ibarat tangan manusia.

Berdasarkan penuturan Bustar dari hasil wawancara dengannya (2010 : 12 Oktober), gerak-gerak tari Rantak Kudo tersebut berlandaskan kepada pola langkah gerak silat dan jurus silat. Hal ini terjadi karena orang-orang yang menyusun gerak tari tersebut masa itu adalah orang-orang yang pernah dan sedang belajar silat. Sebab wawasan gerak mereka masa itu hanya terbatas pada gerak silat, jadi itulah yang bisa mereka jadikan dasar untuk menciptakan gerak tari Rantak Kudo tersebut. Semenjak disusunya gerak tari Rantak Kudo dan telah pula bernama tari Rantak Kudo, maka semenjak masa itu tari Rantak Kudo telah menjadi budaya dan identitas masyarakat di sekitar kecamatan Bayang sekarang, mulai dari Tarusan, nagari Lumpo, Salido sampai ke Painan sekarang. Dan semakin lama tarian tersebut menyebar ke berbagai penduduk yang ada disekitar wilayah tersebut. Sehingga kini tari Rantak Kudo telah merupakan warisan budaya masyarakat Peisir Selatan.

Perkembangan Tari Rantak Kudo Masa Kini di Nagari Lumpo

Perkembangan tari Rantak Kudo masa kini di nagari Lumpo agak kurang berkembang, tari Rantak Kudo tidak lagi melekat dengan berbagai kehadiran acara adat dan sosial yang telah mentradisi selama ini oleh masyarakat nagari Lumpo. Akan tetapi kehadiran tari Rantak Kudo bersifat insidentil saja, maksudnya aktivitasnya tidak tergantung lagi kepada kegiatan tradisi yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat nagari Lumpo. Kadang-kadang tari Rantak Kudo ditampilkan seiring dengan acara adat dan sosial, seperti acara baralek, namun ada juga yang dipertunjukan di luar acara tersebut seperti HUT RI dan kalau ada tamu pemerintahan di kenagarian ataupun di kecamatan.

Pada pemerintahan nagari masa lalu tari Rantak Kudo lebih banyak digunakan oleh masyarakat secara kelompok atau kaum-kaum yang terdapat di nagari Lumpo, namun masa kini kehadiran tari Rantak Kudo digunakan oleh orang-perorang secara pribadi, dan organisasi sosial maupun kaum-kaum yang ada di nagari Lumpo tanpa memandang acara adat yang biasa selama ini. Artinya kehadiran tari Rantak Kudo tidak perlu harus menunggu diadakannya pesta perkawinan, batagak gala, alek nagari, maulid nabi dan mambuka kapalo banda serta manuai padi. Tetapi kapanpun tari Rantak Kudo dapat disaksikan dan dinikmati oleh masyarakat nagari Lumpo, jika ada permintaan dari orang per-orang atau organisasi sosial, maupun organisasi budaya dan para peneliti kebudayaan dan pariwisata.

Sampai saat ini banyak masyarakat secara pribadi mengundang sanggar atau group tari Rantak Kudo untuk tampil di rumah mereka. Terkadang untuk memeriahkan kelahiran anak, mendoa sunatan anak mereka, sampai pada syukuran kenaikan pangkat jabatan dan syukuran panen dan acara keluarga lainnya.

Secara berkelompok masyarakat menggunakan tari Rantak Kudo untuk hiburan rakyat seperti menyambut tahun baru, hari raya dan HUT Republik Indonesia serta untuk acara-acara perayaan hari-hari besar lainnya. Selain itu juga tari Rantak Kudo diadakan untuk acara-acara yang berhubungan dengan acara pemerintahan seperti peresmian dan penyambutan tamu.

Sedangkan dalam penyebarannya tari Rantak Kudo tidak begitu berkembang di nagari Lumpo dan Kecamatan IV Jurai. Berdasarkan penuturan bapak Zakaria (2010 : 22 September), di nagari Lumpo hanya terdapat lebih kurang tiga sanggar tari yang mengurus perkembangan tari Rantak Kudo tersebut. Namun yang boleh dikatakan betul-betul aktif hanya dua sanggar saja, yaitu sanggar tari Mudo Saiyo dan sanggar tari Mudo Sakato sementara sanggar tari Rantak Bundo jarang sekali tampil, meskipun sanggar tersebut masih ada.

Secara kuantitas tari Rantak Kudo kurang berkembang, apalagi secara kualitas. Karena perkembangan tersebut bersangkut paut dengan minat dan motivasi masyarakat serta pemerintah untuk mengembangkannya. Selain perkembangan tersebut juga terkait kepada fasilitas yang perlu mendukung aktivitas tari itu sendiri.

Dari hasil wawancara dengan Zakaria (2010 : 22September), kurang berkembangnya pertumbuhan tari Rantak Kudo disebabkan oleh tiga faktor yaitu pertama faktor peminat dari generasi muda yang ingin belajar tari Rantak Kudo, kedua faktor fasilitas yang sangat kurang untuk membina para penari yang ingin belajar tari rantak Kudo, sedangkan faktor ketiga adalah kurangnya perhatian dari pemerintah dan para niniak mamamk atau tuan pangulu terhadap perkembangan tari Rantak kudo tersebut.

Ketiga faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan tari Rantak Kudo masa kini di nagari Lumpo dan sekitarnya. Fasilitas sangat dibutuhkan untuk membina para generasi muda yang berminat untuk belajar tari Rantak Kudo. Misalnya tempat latihan, sedangkan sekarang saja latihan tari Rantak Kudo terpaksa dilaksanakan di ruang tamu rumah Zakaria yang hanya berukuran 3X5 meter. Meskipun ada halaman rumah namun juga tidak mencukupi kata Zakaria.

Penari juga terkadang tampil tidak memiliki kostum yang baru, mereka kadang tampil dengan kostum yang lama, hal ini kurang menimbulkan motivasi bagi penari. Kostum tersebut telah usang dan bau, akhirnya para penari malas untuk tampil dan kurang percaya diri. Makin lama mereka makin mundur saja dari sanggar tari tersebut. Masalah konsumsi latihan juga sering dikeluhkan oleh Zakaria dan Amrudin. Mereka berdua yang membiayai sanggar tersebut, artinya setiap penari yang ingin belajar tari minum dan konsumsi makanan ringannya beliau yang menyediakan. Sebab itu, mereka tidak memiliki kesanggupan lagi untuk memberikan konsusmsi kepada anggota mereka. Hal ini membuat para penari juga agak malas untuk berlatih. Dan menyebabkan perkembangan tari Rantak Kudo agak tersendat-sendat dalam masyarakat nagari Lumpo.

Tari Rantak Kudo telah pula menjadi sarana hiburan bagi para wisatawan yang datang berkunjung ke darah pesisir selatan. Secara bentuk tari rantak Kudo tidak terlalu berkembang dari pola tradisional ke pola bentuk baru yang lebih mengikuti kepada selera masyarakat. Karena tari rantak Kudo yang terdapat di nagari Lumpo tidak ada mengadopsi unsur-unsur koreografi yang baru, seperti pengembangan ruang, motif gerak, kostum dan musik. Meskipun penarinya telah menggunakan tata rias, namun tata rias seadanya. Menurut Hasna, masalah kostum dan tata rias adalah masalah fasilitas yang tidak mereka mliki. Artinya untuk kostum dan tata rias mereka masih kekurangan dana untuk itu. Sedangkan masalah pengembangan tari rantak Kudo dari segi bentuknya, karena selama ini tidak ada pembinaan dari pemerintah melalui Dinas terkait ataupun melalui organisai sosial budaya dan pariwisata, sebab itu tarian yang mereka tampilkan belum sanggup memenuhi selera masyarakat masa kini.

Problematika Pewarisan Tari Rantak Kudo Di Nagari Lumpo

Ada beberapa hal yang dapat ditarik persoalan dari problematika pewarisan yang terjadi dalam pewarisan tari Rantak Kudo, yang dapat ditelusuri dari paparan perkembangannya yang telah diungkapkan sebelumnya. Adapun persoalan tersebut adalah terletak pada dukungan pemangku adat dan pemerintahan nagari, kedua terletak pada tanggung jawab personal masyarkat nagari Lumpo dan ketiga terletak kepada relevansi antara keinginan masyarkat dan bentuk penyajian tari Rantak Kudo sendiri sebagai suatu aktivitas kesenian.

Ketiga aspek tersebut mempengaruhi persoalan pewarisan tari Rantak Kudo di nagari Lumpo masa kini. Karena pewarisan tari Rantak Kudo sebagai warisan budaya tradisi masyarakat nagari Lumpo secara tidak langsung melibatkan kekuatan unsur elit adat, dengan adanya dukungan yang tegas dan kuat dari mereka secara kekrabatan matrilinial, dapat diprediksi pewarisan tari Rantak Kudo akan dapat dilaksanakan pewarisannya. Hal ini dapat dimulai dari ikatan keluarga satu suku atau kaum (clan) dan satu kumpulan nenek ( sakaum sarumah gadang). Atau yang lebih rendahnya satu ikatan kekerabatan mande (ibu) yang dikenal dengan samande. Sementara kenyataannya masa kini dukungan yang diharapkan dari elit adat tersebut jauh dari harapan, faktanya hamper tidak ada. Boleh disebut ekstrimnya tidak ada sama sekali, hanya proses pewarisan tergantung kerelaan penggiat atau pelaku dari tari Rantak Kudo itu sendiri. Akhirnya sistem pewarisan tari Rantak Kudo menjadi tertutup.

Berdasarkan wawancara dengan Jupri (2010 :22September) kenapa demikian dapat terjadi? Hal ini disebabkan kurang adanya tekanan dari niniak mamak (elit adat) dan tuan pangulu (penghulu) kepada anak dan kemenakan untuk belajar atau mewarisi tari Rantak Kudo tersebut. Di lain sisi pemerintah hanya seperti mempasrahkan saja persoalan pewarisan tari Rantak Kudo tersebut kepada senimannya dan tidak pernah lagi meninjau bagaimana proses pewarisan tersebut apakah dapat berjalan atau tidak saat ini dalam masyarakat. Elit adat dan pemerintah hanya mau menikmatinya saja tanpa pernah memperhatikan proses pewarisannya.

Dalam pewarisan budaya tari Rantak Kudo berdasarkan sistem matrilinial Minangkabau, bahwa pewarisan tari Rantak Kudo sebagai warisan budaya, tidak terlalu tegas ditugaskan ninik mamak untuk mewariskan seni tari tersebut. Selain daripada itu, juga tidak terlalu tegas diwajibkan bagi kalangan atau golongan satu pasukuan maupun satu paruik untuk mewariskan ataupun sebagai penerima warisan tari Rantak Kudo tersebut. Oleh sebab itu, pewarisan tari Rantak Kudo kurang kuat posisinya secara adat, hal ini menyebabkan terkendalanya pewarisan tari tersebut dalam masyarakat nagari Lumpo. Akan tetapi apabila elit adat menggunakan akses kekerabatan matrilinial dan kekuatan mereka secara adat seperti masa pemerintahan nagari masa lalu, maka pewarisan tari rantak Kudo masa kini akan dapat diwariskan secara berkesinambungan dan terstruktur dengan baik.

Problem lain adalah kurangnya minat dan responsif masyarakat kepada pentingnya arti dari sebuah keberlanjutan pewarisan daripada tari tradisional tempatan. Padahal tari tradisional Rantak Kudo merupakan sebuah tari tradisi yang sekali gus menjadi identitas kultural budaya bagi masyarakat nagari Lumpo. Sedangkan bangsa lain saja yang tidak memiliki identitas budaya berusaha sekuat mungkin untuk menjadikan tari tradisional Indonesia menjadi identitas bangsanya. Sebut saja negara Malaysia, meskipun orang Minangkabau telah menjadi bagian dari negara bagian mereka yaitu Negeri Sembilan. Akan tetapi di nagari lumpo justru terkesan masyarakatnya secara personal mengabaikan masalah pewarisan tari Rantak Kudo tersebut. Rendahnya minat dan motivasi mereka terhadap eksistensi tari rantak Kudo, berdampak kepada masalah tersendat atau macetnya penggenerasian dari pelaku tari Rantak Kudo di nagari Lumpo. Akibatnya ada alih generasi yang terputus, sehingga perkembangan dan pelestarian tari rantak Kudo berkisar dalam golongan usia senja. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat nagari Lumpo utamanya golongan muda kurang memiliki rasa tanggung jawab terhadap warisan budaya mereka.

Hal ini, bukan juga dipicu oleh persoalan seni global atau moderen, faktanya apabila ada pertunjukan tari rantak Kudo mereka ramai datang ke lokasi peertunjukan, untuk mengapresiasi dan menikmati suguhan tarian tersebut. Namun apabila berbicara masalah pewarisan atau mengelola masalah pertumkbuhan untuk kelestarian tari dimaksud, mereka banyak yang tidak meresponnya dengan positif. Artinya terpaksa persoalan pewarisan menjadi tertutupsaja dan pada gilirannya berkisar di lingkungan keluarga pewaris yang tua-tua, yang ada sekarang itu saja. Artinya juga pewarisan tari Rantak Kudo menjadi tidak merakyat, dan hal ini akan memnculkan persoalan baru lagi, yaitu bisa saja akan berdampak eksklusif atau berdampak materialistik dalam pembelajaran atau pelatihannya untuk masa datang.

Permasalahan ketiga yang mengahambat jalannya proses pewarisan adalah tidak sinkronnya keinginan masyarakat dengan persoalan intrinsik tari Rantak Kudo. Karena sampai saat ini tari Rantak Kudo tidak mengalami perubahan dari sudut komposisi ataupun koreografi. Secara tidak langsung nilai artistik dan nilai estetis tari Rantak Kudo dianggap oleh sebagian besar masyarakat telah ketinggalan zaman. Memandang daerah Lumpo dekat dengan Kota Painan, yang mana kota tersebut menjadi salah satu tujuan wisata Sumatera Barat, secara tidak langsung dapat dijadikan pasar bagi pertunjukan tari Rantak Kudo untuk konsumsi pelancongan. Akan tetapi sehingga kini bentuk tampiulan tari Rantak Kudo tidak juga mengalami perubahan yang signifikan sesuai dengan kebutuhan dunia kepariwisataan.

Bertitik tolak dari itu, kebanyakan masyarakat menilai bahwa pewarisan tari Rantak Kudo merupakan sebuah hal yang kurang bermanfaat, sebabnya tari tersebut kurang bernilai dalam masyarakat masa kini. Mereka mengukur dari sudut pandang azas manfaat ekonomi atau hiburan yang impresif. Karena itu, mereka kurang respon dan termotivasi untuk mewarisi tari Rantak Kudo masa kini. Persoalan ini memang menjadi hal yang dilematis bagi keberadaan tari Rantak Kudo. Sebab pemerintah sendiri boleh dikatakan belum pernah sampai sekarang memberikan pelatihan kepada seniman tari tradisi tersebut, untuk menambah pengetahuan mereka mengenai masalah mengembangakan bentuk tari secara kualitas. Dengan alasan sperti itu, masyarakat mengabaikan masalah pewarisan tari Rantak Kudo di nagari Lumpo.

Seperti menurut Sedyawati dalam Lusiana (2008 : 23), persoalan pewarisan dan pelestarian tari tradisi sangat berkait dengan kemauan masyarakat mempertahankan eksistensi tarian tersebut. Selain itu pewarisan terkait dengan perkembangan selera seni masyarakat saat tari tersebut akan diwariskan. Apabila peta selera seni masyarakat mulai beralih dari konvensiaonal ke rasional atau moderen, maka seharusnya pelaku seni tari tradisi perlu melakukan pula perubahan yang relevan dengan peta selera tersebut, sehingga tari tradisi dapat mempengaruhi respon masyarakat, dan pada gilirannya masyarakat memilki motivasi untuk mewarisinya.

Sedangkan pandangan lain dari Jusmaniar (2010 : 21), bahwa tari tradisi akan tetap bertahan dan terjaga kelstariannya, apabila seluruh unsur masyarakat menyadari bahwa tari tradisi tersebut merupakan hal yang penting bagi kebutuhan hidup mereka. Disamping itu, tari tradisi juga mereka sadari sebagai identitas budaya mereka, sekaligus harga diri mereka yang perlu untuk dipertahankan. Hal yang lebih penting lagi bagaimana mereka memposisikan tari tradisi dalam integrasi sosial mereka. Apabila mereka menempatkannya dalam hal tersebut, dapat dipastikan tari tradisi akan selalu sekuat mungkin mereka budayakan pewarisannya dari generasi ke generasi secara terbuka dan merakyat.

Simpulan dan saran

Simpulan

Tari Rantak Kudo merupakan tari tradisional masyarakt nagari Lumpo, sebagai tari tradisional tari Rantak Kudo juga merupakan warisan budaya dan identitas budaya masyarakat Lumpo. Tari Rantak Kudo telah ada semenjak abad ke 17 di nagari Lumpo, kehadiran tari ini hampir bersamaan dengan hijrahnya nenek moyang orang Lumpo dari kawasan Kabupaten Solok sekarang, yaitu sekitar Cupak dan Koto Anau.

Tari Rantak Kudo tercipta berdasarkan konvensi masyarakat nagari Lumpo yang pada awalnya terinspirasi oleh pergelutan dua ekor Kuda. Dari rangsangan kinetetis tersebut diciptakan tari Rantak Kudo, geraknya bersumber dari gerak pencak silat dan imitatif dari peristiwa pergelutan dua ekor kuda tersebut.

Perkembangan tari Rantak Kudo masa kini tidak begitu perkembang, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Meskipun terjadi perkembangan dan pergeseran dari area penyajian, yang biasanya hanya untuk keperluan masyarakat lokal dan keperluan adat serta hiburan rakyat tempatan saja, masa kini telah bergeser kepada kepentingan kepariwisataan. Namun bentuknya tetap saja secara koreografi dan komposisi tidak berubah secara signifikan. Dari segi pengelolaan tari Rantak Kudo masa kini tergantung kepada kerelaan hati senimannya yang telah tua-tua tersebut, seandainya mereka tidak sanggup lagi mengelola, dapat dipastikan tari Rantak Kudo tidak beraktivitas. Uluran tangan pemerintah dan masyarakat dalam hal ini masih kurang.

Seiring dengan persoalan perkembangan tersebut berdamapak pula pada problematika pewarisan tari Rantak Kudo. Tari Rantak Kudo mengalami permasalahan dalam pewarisannya, sehingga tarian tersebut kehilangan generasi penerus. Sampai saat ini adala generasi yang terputus agak terlalu jauh dari pakar-pakar atau sesepuh tari sekarang yang masih hidup. Kalaupun ada link generasi akan tetapi jumlahnya sangat terlalu sedikit jumlahnya. Probelmatika pewarisan ini disebabkan adanya tiga aspek yang tidak berfungsi dengan semestinya. Aspek tersebut adalah campur tangan elit adat dan pemerintahan nagari, kedua respon dan mativasi masyarakat serta tanggung jawab pribadi kepada identitas kultural, ketiga wujud tari Rantak Kudo masa kini dengan selera seni atau keinginan masyarakat sebagai penikmat seni.

Dampak dari problematika pewarisan ini, pada gilirannya kelestarian tari Rantak Kudo terancam punah, karena seiring dengan umur para pewaris sekarang yang rata-rata telah tua dan mendekati uzur, maka dapat diprediksi apabila problematika ini terus berlangsung tari Rantak Kudo akan punah seiring dengan wafatnya para pewaris yang tua-tua tersebut. Meskipun secara tertutup para pewaris yang tua-tua tersebut masih mewariskan dalam lingkup tertutup kepada keluarganya dalam lngkungan terbatas saja. Akan tetapi kegiatan tersebut masih diragukan kebertahanannya, karena pewarisan tari Rantak Kudo tidak lagi menjadi milik rakyat, dan juga pada akhirnya tari Rantak Kudo juga tidak merakyat.

Saran

Diharapkan melalui penelitian ini dapat membuka pikiran dan perhatian dari masyarakat nagari Lumpo khususnya dan masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan umumnya, agar tanggap dan responsif terhadap problematika pewarisan tari Rantak Kudo saat ini. Karena tari Rantak Kudo hanya tidak lebih dari sebuah seni yang terisolasi dari kehidupan masyarakat nagari Lumpo. Meskipun masih ada berjalan pewarisan, namun hal itu terjadi dalam lingkupo terbatas, oleh sebab itu pemerintah nagari Lumpo dan unsur elit adat agar cepat tanggap untuk menyelamatkan eksistensi tari Rantak Kudo, agar terus tumbuh dan hidup secara berkesinambungan.

Kepada masyarakat akademik dan seniman lainnya maupun para peneliti budaya, untuk terus mengembangakan kajiannya dan kreativitasnya yang bersumber kepada tari tradisioanal Rantak Kudo. Sehingga secara tidak langsung akan memposisikan tari Rantak Kudo dalam objek kajian yang sangat penting, sehingga ia perlu dijaga kelstariannya. Untuk hal itu perlu kiranya kalangan sanggar-sanggar di luar nagari Lumpo untuk mempelajarinya, maupun juga institusi formal seperti ISI Padang Panjang dan Sendratasik UNP mendokumentasikan serta mengembangkannya baik secara kualitas dan kuanttas.

Pustaka Acuan

Bogdan, Robert C, dan Biklen, (1982). Qualitatif Research for Education Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Desrini. (2010). “Sistem Pewarisan Tari Kain di Desa Aia Duku Painan Timur”. Skripsi tidak diterbitkan. Padang : FBSS UNP.

Indrayuda. (2006). Tari Minangkabau :Peran Elit Adat dan Keberlangsungan. Padang : Lemlit UNP

------------. (2008). Tari Balanse Madam Pada Masyarakat Nias Padang Sebuah Perspektif Etnologi. Padang:UNP Press.

Jasmiati. (2007). ”Pewarisan Tari Jalo di Muaro Sijunjuang”. Padang : FBSS UNP

Jusmaniar. (2010). ” Tari Rantak Kudo Dalam Masyarakat Lumpo”. Padang : FBS Universitas Negeri Padang.

Koentjaraningrat. 1987. Teori Antropologi I. Jakarta. UI Press.

Langer, Suzanne. K. (1988). Problems of Art. New York .

Lusianan, Rizki. (2008). “ Eksistensi Tari Bentan Di Desa Aie Duku Painan Timur Kabupaten Pesisir Selatan. Padang : FBSS UNP.

Rasyid, M. 2006. ”Struktur Tari Rantak Kudo”. Painan : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Pesisir Selatan.

Susmiarti. (2009). ” Kecenderungan Gaya Kontemporer dalam Karya Tari Mahasiswa Sendratasik FBSS Universitas Negeri Padang”. Padang: Lemlit UNP.

Yosika, Welli. 2008. ” Pewarisan Tari Ntok Kudo dalam Masyarakat Rawang Kerinci ”. Padang: FBSS UNP.

Read More......

Jumat, 18 Februari 2011

Perkembangan Tari Minangkabau


Read More......

Rabu, 09 Februari 2011

Perkembangan Tari Minangkabau


Read More......

Perkembangan Tari Minangkabau


Read More......

Sabtu, 29 Januari 2011

Perkembangan Tari Minangkabau


Read More......

Senin, 23 Agustus 2010

Pembelajaran Kesenian

PARADIGMA BARU DALAM PEMBELAJARAN KESENIAN[1]

OLEH:

INDRAYUDA dan A.S. HARDY SYAFII[2]

PUSAT PENGAJIAN SENI UNIVERSITI SAINS MALAYSIA

ABSTRACT

This article focuses on the new pradigm of arts learning. This study is based on the research in West Sumatera Province, Jambi and Bengkulu area. The findings of this research shown that most students having difficulties in understanding and enjoying the learning process due to conservative methods used by teachers. Teachers must be encouraged and exposed to a new dimensions of teaching and methodologies such as the appreciation recreative and exploration methods and by exploiting the invention of a new media in supporting and delivering the teaching of arts.

PENDAHULUAN

Beberapa tahun ke belakang dan saat ini berdasarkan hasil penelitian dan laporan dari guru-guru kesenian yang mengajar kesenian di berbagai sekolah yang ada khususnya di Sumatera Barat, Jambi maupun Bengkulu, menunjukkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan pengajaran kesenian di dalam kelas. Hal demikian dapat dilihat dari kurangnya motivasi siswa dan kreativitas serta kemampuan atau keterampilan mereka dalam memahami dan mempraktikkan mata pelajaran kesenian tersebut, seperti tari dan musik. Hal inipun disebabkan pula oleh fasilitas yang kurang tersedia.

Fenomena ini dari tahun ke tahun selalu seperti itu, alasan klasik ini yakni siswa kurang berminat, banyak siswa yang pada saat proses belajar kurang terfokus dalam menanggapi berbagai materi yang diajarkan guru dalam bidang seni tari, musik maupun drama. Guru kesenian yang mengajar sering tidak mendapat respon yang baik dari siswa, akibatnya gurupun merasa gusar. Dengan memperhatikan kenyataan tersebut, maka sudah barang tentu tujuan pembelajaran kurang tercapai.

Merujuk pada kurikulum mata pelajaran seni yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, secara umum untuk menumbuhkembangkan sikap dan perilaku siswa atau anak didik yang berloyalitas dan bertoleransi, di samping dapat mengembangkan diri dalam hal intelektualitas, kepribadian yang disampaikan melalui materi pembelajaran kesenian[3]

Seperti halnya yang tertera dalam buku Panduan Kurikulum yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang berbunyi:

Mata pelajaran Pendidikan Seni memiliki fungsi dan tujuan menumbuhkembangkan sikap toleransi, demokrasi, beradab, serta mampu hidup rukun dalam masyarakat yang majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual, ekspresi melalui seni, mengembangkan kepekaan rasa, keterampilan serta mampu menerapkan teknologi dalam berkreasi dan dalam memamerkan dan mempergelarkan karya seni. (Depdiknas, 2003; 2-3)

Inti dari kurikulum ini sudah barang tentu memperbaiki citra atau sikap siswa di samping memacu daya kreatifitas siswa, dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana membentuk siswa yang mandiri dengan mengembangkan kemampuan diri yang terarah yang dipandu oleh guru melalui mata pelajaran kesenian. Mata pelajaran seni merupakan media atau jembatan untuk mendorong siswa dapat bertoleransi, berkreasi dengan mengembangkan diri dan kepribadiannya.

Andai usaha-usaha yang dilakukan melalui mata pelajaran seni, di mana usaha-usaha tersebut mengalami hambatan dalam menerapkannya. Seperti guru tari di berbagai SLTP dan SLTA di Sumatera Barat, Jambi dan Bengkulu[4] dan mungkin hampir di Sumatera, di mana banyak guru seni yang mengeluh terhadap sulitnya menerapkan materi pada siswa, sehingga banyak siswa yang tidak mampu menguasai materi. Hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan siswa tidak mampu mengembangkan diri, atau siswa pada akhirnya memiliki prestasi yang belum memadai dalam nilai mata pelajaran bidang kesenian seperti seni pertunjukan yaitu tari, musik dan drama.

Di sisi lain, pendidikan kesenian seperti drama, musik, dan tari[5] sangat berbeda dengan pendidikan atau mata pelajaran lain dalam pengungkapannya. Seni drama menggunakan dialog dan akting atau mimik wajah dan bahasa tubuh , sedangkan musik menggunakan bunyi-bunyian dan tari menggunakan gerak yang mengisi ruang dan waktu, seni rupa menggunakan unsur rupa sebagai media ekspresi mengungkapkan gagasan . Keempat jenis kesenian ini, perlu mendapat cara dan pemahaman tertentu untuk menyampaikannya pada orang lain. Andai guru adalah penyampai, maka orang lain itu adalah siswanya (Astuti, 2002 :1987).

Lebih hlanjut Fadli (2005:1979) menjelaskan bahwa kegagalan guru dalam mentransformasi mata pelajaran kepada siswa disebabkan kurang menguasai strategi pembelajaran di antaranya metode dan media pembelajaran. Bahwa guru tidak menguasai metoda dan media pembelajaran dengan baik yang pada akhirnya berakibat pada tidak tercapainya hasil pembelajaran yang baik. Seharusnya guru menguasai metoda dan media dengan baik agar proses transformasi dari guru ke siswa dapat berjalan dengan baik pula, yang akhirnya siswa dapat menangkap komunikasi yang disampaikan oleh guru sehinggga pengetahuan mengenai tari, drama dan musik tersebut dapat diserap oleh siswa.

Kemampuan menguasai metode dan media saja, belum cukup menjadi jaminan akan tercapainya tujuan pembelajaran yang ideal, berdasarkan kepada tujuan pembelajaran kesenian dalam kurikulum pendidikan kesenian yang dicetuskan oleh Depdiknas Indonesia, tetapi bagaimana kemampuan menguasai metode dan media sejalan dengan kemampuan menempatkannya. Maksudnya, adalah penguasaan metoda ditempatkan pada kondisi yang tepat. Terkadang mungkin metoda ceramah yang tepat digunakan dalam situasi dan kondisi saat pembelajaran berlangsung , dan sebaliknya metoda diskusi ataupun metoda demonstrasi yang lebih tepat digunakan dalam saat kondisi dan situasi yang lain. Begitu juga dengan memilih media mesti menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran yang dilaksanakan.

Melihat pembelajaran kesenian merupakan sebuah pembelajaran yang berhubungan dengan kognitif dan psikomotorik[6]. Artinya bahwa dalam mata pelajaran kesenian yang diajarkan adalah pengetahuan dan keterampilan. Kedua aspek ini terdapat dalam pembelajaran tari, drama dan musik. Tanpa pengetahuan, kemampuan motorik juga tidak bisa diajarkan, sebaliknya tanpa ketrampilan motorik, siswa tidak akan terampil dalam mempraktikan materi pembelajaran tersebut.

Oleh karena itu mungkin perlu guru-guru kesenian di sekolah baik di Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas, saat sekarang mulai berpikir dengan paradigma baru, bahwa metode yang usang dan media yang tidak lagi up to date[7]perlu digantikan dengan hal-hal yang baru dan relevan. Hal ini terkait kepada strategi yang tepat yang dipilih oleh pengajar seni di sekolah, salah dalam menerapkan strategi maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Oleh yang demikian guru kesenian mesti merubah paradigmanya baik dalam sistem mengajar maupun terhadap tujuan dan sasaran pembelajran kesenian di sekolah umum. Selama ini paradigma guru bahwa kesenian adalah mata pelajaran pelengkap penderita hal ini juga perlu diubah, apalagi paradigma dalam sistem pembelajarannya yang lebih banyak berpraktik dengan menjadikan siswanya sebagai robot-robot yang tidak berekspresi dan kurang memiliki naluri estetis.

Merujuk berbagai paparan tersebut yang telah diuraikan di atas, maka makalah (paper) ini akan difokuskan pada paradigma baru dalam pembelajaran kesenian khususnya dalam pembelajaran yang berhubungan dengan seni pertunjukan, seperti tari, musik dan drama.

PEMBAHASAN

1. GURU MESTI MERUBAH PARADIGMA TERHADAP PEMBELAJARAN KESENIAN

.

Selama ini guru cenderung menganggap bahwa pembelajran kesenian di sekolah merupakan sebagai mata pembelajaran nomor dua, artinya pembelajaran kesenian dipandang tidak akan menghasilkan apa-apa. Sehingga guru keseniaan sebahagian ada yang mengajar asal-asalan saja, atau sebagai pelepas tanggung jawab saja. Di sisi lain guru menganggap kesenian hanya sekedar pengisi waktu luang saja, tidak seperti mata pembelajaran matematik, fisika dan kimia atapun bahasa inggeris dan ekonomi. Sehingga guru lainpun malah terkadang kepala sekolah sendiri berpandangan bahwa mata pembelajaran kesenian adalah sebagai mata pemebelajaran yang terlalu penting, karena dianggap mata pembelajran hura-hura.

Selain itu, guru kesenianpun dalam paradigma pembelajarannya menganggap siswanya sebagai robot-robot yang mampu dikendalikan dengan remote kontrolnya, yaitu dikendalikan dengan ceramahnya saja, serta sebahagian guru memang suka berceramah, meskipun siswanya sudah terkantuk-kantuk, sehingga tidak terjadi umpan balik yang bersifat kondusif dan membangun dari sisanya. Banyak guru kesenian selalu berpiir bahwa dia adalah guru yang mengajar sedangkan siswanya adalah murid yang diajar, artinya dia berpikiran di dalam kelas hanya ada dua struktur yaitu yang engajar dan diajar. Secara sistem sosial itu sangat betul, tetapi dalam dunia pendidikan sekarang apalagi pendidikan kesenian yang berdasarkan pada naluri dan emosi serta psikologi, mesti di antara kedua struktur tersebut saling bersinergi, sehingga pembangunan mental, emosi dan kemampuan mengaktualkan diri dari siswa akan mudah terbangun.

Sebab itu paradigma siswa sebagai robot tersebut perlu diubah oleh para guru kesenian di sekolah dalam melaksanakan pembelajaran seni di dalam kelas. Karena kesenian memerlukan rangsangan imajinatif yang dibangun berdasarkan ketenangan jiwa, dan emosi serta berbagai dorongan psikologi dari lingkungannya. Karenanya dalam pembelajaran kesenian seperti seni tari, musik dan drama dorongan dan sokongan moral sangat berpengaruh terhadap peningkatan kreativitas dan peningkatan kualitas belajar daripada siswa di sekolah.

Paradigma yang lain yang perlu diubah oleh guru adalah tentang strategi dalam pendekatan kepada siswa dalam pengelolaan kelas, yang selama ini guru adalah raja, berarti setiap perkataan guru tidak boleh disangah, itu perlu mesti diubah dalam masa kini. Persoalan lain adalah mengenai penguasaan metoda dan media, guru selalu berpendapat bahwa metoda ceramah dan metoda demonstrasi dari guru dalam praktik perlu dilakukan lebih banyak, karena siswa dianggap seperti pahat, bila di pukul baru dia akan berjalan. Paradigma seperti itu juga perlu diubah kepada paradigma yang baru dengan berpedoman pada situasi, kondisi dan tujuan kurikulum pembelajaran seni itu sendiri. Begitu juga dengan paradigma bahwa media pembelajaran seni cukup saja gerak tubuh daripada guru atau siswa yang dianggap pintar, kenyataan seperti ini selalu terjadi dalam pembelajaran tai, juga dalam pembelajaran teater atau drama dan musik. Jarang guru berpikir bahwa zaman sekarang adalah zaman teknologi,yang semestinya teknologi itu dimanfaatkan untuk kemudahan mereka dalam mentransformasi materi pembelajaran seni kepada siswanya. Apalagi secara fungsional teknologi tersebut adalah alat atau media yang mampu meringankan pekerjaan daripada manusia untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu sepatutnya media teknologi tersebut kita manfaatkan untuk efektifitas dan efisisensi pekerjaan guru di dalam melaksanakan pembelajaran kesenian di sekolah.

2. STRATEGI PEMBELAJARAN YANG HARUS DILAKUKAN

2.1. PENGELOLAAN KELAS SECARA PERSUASIF DAN KEMITRAAN

Strategi pendekatan persuasif atau kebapakan dan keibuan adalah strategi yang mesti digunakan oleh guru kesenian baik guru seni tari, musik dan drama di SLTP maupun di SLTA. Strategi pendekatan ini harus dilakukan mengingat siswa SLTP dan SLTA rata-rata adalah remaja putri dan sebagian remaja putra. Para siswa ini secara psikologis tidak bisa ditekan dan dilakukan ketegasan yang agak otoriter. Apabila hal seperti ini dilakukan mereka akan sulit menerima materi pelajaran yang disampaikan dalam proses belajar mengajar. Tak jarang para siswa vakum dan tidak memiliki motivasi walau ada namun sedikit sekali yang dapat dengan baik memahami materi pembelajaran tari, musik dan drama, apalagi yang menyangkut masalah teori.

Pendekatan persuasif ini adalah bagaimana seorang guru dengan kebapakannya atau keibuannya dapat mendekati para siswa sambil memberikan materi pelajaran. Guru dalam hal ini perlu membuka diri dan berdialog secara kekeluargaan dengan siswa. Guru sepatutnya mengetahui problem yang terjadi pada diri siswa dan dapat memahami problem tersebut yang pada gilirannya memberikan jalan keluarnya. Dengan begitu penerapan terhadap pembelajaran seni tari, musik dan drama tidak mendapat rintangan decara psikologis dari siswa.

Seorang guru seni sangat diperlukan melakukan pendekatan dengan strategi persuasif, karena seni sangat berhubungan dengan kejiwaan seperti emosi ataupun perasaan seseorang. Oleh sebab itu, berdasarkan pantauan di lapangan ternyata pendekatan secara emosional sangat membantu guru kesenian untuk merangsang minat siswa terhadap pembelajaran tari, musik dan drama.

Pendekatan strategi kemitraan adalah strategi untuk melonggarkan batas-batas formal yang biasanya terjadi di sekolah seperti biasanya di lembaga pendidikan apalagi pada sekolah lanjutan tingkat pertama. Kesan formal sangat terasa dalam proses belajar mengajar apalagi dalam pembelajarn di kelas. Terutama kesan ini terlihat Pada mata pelajaran yang bersifat teori. Kesan formal tersebut perlu diganti dengan kemitraan. Artinya bukan dengan sendirinya lantas siswa bisa menganggap enteng guru. Tetapi guru dengan kedudukannya sebagai guru dan dengan batas-batas etika keguruannya mengajak siswa saling bertukar pikiran seperti pada mata pelajaran yang bersifat praktik.

Adanya pendekatan kemitraan, berarti telah terjadi keterbukaan antara guru dan siswa. Hal ini berdampak kepada terlaksananya interaksi antara guru dan siswa. Dengan adanya interaksi yang baik menyebabkan tercapainya proses belajar mengajar yang kondusif. Berarti pula dapat terjadi proses transformasi yang baik dari penerapan pembelajaran kesenian kepada siswa.

Sering seorang guru terkadang lupa, apalagi guru seni seperti guru tari, musik dan drama bahwa seni pertunjukan (persembahan) adalah sebuah seni yang bersifat kolektif bukan sebuah cabang seni yang bersifat individual, bila sebuah seni individual seorang kreator tidak perlu meminta bantuan orang lain, namun dalam seni pertunjukan kerjasama antara satu dan lain pihak sangat diwajibkan sehingga tercapai tujuan yang dinginkan. Seperti pertunjukan atau pelatihan dan pengajaran, artinya kalau tidak ada siswa (murid) berarti tidak ada guru, begitu sebaliknya kalau tidak ada guru berarti tidak dapat berjalan sebuah pembelajaran.

Oleh sebab itu pemilihan pendekatan strategi kemitraan sangat diperlukan oleh seorang guru seni, dengan menerapkan strategi ini siswa akan merasa terlibat sebagai kreator atau sutradara dalam masalah pembelajaran drama, artinya kehadiran mereka memiliki arti yang sama dengan guru untuk mencapai terjadinya sebuah pembelajaran seni yang kondusif dan berhasil. Karena pembelajaran seni tidak sama dengan pembelajaran yang lain, seni sarat dengan melibatkan intuisi dan emosi. Bahkan emosi merupakan juga salah satu unsur utama daripada seni pertunjukan selain daripada gerak. Sebab itu memposisikan siswa sebagai mitra daripada guru seni, adalah hal yang menguntungkan, bukan berarti secara struktural melemahkan wibawa atau hirarki dari seorang guru. Namun meningkatkan kharismatik guru di depan mata siswa itu sendiri.

2.2. METODE YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN KESENIAAN YANG RELEVAN MASA KINI

Secara tradisi metode yang dilakukan oleh guru kesenian selalu bertitik tolak daripada metoda ceramah, demonstrasi dan tanya jawab, namun yang dominan dan paling dominan adalah metoda ceramah, selanjutnya dalam pembelajaran seni dilakukan dengan metode demonstrasi untuk pembelajran praktiknya. Terkadang metode demonstrasi tidak pula terlalu detail, artinya seorang guru tari atau musik sering memberikan percontohan yang kurang rinci mengenai detail-detail gerak dan detail artikulasi bunnyi vokal suara maupun dalam memetik gitar dan memaminkan recorder misalnya. Hal ini pun disebabkan juga dengan sedikitnya jam pembelajran yang tersedia, akibatnya guru sering mengejar jam tayang dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Sehingga bagaimana pembelajaran dapat berlangsung secepat mungkin dan materi terajikan sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Dalam makalah ini akan ditawarkan paradigma baru mengenai strategi pemeblajaran dengan metode yng dianggap relevan, seperti metoda yang disebut dengan metode Eksplorasi (penjelajahan), metoda Apresiasi dan Rekreatif Pikiran

2.2.1 METODE EKSPLORASI (PENJELAJAHAN)

Menurut Afrizal (2001:63) bahwa keterampilan berhubungan dengan kemampuan motorik yang dimiliki siswa. Siswa memiliki tinggi rendahnya kemampuan motorik. Oleh sebab itu, perlu didekati dengan metode latihan dan metode pembelajaran yang tepat agar kemampuan atau keterampilan motorik siswa dapat terbentuk dengan baik.

Berdasarkan kepada hal di atas guru seni baik tari, musik dan drama menerapkan metode pembelajaran eksplorasi (penjelajahanan). Metode eksplorasi ini dilakukan guna menyesuaikan dengan pokok bahasan yang ada dalam kurikulum. Dimana dalam kurikulum terdapat pokok bahasan yang meliputi praktikal, seperti : (1) praktik tari, (2) praktik musik, dan (3) praktik drama.

Untuk menindaklanjuti pokok bahasan tersebut diatas, guru kesenian perlu melakukan metode eksplorasi. Seperti dalam pembelajaran tari dan drama, guru membimbing siswa untuk menentukan judul atau topik sebuah tarian dan tema dari cerita yang akan diperankan, kemudian siswa disuruh bereksplorasi. Terkadang eksplorasi dilakukan dengan tema-tema sederhana, malah terkadang berangkat dari cerita yang ringan dan akrab dengan lingkungannya, seperti cerita burung terbang mencari makan, itik pulang ke kandang, si pengemis, dan pedagang asongan.

Siswa dalam menjalankan eksplorasi harus bisa menjelaskan apa yang dia eksplorasi. Namun sebelumnya guru seni tari, dan drama terlebih dahulu perlu menjelaskan apa itu eksplorasi dan apa tujuan dan kegunaannya. Ternyata setelah siswa melakukan eksplorasi, yang menjadi indikator atau penilaian kepada siswa bukanlah berhasil tidaknya hasil eksplorasi, melainkan sikap yang positif positif dan penghargaan terhadap mata pelajaran kesenian tersebut. Sehingga sasaranya adalah, siswa akan paham apa itu tari dan seni gerak maupun apa itu bunyi yang harmonis yang dikatakan musik serta bagaimana berlakon yang baik itu seperti apa. Artinya mereka mulai paham bagaimana sebetulnya pembelajaran kesenian tersebut, karena mereka telah menjelajahinya dari segi tenaga, ruang dan waktu maupun dari segi emosi dan ekspresi, serta mereka juga telah merasakan bagaimana menghayati dan mentransformasi objek kepada sebuah bentuk kesenian, seperti bagaimana mereka merasakan melahirkan gerak burung yang sedang terbang, pada gilirannya mereka refleksikan sendiri dalam wujud geak milik atau ciptaannya sendiri.

Bagian yang terpenting dalam eksplorasi adalah melatih gerak atau keterampilan motorik siswa. Dengan melakukan eksplorasi, secara tidak langsung siswa melakukan suatu latihan motorik yang pada gilirannya menghasilkan gerak reflek atau suatu intuisi atau perasaan yang peka terhadap rasa seni, baik rasa musikal, rasa akting dan rasa gerak. Melalui eksplorasi seorang siswa dapat menemukan sendiri teknik olah vokal yang menurut mereka cocok dengan dirinya, begitu juga dengan tari dan drama, seorang siswa akan merasakan bahwa saya cocok berakting seperti ini dan seperti itu. Dalam arti kata, eksplorasi menghasilkan suatu sensitifitas yang tinggi terhadap motorik siswa.

2.2.2 METODE APRESIASI dan REKREATIF PIKIRAN

Metode Apresiasi dilakukan bertujuan agar siswa tidak merasa monoton dalam belajar menggunakan media atau materi yang itu ke itu juga. Di sisi lain metode apresiasi dilakukan dengan tujuan agar siswa lebih bertambah wawasan dan cakrawala berpikirnya tentang kesenian.

Kegiatan yang dilakukan dalam metode Apresiasi adalah menyaksikan berbagai pertunjukan kesenian baik itu di sekolah maupun di luar sekolah. di luar sekolah yaitu yang disajikan di Gedung Pertemuan Kabupaten dan Kecamatan. Selain itu siswa diajak menyaksikan pertunjukan kesenian ke pusat kesenian seperti Taman Budaya, karena Taman Budaya adalah sumber informasi dan apresiasi bagi siswa. Guru boleh saja melakukan kegiatan pembelajaran sekali waktu di lu ar kelas seperti di Taman Budaya tersebut, artinya guru dapat memberikan contoh konkrit terhadap materi pembelajran seni yang di ajarkan seperti tari, musik dan drama. Karena guru langsung memberikan apresiasi yang aktual kepada siswanya.

Pada kesempatan itu guru perlu memberikan hiburan dari berbagai tontonan kesenian kepada siswa yang terdapat di pusat kesenian tersebut, sehingga siswa perlu pikrannya diberi rekreasi, guna mengendurkan syaraf pikirannya yang telah terkontaminasi degan mata pelajaran yang menyita psikologi dan pikirannya. Setelah hal ini dilakukan baru tahap berikutnya guru mengarah kepada dialog dan diskusi sekitar topik pembelajaran seni yang sedang diajarkan.

Kegiatan apresiasi dilakukan berulang-ulang, artinya tidak dilakukan sekali saja. Sehingga siswa dapat memahami dan menghayati serta menghargai dan mencintai tari sebagai mata pelajaran dari pendidikan kesenian yang ada di sekolah.

Metode Apresiasi berdampak pada kecintaan siswa terhadap kesenian, terutama apresiasi telah memotivasi siswa terhadap pengertian seni tari, musik dan drama sebagai produk kesenian. Dengan berapresiasi siswa memiliki sensitifitas terhadap kesenian. Pada gilirannya siswa mampu menguasai pengetahuan, pemahaman dan mampu mengklasifikasi seni serta memilki sensitifitas yang tinggi terhadap seni, sehingga mereka memiliki tingkat penghargaan dan kecintaan yang tinggi kepada mata pelajaran kesenian.

2.3 MEDIA PEMBELAJARAN

Guru perlu mengaktifkan media pembelajaran yang relevan dengan mata pembelajaran, seperti seni tari dan musik maupun drama, masing-masing mata pembelajaran tersebut memilki kesamaan dan perbedaan. Selalin itu jangan terfokus lagi pada media yang dianggap tidak aktual, seperti pada seni tari di mana guru tari sealu saja menggunakan media tubuhnya sendiri sebagai media, kemudian dibantu oleh tape recorder. Semestinya dalam paradigma baru pemebelajaran kesenian khususnya tari, seorang guru mesti menggunakan media teknologi. Karena siswa sendiri tela banyak yang mengerti dan paham dengan teknologi, misalnya siswa SLTP dan SLTA sudah mampu mengaktifkan peralatan computer dan mengakses internet. Hand phone saja sudah banyak yang canggih.

Sebetulnya teknologi bukan berarti elektronik saja, artinya teknologi itu juga ada yang manual, karena banyak guru-guru mengatakan bagaimana kami untuk memutar video kami tidak mengerti dengan laptop atau kami belum paham dengan LCD. Teknologi bisa digunakan yang manual, artinya seorang guru musik bisa saja membuat gambar tut piano atau pionika dengan karton, dan membuat motif gerak tari dengan sketsa, atau dengan patung-atung dari kawat sebagai contoh jika guru tersebut belum mampu mengaktifkan teknologi computer (laptop). Namun sebaiknya juga guru memutar film tari, dan cuplikan-cuplkan motif geraknya secara ditail. Begitu juga dengan guru drama, bisa melalui gambar-gambar karikatur dan slide atau foto, sehingga pembelajaran lebih dapat diarahkan dan mampu menarik minat siswa serta mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap pemebelajaran kesenian tersebut.

2.4. GUNAKAN MATERI YANG MEMPERTIMBANGKAN USIA DAN PSIKOLOGI SISWA

Dalam memberikan bahan materi praktik sepatutnya guru mempertimbangkan emosi dan usia dari siswa tersebut. Terkadang misalnya siswa SLTP oleh guru musik telah diberi lagu-lagu klasik dalam praktik ensambel atau musik sekolah, mestinya lagu seperti itu digunakan untuk mahasiswa seni di perguruan tinggi, atau di SMK yang khusus belajar musik. Bagi sekolah umum tujuan pemebalajaran kesenian tidak sama dengan di SMK, oleh sebab itu pemilihan materi perlu yang relevan. Artinya sesuaikan materi tersebut dengan tingkat psikologi dan usianya.

Seperti siswa SLTP lagu yang cocok bagi mereka adalah lagu yang akrab dengan masa mudanya, seperti lagu remaja, karena juga tidak ada salahnya lagu remaja diajarkan, sebab itu di sekolah umum tidak mencetak atau memproduk penyanyi tapi bagaimana melalui bernyanyi tersebut kita dapat mendidik siswa untuk bekerjasama, memiliki solidartas, loyalitas dan melatih kepekaan pikiran, perasaan dan berkreatifitas serta hidup beradab. Sebab itu seorang guru mesti mengajarkan musik tersebut yaitu musik pendidikan, atau mengajarkan tari juga tari pendidikan, begitu juga dengan drama. Bukan harus mementingkan kualitas bernyanyi atau menari dan berakting, bukan itu harusnya sasaran pembelajaran seni di sekolah umum. Namun penekanannya adalah kepada bagaimana pembelajaran kesenian sebagai alat untuk membawa siswa menjadi seorang yang manusiawi, yaitu berpikir, bergaul, beradab dan bermartabat serta kreatif dan progresif. Pembelajran seni merupakan alat untuk menuju hal tersebut, karena pembelajaran seni dipandang memiliki daya magis untuk membentuk seorang siswa menjadi manusia yang humanitis dan cerdas. Itulah paradigma baru dunia pendidikan seni masa kini.

Oleh yang demikian, pembelajaran seni jangan dipandang lagi sebagai pembelajaran kelas dua, atau hanya sebagai pelengkap penderita. Bahkan sebetulnya melalui seni orang bisa hidup mandiri tanpa menjadi pegawai negeripun, banyak artis yang kaya-kaya daripada Profesor atau Wali Kota dan Gubernur bahkan daripada seorang Presiden sekalipun. Namun pembelajaran seni di sekolah umum bukan untuk mendidik siswa untuk mencari lapangan pekerjaan, tapi kalau ada masyrakat atau guru bidang studi lain mengangap seni tidak dapat menghasilkan uang, atau tidak menjamin masa depan itu adalah pandangan yang keliru. Mungkin paradigma ini yang melekat dari orang tua siswa dan guru-guru serta siswa selama ini, sehingga menghalangi proses pembelajaran seni di sekolah, penulis berharap mulai saat ini paradigma seperti itu perlu dihapus dalam memori kita semua, termasuk insan guru.

PENUTUP

Penerapan pembelajaran kesenian di sekolah-sekolah terkadang tidak dapat berjalan dengan baik, dan tidak dapat memenuhi tujuan dan sasaran pendidikan yang tertera dalam kurikulum. Hal ini secara klasik disebabkan oleh berbagai kemampuan guru yang kurang dapat menjabarkan materi pelajaran dengan baik.

Kekurang mampuan guru tersebut bisa saja berasal dari penerapan yang dilakukan dalam pembelajaran tidak menguasai strategi pembelajaran seperti metode dan media yang baik dan tepat. Guru sering terkesan menggunakan metode yang monoton dan tidak memiliki metode maupun menguasainya dengan baik.

Hal yang paling keliru adalah paradigma guru yang selama ini, menempatkan pembelaaran seni sebagai pelajaran kelas dua, bahkan termasuk pimpinan sekolah, siswa dan orang tuanya. Selain itu penguasaan pengelolaan kelas yang belum mengunakan strategi yang relevan.

Sebab itu, seorang guru mesti merubah paradigmanya terhadap pembelajaran kesenian, baik paradigma tentang tujuan, sasaran, metode dan media serta pemilihan materi pembelajaran yang relevan dengan tingkat usia siswa. Oelh karenanya, dalam makalah ini ditawarkan beberapa metode selain metode konvensional yang biasa digunakan yaitu ceramah dan demonstrasi, seperti metode apresiasi dan rekreatif pikran dan metode eksplorasi.

Selain daripada metode seorang guru kesenian masa kini mesti memanfaatkan teknologi dalam media pembelajarannya, karena teknologi dapat membantu seorang guru untuk berlaku efektif, efesien dan mampu membantu seorang guru untuk menjelaskan materi pembelajaran. Media yang bersifat teknologi bukan saja yang bersifat elektronik tetapi juga ada yang bersifatkan manual. Dengan menerapkan paradigma baru tersebut dalam pembelajaran kesenian di sekolah, maka pada gilirannya pembelajaran kesenian memperoleh pencapaian hasil yang sesuai dengan kansep pendidikan tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Afrizal.2001.Pengaruh Metode Latihan dan Kemampuan Motorik Terhadap Hasil Latihan Ketepatan Tendangan ke Gawang Sepakbol.Jurnal Forum Pendidikan Nomor 1, Tahun XXVI/edisi Maret 2001.

Astuti, Fuji.2001. Strategi Pengajaran Ketrampilan Tari di Sekolah Kejuruan Kesenian.Jurnal Komposisi Pendidikan Volume 2 Nomor 1 Tahun 2003.

Jama, Julius.2001.Paradigma Penataan Program Studi : Model Pendekatan Sistem.Jurnal Forum Pendidikan Nomor 1 Tahun XXVI/edisi Maret 2001.

Mukhadis, A. 2004 “ Menciptakan Pembelajaran Kondusif Berbasis Pendekatan Competency Based Training di Sekolah Menengah Kejuruan.” Buletin Pembelajaran Volume 27 Nomor 03 Desember 2004.

S. Farida, 2002. Pengaruh Komunikasi Instruksional terhadap Sikap Siswa dalam Bidang Studi IPS.” Buletin Pembelajaran Nomor 03 Tahun 25/ September 2002.

Suud Ibnu, Akman. 2001. “Keterampilan Mengajar Guru Fisika dalam Proses Pembelajaran Fisika di SMU Negeri Kodya Padang.” Forum Pendidikan Nomor 01 Tahun XXVI/edisi Maret 2001.

Syahrul. 2002. “Pembelajaran Randai di Sekolah dalam Memupuk Kreatifitas Siswa.” Buletin Pembelajaran Nomor 03 Tahu



[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Tentang Paradigma Baru pendidikan di Universitas Negeri Medan

[2] Indrayuda adalah Dosen di Universitas Negeri Padang, memperoleh M.Pd dalam Bidang Pendidikan Sosiologi Antropologi dan saat ini mengambil program Doktor di Universiti Sains Malaysia Pulau Penang, A.S. Hardi Syafii seorang Dosen (pensyarah) dan Pakar serta Doktor dalam Bidang Teater (khususnya Makyong) di Universiti Sains Malaysia

[3] Konsep seperti itu adalah konsep yang sebenarnya, yang mesti diaplikasikan oleh para pendidik seni di sekolah umum, bukan mendidik siswa menjadi seorang seniman atau pelaku seni.

[4] Berdasarkan penelitian dan observasi maupun keluhan secara langsung dari guru kesenian tersebut yang rata-rata berasal dari alumni Jurusan Sendratasik IKIP Padang (UNP).

[5] Bahagian daripada seni pertunjukan ( seni persembahan)

[6] Psikomotorik adalah sebuah pembelajaran yang berhubungan dengan ketrampilan, seperti ketrampilan bernyanyi, menari memaminkan gitar atau rekorder maupun perkusi

[7] Adalah mengenai media pemebelajaran yang terkini.

Read More......