Sabtu, 20 Desember 2008

orientasi spirit tradisi dalamkarya tari kontemporer pada pembelajaran koreografi tari

ORIENTASI SPIRIT TRADISI

DALAM KARYA TARI KONTEMPORER

PADA PEMBELAJARAN KOREOGRAFI TARI


Oleh: Indra Yudha

ABSTRAK

Dewasa ini perkembangan dan pendidikan tari tidak saja sebatas estetika dan artistik, akan tetapi tari telah jauh melangkah seiring dengan terjadinya perubahan sosial budaya dan pertumbuhan ekonomi yang semakin melaju, apalagi perkembangan sains dan teknologi ikut menyeret perubahan dalam ilmu dan pengetahuan tari. Dewasa ini dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademik, pola garapan dalam koreografi tari tidak saja sebatas konvensional yang hanya sekedar penataan gerak demi gerak, tetapi tari juga merupakan media kritik maupun media ekspresif dari senimannya. Tari saat ini bukan saja menjadi milik komunitas tertentu (tradisi) akan tetapi tari merupakan milik individual. Dunia tari yang bersifat individual tersebut dikenal dengan tari kontemporer. Ada kecenderungan di Indonesia dewasa ini, walaupun tari tersebut berbentuk pola garap kontemporer, akan tetapi dia tidak terlepas dah idiom atau spirit tradisi yang dimiliki oleh koreografi. Fenomena ini menjadi trend baru dalam pengetahuan dan pembelajaran koreografi, dalam konteks karya tari kontemporer Indonesia, yang dikembangkan oleh akademisi seni.

Kata Kunci : Tari Kontemporer, Spirit Tradisi dan Pola Garap.

I. Pendahuluan

Perkembangan pengetahuan dan pembelajaran koreografi pada pendidikan seni, maupun oleh seniman pelaku dewasa ini, seringkali membuat orang jadi tercengang‑cengang, takjub, bahkan ada yang tak mampu lagi menangkap spiritnya. Perubahan demi perubahan akan nampak jelas kalau menyimak pada lima puluh tahun yang lalu, seratus tahun yang lalu atau masa yang lebih lama lagi. Kelangsungan sebuah kesenian berjalan seperti mengiring jenasah seorang raja, semuanya tunduk dan kenikmatan pun dijaga (Juprianto, 2000:20).

Pada waktu yang lampau, bukan berarti kebudayaan itu tidak berkembang, hanya saja perubahannya tidak begitu terasa mengejutkan. ­Gejolak perasaan (batin) dan tingkah laku manusia terkungkung (imanensi) oleh berbagai sistem dalam kehidupan yang merupakan benteng untuk mempertahankan keselarasan dan keseimbangan kosmos. Dalam kehidupan yang dikembangkan bukan bentuk ujud laku (kegiatan) atau bentuk fisik, tetapi eksistensinya yang selalu dimantapkan. Hakikat perubahan adalah evolusi dan bukan revolusi. Hal ini yang terjadi dewasa ini pada pengetahuan koreografi yang dilakukan dalam dunia pendidikan tari.

Akan tetapi pada kenyataannya, kesenian tidak pernah berhenti atau mandhek, tetapi selalu tunduk pada suatu gerakan (perubahan); yang lama akan hilang atau berubah untuk diganti dengan yang baru. Setiap perubahan kebudayaan (kesenian) memiliki hidup dan spirit yang memberi arti atau makna kepada manusia, dengan menempatkan kedudukannya dalam kosmos dan dengan menegaskan fungsinya dalam hubungannya dengan hidup itu sendiri. Adanya berbagai gejolak perubahan yang terjadi itu kesenianpun nampak pertumbuhan yang begitu pesat dalam budaya temporer (Eru,1992,73).

Perubahan dalam dunia pendidikan seni, seperti halnya seni tari adalah wajar. Karena usaha itu merupakan suatu bukti adanya semangat untuk membentuk atau mencipta, dengan mencipta berarti melakukan suatu perubahan,hanya saja dalam berbagai perubahan selalu memunculkan gaya dan warna yang mengiringi perubahan tersebut, hal ini mungkin terlihat pada pola garap, trend, teknik dan gagasan yang menembus batas‑batas geografis dan kultural. Fenomena tersebut terlihat aktual dalam pembelajaran koreografi yang dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi seni dewasa ini.

Kehadiran sebuah perubahan dalam seni tari berarti menunjukan suatu penawaran nilai, baik teknik ataupun nilai estetik. Penawaran nilai itu senantiasa diikuti oleh adanya sebuah kehadiran "ujud bentuk” (form and structure). Bentuk-bentuk yang hadir tidak selamanya sama atau serupa dengan yang lama atau pernah ada, tetapi bisa jadi hadir sangat spektakuler dan bersifat menantang.

Kehadiran bentuk dan nilai yang ditawarkan ilmuwan tari serta seniman pelakunya pada setiap waktu, senantiasa disemangati oleh zamannya. Artinya ide serta gagasan merupakan suatu reaksi terhadap sesuatu yang menyentuh perasaan, dengan segenap sensitifitas (kepekaan) dan kreativitasnya dalam melontarkan tanggapan. Hal ini ditegaskan oleh Lois Elfeldt dalam bukunya : A Primer for Choreographers bahwa kehadiran sebuah karya tari adalah suatu ungkapan, sebuah pernyataan, dan sebagai ekspresi dalam gerak yang memuat komentar-komentar terhadap realitas, dimana image-image gerak yang hadir membuat manusia lebih sensitif terhadap realitas (Andra, 1994:80)

Menyimak hal tersebut ternyata setiap kehadiran tari selalu membawa realitasnya sendiri. Pada setiap zaman, bahwa pada sebuah daerah selalu membentuk realitas sesuai dengan kondisi dan situasi. Misalnya sebuah desa mempunyai perbedaan‑perbedaan realitas yang esensial dengan kota. Sementara kota kecil akan berbeda realitasnya dengan kota besar (metropolitan). Sudah barang tentu pernyataan‑pernyataan kinetik dari seniman yang berada di daerah‑daerah yang satu dengan yang lain akan mempunyai atau membawa perbedaan ungkap, pernyataan atau ekspresi dalam menanggapi realita lingkungannya.

Perbedaan berdasarkan tempat atau ruang itu merupakan ungkapan yang didasarkan atas tanggapan dari kondisi geografis atau dibentuk oleh sifat etnisnya. Di sisi lain perbedaan ungkap yang ditimbulkan atau perbedaan masa atau waktu adalah hasil respon terhadap realitas sosial.

Realitas sosial memiliki berbagai spirit dan nilai‑nilai kultural, yang bagaimanapun perubahan terjadi melingkupi kebudayaan tersebut, namun wawasan kultural dan spirit kultural akan selalu hadir dalam bentuk karya manusia tersebut. Secara faktual, apalagi dewasa ini kesenian yang dilahirkan oleh seniman lulusan akademik berorientasi pada siklus nilai‑nilai tradisi.

Trend spirit tradisi dalam dunia seni temporer dewasa ini menjadi konsep siklus dan orientasi pola garap dalam suatu perubahan budaya. Bagaimanapun seorang seniman tidak bisa begitu saja ditarik dari akar budaya yang melingkupinya, dimana budaya tersebut selama ini telah memberi inspirasi dan kekayaan estetis kepadanya, untuk itu pantas rasanya sebuah seni kontemporer memiliki spirit tradisi dari yang selama ini menaungi kehadiran kreator tersebut.

Fenomena tersebut akhir‑akhir ini yang dikembangkan oleh sebagian pengajar koreografi di perguruan tinggi seni, para pengajar koreografi mencoba kembali merevitalisasi seni tari tradisi sebagai orientasi pola garap dalam penciptaan karya tari kontemporer.

II. Pengertian Seni Kontemporer

Seni kontemporer merupakan sebuah klasifikasi tentang seni yang lebih bersifat pada bentuk, ruang dan waktu serta didorong oleh selera yang sangat individual, baik bagi komunitas penonton maupun seniman kreator sendiri. Seni kontemporer selalu bergerak seirama dengan perkembangan waktu, seni kontemporer juga membebaskan dirinya dari ruang tertentu dan masuk kepada ruang lain yang dianggap relevan oleh pribadi senimannya.

Dalam konsep seni kontemporer, sebuah karya tidak terikat oleh sebuah aturan yang baku dan kaku. Misal saja seorang seniman Batak yang melahirkan sebuah karya tari, tidak harus terpaku dengan aturan‑aturan yang berlaku dalam tarian Batak. Ia bebas mengembara, sesuai bentuk apa yang ingin diminati oleh koreografer tersebut (Wijaya, 1998:25).

Dalam dunia kontemporer juga tidak terikat dengan seniman yang universal, seperti halnya balet, ia juga bebas melepaskan kaidah‑kaidah disiplin tari balet, apabila memang bentuk tersebut mempunyai arti baginya. Artinya dalam masalah bentuk, seni kontemporer ataupun tari kontemporer sangat kaya akan pilihan, dan ia tidak terikat akan satu bentuk pijakan, maupun patron‑patron yang baku. Malah sebuah tari kontemporer cenderung melahirkan bentuk lintas budaya atau intercultural (Yuda, 2001:14)

Di samping itu, tari atau seni kontemporer selatu bersifat aktual. Artinya persoalan atau gagasan yang dituangkan dalam tari kontemporer selalu baru atau kekinian, baik cerita, bentuk maupun pola garap dari sebuah koreografi. Tari kontemporer di samping aktual juga bersifat kontekstual. Persoalan yang selalu diusung oleh koreografer pada dasarnya bersifat humanitis atau selalu berkisar tentang kehidupan kekinian. Hal‑hal yang disorot terdorong oleh persoalan kemanusiaan. Seorang koreografer yang berhasil adalah seorang yang dapat mengikuti zamannya, dan arif dengan persoalan atau fenomena‑fenomena yang terjadi di sekitarnya.

Sering koreografer kontemporer berbicara masalah sosial, politik maupun budaya ataupun nilai‑nilai yang telah mengalami degradasi dalam kehidupan masyarakat. Seorang koreografer kontemporer di samping kreator ia sebaiknya juga seorang kritikus terhadap persoalan nilai‑nilai yang berkembang di sekitarnya.

Tari kontemporer bukanlah sebuah karya tari yang bersifat wester­nisasi, dalam artian harus berorientasi dalam bentuknya (form) ke dunia barat. Tari kontemporer tidak perlu berorientasi ke dunia barat, karena kebanyakan di dunia timur telah tersedia berbagai bentuk vocabulary yang dapat menjadi sumber garapan. Tari kontemporer bukan tari modern yang berarti barat, tetapi modern dalam artian pola garap, bentuk dan cerita yang dapat diambd dari tempat mana saja, termasuk daerah asal koreografer itu sendiri, maupun secara bentuk dia berangkat dari etnik dia, namun ceritanya bisa saja dalam bentuk universal. (Andra,199425)

Tari kontemporer, adalah suatu ideologi inovasi yang dapat menyuara­kan pembebasan individual dalam berkreativitas. la tidak dapat lagi dikung­kung oleh segala patron tradisi, maupun patron‑patron westernisasi, akan tetapi ia terlahir dari suatu perenungan yang aktual sesuai kondisi yang melingkupinya. Berbicara masalah kontemporer kita tidak lagi berbicara masalah geografi, maupun etnik, kita tidak bagi berbicara masalah kultur tertentu atau negara, yang ada adalah karya seorang individu yang aktual, konseptual sesuai dengan zamannya dan berbicara masalah lingkungan sekitarnya, yang sifatnya juga sesaat, terus bergulir lagi dalam bentuk inovasi lagi (Yuda, 2001: 23).

III. Spirit Tradisi dalam Tari Kontemporer

Perubahan yang terjadi dalam dunia tari seiring dengan pergolakan dunia yang mengglobal. Pergolakan dunia yang global, membuat segala informasi dan aktivitas kehidupan menjadi seirama diberbagai belahan dunia. Dengan begitu dunia taripun terseret ke dalam koridor globalisasi yang merupakan sebuah ideologi penyeragaman sosial dan politik yang berimbas juga pada berbagai segmen budaya.

Pergolakan budaya dewasa ini begitu mengalir ke berbagai sektor kehidupan, seperti bahasa, ekonomi, teknologi, gaya hidup dan kesenian yang bergejolak begitu deras. Tari tidak lagi sebatas bergoyang atau berjoget, tidak lagi sebatas menyuguhkan teknik gerak yang artistik dan dinamik, tari tidak lagi sebagai hobi atau hanya berfungsi sebagai upacara tradisi dalam suatu masyarakat tertentu, namun tari telah merasuk ke dalam sistem kehidupan manusia yang kompleks.

Pada era kehidupan yang kompleks sekarang, tari sudah berada pada level tertentu dalam ruang lingkup sosial budaya. Pada ruang politik tari sudah berperan dalam performing arts. Sebagai performing arts, tari dapat saja memobilisasi masa dalam bentuk konteks apapun Tari pada level ini, berusaha menjangkau segment intelektual manusia dalam bentuk pemaparan kritik terhadap persoalan sosial, yang terjadi disekitar kehidupan dunia tari tersebut.

Secara bentuk, tari dewasa ini cenderung ingin kembali pada penjelajahan nilai‑nilai tradisi lama. Kembali ketradisi lama bukan dalam artian kembali kebelekang pada persolan tradisi yang sangat berorientasi pada pola garap seadanya. Tetapi kecenderungan tersebut terletak pada pemanfaatan idiom tradisi untuk digarap dengan pola garap yang baru. Pola garap yang baru tersebut dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademis, dapat memberikan kebebasan bagi mahasiswa maupun seniman akademik untuk merefleksikan berbagai gagasannya, baik dalam bentuk isi maupun ornamen yang terdapat dalam karya tari kontemporer mereka.

Nuansa tradisi sering muncul dalam karya tari kontemporer yang diciptakan oleh mahasiswa dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademik, akan tetapi secara nilai atau esensi dari karya tersebut tidak lagi membicarakan masalah sosial dalam kehidupan tradisi dari suatu masyarakat tertentu. Malah terkadang inti persoalan atau cerita dari tari tersebut sama sekali tidak menyinggung konteks tradisi, yang ada hanya dorongan untuk pemanfaatan vocabulary tradisi sebagai sumber garapan. Hal inilah yang semakin memperkaya nilai artistik dunia tari kontemporer Indonesia masa kini, yang diproduksi berdasarkan eksplorasi dunia akademis melalui evoiusi dan inovasi dalam pembelajaran koreografi tari.

Akan tetapi lebih unik dan menarik dari pergolakan tari kontemporer tersebut dilakukan oleh para pakar di dunia barat. Dewasa ini tokoh dan seniman tari di dunia barat semakin menjelajahi nuansa ketimuran. Terjadi apa yang disebut siklus, yakni kembali ke bawah, artinya kembali ke tradisi, yang seiring disebut post modernisme.

Dalam bentuk tampilan seni tari kontemporer yang menggejala di Indonesia selalu saja spirit atau roh tradisi ini muncul. Hal tersebut dinakhodai oleh Sardono W. Kusumo dan Bagong Kusudiarjo serta Gusmiati Suid hingga generasi muda sekarang ini. Dari berbagai event festival dan pagelaran, roh dan nuansa tradisi selalu muncul dalam berbagai bentuk tampilan baru.

Seiring kalangan seniman tari lupa bahwa seni tari kontemporer bukanlah seni adopsi dari bentuk tari modem yang ada di dunia barat. Yang ada adalah pola garap yang baru tentang khasanah tari tradisi yang lebih bebas menjelajah dan berimprovisasi serta berkolaborasi dengan berbagai segmen.

Modern bukanlah bertumpu dengan menyalin bentuk budaya barat, tetapi berpikir secara intelektualitas tentang pembaharuan pada budaya sendiri. Tari kontemporer di Indonesia sangat kaya dengan corak dan warna. Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke memiliki sumber garapan untuk bejuta‑juta karya tari kontemporer pada masa kini dan masa datang.

Tari kontemporer membebaskan koreografernya dari tempat berpijak, sejauh ia memiliki wacana atau wawasan vocabulary tentang bentuk tersebut. Malah sebuah karya tari kontemporer yang saya saksikan dalam gelanggang tari Sumatera 2003 di Padang terasa lucu dan hambar, yang ditampilkan oleh seorang koreografer muda dari Bandung. la mencoba menjelajahi nuansa barat dengan konteks cerita Sangkuriang, padahal kekuatan teknik yang ia miliki sama sekali tidak menguasai teknik tari barat tersebut. Akhirnya tariannya terasa agak lucu, karena teknik dan rasa (ekspresi gerak) tidak bisa dia adopsi sedemikian rupa seperti orang barat menari. Padahal ia akan lebih berhasil seandainya ia memperbaharui tradisinya sebagai spirit yang ia kembangkan dengan ornamen baru. Di sini yang saya katakan sejauh koreografer menguasai bentuk dan nuansa ekspresi gerak, dari mana dia berangkat mesti sesuai selera dan keinginannya serta relevan dengan konsep garapannya.

Lebih menarik adalah karya tari Gorga koreografer Iskandar dari Medan dan Alfiandri serta Hasminda Fitri, yang keseluruhannya membawa spirit tradisi, baik dalam bentuk maupun isi. Spirit tradisi bukan berarti memindahkan bentuk asli ke dalam teks tari atau tampilan karya tari, akan tetapi masalah tradisi tersebut menjadi acuan yang akan diolah atau digarap dalam karya tari kontemporer selanjutnya. Persoalan tradisi tersebut dijadikan bahan eksplorasi dan eksploitasi dalam karya kontemporer. Pada gilirannya seni tradisi tersebut menjadi baru dalam koridor kontemporer, yang lebih bersifat individual. Artinya bersandar pada komunitas untuk melahirkan gagasan pribadi yang akan dikembalikan ke komunitasnya.

Banyak koreografer kontemporer di dunia barat yang memiliki spirit tradisi, sebut saja Isadora Duncan, Martha Graham, Fina Baus dan Eliza Monte. Koreografer kondang ini menjelajahi fenomena tradisi sebagai roh karya tari kontemporer. Apalagi di Indonesia banyak sekali kita jumpai koreografer senior yang mengambil spirit tradisi. Malah trend spirit tradisi menjadi milik dunia tari kontemporer Indonesia masa kini.

Dunia kontemporer dewasa ini menjadi kajian daiam ideologi berbagai cabang seni seperti halnya seni tari, dimana pengetahuan koreografi sangat merespon konsep‑konsep kontemporer dalam pola garap maupun teknik gerak. Aktifitas ini menjadi trend bagi dosen‑dosen tari (pengajar) pada perguruan tinggi seni di Indonesia dan di berbagai belahan dunia.

Dunia akademik seni pada masa kini merupakan pelopor dalam berbagai inovasi konsep tari kontemporer. Realita ini disebabkan karena dunia akademik memiliki laboratorium dan studio yang refresentatif untuk melakukan berbagai eksplorasi dan eksperimen, yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa melalui berbagai penelitian dan pengkajian secara ilmiah, dalam ruang dan waktu yang berkesinambungan dan konsisten. Sehingga perguruan tinggi seni merupakan suatu barometer dan peletak pondasi bagi tumbuh dan berkembengnya tari kontemporer masa kini di Indonesia.

IV. Penutup

Tari Kontemporer bukanlah tari yang bersifat komunal, akan tetapi tari yang bersifat individual. Tari yang bersifat kontemporer membebaskan koreografer untuk berkreafivitas menjelajahi ruang dan waktu, yang tidak terikat dengan suatu bentuk tertentu yang telah baku. Tari kontemporer adatari sebuah karya tari kontekstual dan juga aktual dan bersifat temporer untuk berganti lagi dengan bentuk yang lebih baru lagi.

Tari kontemporer bukanlah harus tunduk dan berbentuk budaya barat, tapi ia bebas sesuai kemampuan wacana dan wawasan koreografer. Ia dapat saja bersumber pada satu atau lebih tradisi yang ada kemudian berakulturasi. Sebuah tari kontemporer yang baik alangkah baiknya bersumber kepada kemampuan koreografer menangkap gejolak dan budaya lingkungan yang lebih diakrabinya.

Trend tari kontemporer Indonesia dewasa ini adalah mengangkat spirit tradisi. Banyak koreografer senior dan generasi muda Indonesia dalam berbagai festival dan pergelaran bertumpu dari tradisi. Sumber‑sumber garapan tradisi tidak akan habis‑habisnya untuk berjuta‑juta karya tari untuk kini dan akan datang.

Ada sebagian koreografer menganggap bahwa tari kontemporer adalah milik dunia barat, jadi setiap bentuk tarian tersebut harus ada gerak tari barat di dalamnya. Ini adalah pemikiran yang keliru terhadap tari kontemporer. Tari kontemporer tidak terikat dengan bentuk dasar tari barat, kalaupun ia ada dalam sebuah karya tari itupun sah‑sah saja. Namun bukan harus seperti pemikiran tersebut di atas.

Tari kontemporer lebih dsebabkan oleh inovasi yang dilahirkan oleh koreografer dari dirinya sendiri, sesuai pengalaman batin yang diajarinya. Tari kontemporer memiliki warna gaya serta teknik tersendiri menurut individu-individu koreografernya.. Dalam tari kontemporer, kita berbicara masalah kepribadian koreografernya, baik tentang ilmu pengetahuan, intelektualitas, estetis dan etis serta logisnya.

Dewasa ini perkembangan dunia tari kontemporer bukan saja mengisi ruang‑ruang festival pada level tertentu saja, namun dunia tari kontemporer secara pedahan sudah mulai digandrungi pada kalangan generasi muda. Sebab itu tari kontemporer tidak lagi milik komunitas tertentu saja, seperti hainya seniman. Pada berbagai gedung pertunjukan di Indonesia seperti Gedung Kesenian Jakarta, Taman Budaya Yogyakarta, STSI Surakarta, Taman Budaya Padang dan Art Centre Denpasar, namun tari kontemporer sudah menjadi komoditi pada. kalangan masyarakat menengah ke atas.

Tari kontemporer selalu saja membawa perubahan dan fenomena baru dalam setiap kemunculannya di atas panggung. Dia selalu tampil dalam bentuk kemasan dan garapan baru, apalagi tari kontemporer dengan namanya kontemporer yang selalu berubah dalam berbagai segi pada setiap konser yang digelar oleh senimannya. Tari kontemporer merupakan media ekspresi bagi seniman untuk menjembatani masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan birokrat dan komunitas lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Andra, Joni. 1994. Tari Kontemporer dan Tradisi Minangkabau. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta

Eru, P. Wismayanti. 1992. Golek Menak dan Transformasi Budaya. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta

Jupianto. 2000. Tari Masa Kini dan Perubahan Sosial. Padang : Taraju.

Wijaya, Putu. 1998. “Fenomena Kontemporer”. Jurnal Seni ISI : Vol IV. ISI Yogyakarta

Yuda, Indra. 2001. Tari dan Permasalahannya Dalam Perubahan Sosia Budaya. Padang : PPS UNP

Read More......