Sabtu, 20 Desember 2008

orientasi spirit tradisi dalamkarya tari kontemporer pada pembelajaran koreografi tari

ORIENTASI SPIRIT TRADISI

DALAM KARYA TARI KONTEMPORER

PADA PEMBELAJARAN KOREOGRAFI TARI


Oleh: Indra Yudha

ABSTRAK

Dewasa ini perkembangan dan pendidikan tari tidak saja sebatas estetika dan artistik, akan tetapi tari telah jauh melangkah seiring dengan terjadinya perubahan sosial budaya dan pertumbuhan ekonomi yang semakin melaju, apalagi perkembangan sains dan teknologi ikut menyeret perubahan dalam ilmu dan pengetahuan tari. Dewasa ini dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademik, pola garapan dalam koreografi tari tidak saja sebatas konvensional yang hanya sekedar penataan gerak demi gerak, tetapi tari juga merupakan media kritik maupun media ekspresif dari senimannya. Tari saat ini bukan saja menjadi milik komunitas tertentu (tradisi) akan tetapi tari merupakan milik individual. Dunia tari yang bersifat individual tersebut dikenal dengan tari kontemporer. Ada kecenderungan di Indonesia dewasa ini, walaupun tari tersebut berbentuk pola garap kontemporer, akan tetapi dia tidak terlepas dah idiom atau spirit tradisi yang dimiliki oleh koreografi. Fenomena ini menjadi trend baru dalam pengetahuan dan pembelajaran koreografi, dalam konteks karya tari kontemporer Indonesia, yang dikembangkan oleh akademisi seni.

Kata Kunci : Tari Kontemporer, Spirit Tradisi dan Pola Garap.

I. Pendahuluan

Perkembangan pengetahuan dan pembelajaran koreografi pada pendidikan seni, maupun oleh seniman pelaku dewasa ini, seringkali membuat orang jadi tercengang‑cengang, takjub, bahkan ada yang tak mampu lagi menangkap spiritnya. Perubahan demi perubahan akan nampak jelas kalau menyimak pada lima puluh tahun yang lalu, seratus tahun yang lalu atau masa yang lebih lama lagi. Kelangsungan sebuah kesenian berjalan seperti mengiring jenasah seorang raja, semuanya tunduk dan kenikmatan pun dijaga (Juprianto, 2000:20).

Pada waktu yang lampau, bukan berarti kebudayaan itu tidak berkembang, hanya saja perubahannya tidak begitu terasa mengejutkan. ­Gejolak perasaan (batin) dan tingkah laku manusia terkungkung (imanensi) oleh berbagai sistem dalam kehidupan yang merupakan benteng untuk mempertahankan keselarasan dan keseimbangan kosmos. Dalam kehidupan yang dikembangkan bukan bentuk ujud laku (kegiatan) atau bentuk fisik, tetapi eksistensinya yang selalu dimantapkan. Hakikat perubahan adalah evolusi dan bukan revolusi. Hal ini yang terjadi dewasa ini pada pengetahuan koreografi yang dilakukan dalam dunia pendidikan tari.

Akan tetapi pada kenyataannya, kesenian tidak pernah berhenti atau mandhek, tetapi selalu tunduk pada suatu gerakan (perubahan); yang lama akan hilang atau berubah untuk diganti dengan yang baru. Setiap perubahan kebudayaan (kesenian) memiliki hidup dan spirit yang memberi arti atau makna kepada manusia, dengan menempatkan kedudukannya dalam kosmos dan dengan menegaskan fungsinya dalam hubungannya dengan hidup itu sendiri. Adanya berbagai gejolak perubahan yang terjadi itu kesenianpun nampak pertumbuhan yang begitu pesat dalam budaya temporer (Eru,1992,73).

Perubahan dalam dunia pendidikan seni, seperti halnya seni tari adalah wajar. Karena usaha itu merupakan suatu bukti adanya semangat untuk membentuk atau mencipta, dengan mencipta berarti melakukan suatu perubahan,hanya saja dalam berbagai perubahan selalu memunculkan gaya dan warna yang mengiringi perubahan tersebut, hal ini mungkin terlihat pada pola garap, trend, teknik dan gagasan yang menembus batas‑batas geografis dan kultural. Fenomena tersebut terlihat aktual dalam pembelajaran koreografi yang dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi seni dewasa ini.

Kehadiran sebuah perubahan dalam seni tari berarti menunjukan suatu penawaran nilai, baik teknik ataupun nilai estetik. Penawaran nilai itu senantiasa diikuti oleh adanya sebuah kehadiran "ujud bentuk” (form and structure). Bentuk-bentuk yang hadir tidak selamanya sama atau serupa dengan yang lama atau pernah ada, tetapi bisa jadi hadir sangat spektakuler dan bersifat menantang.

Kehadiran bentuk dan nilai yang ditawarkan ilmuwan tari serta seniman pelakunya pada setiap waktu, senantiasa disemangati oleh zamannya. Artinya ide serta gagasan merupakan suatu reaksi terhadap sesuatu yang menyentuh perasaan, dengan segenap sensitifitas (kepekaan) dan kreativitasnya dalam melontarkan tanggapan. Hal ini ditegaskan oleh Lois Elfeldt dalam bukunya : A Primer for Choreographers bahwa kehadiran sebuah karya tari adalah suatu ungkapan, sebuah pernyataan, dan sebagai ekspresi dalam gerak yang memuat komentar-komentar terhadap realitas, dimana image-image gerak yang hadir membuat manusia lebih sensitif terhadap realitas (Andra, 1994:80)

Menyimak hal tersebut ternyata setiap kehadiran tari selalu membawa realitasnya sendiri. Pada setiap zaman, bahwa pada sebuah daerah selalu membentuk realitas sesuai dengan kondisi dan situasi. Misalnya sebuah desa mempunyai perbedaan‑perbedaan realitas yang esensial dengan kota. Sementara kota kecil akan berbeda realitasnya dengan kota besar (metropolitan). Sudah barang tentu pernyataan‑pernyataan kinetik dari seniman yang berada di daerah‑daerah yang satu dengan yang lain akan mempunyai atau membawa perbedaan ungkap, pernyataan atau ekspresi dalam menanggapi realita lingkungannya.

Perbedaan berdasarkan tempat atau ruang itu merupakan ungkapan yang didasarkan atas tanggapan dari kondisi geografis atau dibentuk oleh sifat etnisnya. Di sisi lain perbedaan ungkap yang ditimbulkan atau perbedaan masa atau waktu adalah hasil respon terhadap realitas sosial.

Realitas sosial memiliki berbagai spirit dan nilai‑nilai kultural, yang bagaimanapun perubahan terjadi melingkupi kebudayaan tersebut, namun wawasan kultural dan spirit kultural akan selalu hadir dalam bentuk karya manusia tersebut. Secara faktual, apalagi dewasa ini kesenian yang dilahirkan oleh seniman lulusan akademik berorientasi pada siklus nilai‑nilai tradisi.

Trend spirit tradisi dalam dunia seni temporer dewasa ini menjadi konsep siklus dan orientasi pola garap dalam suatu perubahan budaya. Bagaimanapun seorang seniman tidak bisa begitu saja ditarik dari akar budaya yang melingkupinya, dimana budaya tersebut selama ini telah memberi inspirasi dan kekayaan estetis kepadanya, untuk itu pantas rasanya sebuah seni kontemporer memiliki spirit tradisi dari yang selama ini menaungi kehadiran kreator tersebut.

Fenomena tersebut akhir‑akhir ini yang dikembangkan oleh sebagian pengajar koreografi di perguruan tinggi seni, para pengajar koreografi mencoba kembali merevitalisasi seni tari tradisi sebagai orientasi pola garap dalam penciptaan karya tari kontemporer.

II. Pengertian Seni Kontemporer

Seni kontemporer merupakan sebuah klasifikasi tentang seni yang lebih bersifat pada bentuk, ruang dan waktu serta didorong oleh selera yang sangat individual, baik bagi komunitas penonton maupun seniman kreator sendiri. Seni kontemporer selalu bergerak seirama dengan perkembangan waktu, seni kontemporer juga membebaskan dirinya dari ruang tertentu dan masuk kepada ruang lain yang dianggap relevan oleh pribadi senimannya.

Dalam konsep seni kontemporer, sebuah karya tidak terikat oleh sebuah aturan yang baku dan kaku. Misal saja seorang seniman Batak yang melahirkan sebuah karya tari, tidak harus terpaku dengan aturan‑aturan yang berlaku dalam tarian Batak. Ia bebas mengembara, sesuai bentuk apa yang ingin diminati oleh koreografer tersebut (Wijaya, 1998:25).

Dalam dunia kontemporer juga tidak terikat dengan seniman yang universal, seperti halnya balet, ia juga bebas melepaskan kaidah‑kaidah disiplin tari balet, apabila memang bentuk tersebut mempunyai arti baginya. Artinya dalam masalah bentuk, seni kontemporer ataupun tari kontemporer sangat kaya akan pilihan, dan ia tidak terikat akan satu bentuk pijakan, maupun patron‑patron yang baku. Malah sebuah tari kontemporer cenderung melahirkan bentuk lintas budaya atau intercultural (Yuda, 2001:14)

Di samping itu, tari atau seni kontemporer selatu bersifat aktual. Artinya persoalan atau gagasan yang dituangkan dalam tari kontemporer selalu baru atau kekinian, baik cerita, bentuk maupun pola garap dari sebuah koreografi. Tari kontemporer di samping aktual juga bersifat kontekstual. Persoalan yang selalu diusung oleh koreografer pada dasarnya bersifat humanitis atau selalu berkisar tentang kehidupan kekinian. Hal‑hal yang disorot terdorong oleh persoalan kemanusiaan. Seorang koreografer yang berhasil adalah seorang yang dapat mengikuti zamannya, dan arif dengan persoalan atau fenomena‑fenomena yang terjadi di sekitarnya.

Sering koreografer kontemporer berbicara masalah sosial, politik maupun budaya ataupun nilai‑nilai yang telah mengalami degradasi dalam kehidupan masyarakat. Seorang koreografer kontemporer di samping kreator ia sebaiknya juga seorang kritikus terhadap persoalan nilai‑nilai yang berkembang di sekitarnya.

Tari kontemporer bukanlah sebuah karya tari yang bersifat wester­nisasi, dalam artian harus berorientasi dalam bentuknya (form) ke dunia barat. Tari kontemporer tidak perlu berorientasi ke dunia barat, karena kebanyakan di dunia timur telah tersedia berbagai bentuk vocabulary yang dapat menjadi sumber garapan. Tari kontemporer bukan tari modern yang berarti barat, tetapi modern dalam artian pola garap, bentuk dan cerita yang dapat diambd dari tempat mana saja, termasuk daerah asal koreografer itu sendiri, maupun secara bentuk dia berangkat dari etnik dia, namun ceritanya bisa saja dalam bentuk universal. (Andra,199425)

Tari kontemporer, adalah suatu ideologi inovasi yang dapat menyuara­kan pembebasan individual dalam berkreativitas. la tidak dapat lagi dikung­kung oleh segala patron tradisi, maupun patron‑patron westernisasi, akan tetapi ia terlahir dari suatu perenungan yang aktual sesuai kondisi yang melingkupinya. Berbicara masalah kontemporer kita tidak lagi berbicara masalah geografi, maupun etnik, kita tidak bagi berbicara masalah kultur tertentu atau negara, yang ada adalah karya seorang individu yang aktual, konseptual sesuai dengan zamannya dan berbicara masalah lingkungan sekitarnya, yang sifatnya juga sesaat, terus bergulir lagi dalam bentuk inovasi lagi (Yuda, 2001: 23).

III. Spirit Tradisi dalam Tari Kontemporer

Perubahan yang terjadi dalam dunia tari seiring dengan pergolakan dunia yang mengglobal. Pergolakan dunia yang global, membuat segala informasi dan aktivitas kehidupan menjadi seirama diberbagai belahan dunia. Dengan begitu dunia taripun terseret ke dalam koridor globalisasi yang merupakan sebuah ideologi penyeragaman sosial dan politik yang berimbas juga pada berbagai segmen budaya.

Pergolakan budaya dewasa ini begitu mengalir ke berbagai sektor kehidupan, seperti bahasa, ekonomi, teknologi, gaya hidup dan kesenian yang bergejolak begitu deras. Tari tidak lagi sebatas bergoyang atau berjoget, tidak lagi sebatas menyuguhkan teknik gerak yang artistik dan dinamik, tari tidak lagi sebagai hobi atau hanya berfungsi sebagai upacara tradisi dalam suatu masyarakat tertentu, namun tari telah merasuk ke dalam sistem kehidupan manusia yang kompleks.

Pada era kehidupan yang kompleks sekarang, tari sudah berada pada level tertentu dalam ruang lingkup sosial budaya. Pada ruang politik tari sudah berperan dalam performing arts. Sebagai performing arts, tari dapat saja memobilisasi masa dalam bentuk konteks apapun Tari pada level ini, berusaha menjangkau segment intelektual manusia dalam bentuk pemaparan kritik terhadap persoalan sosial, yang terjadi disekitar kehidupan dunia tari tersebut.

Secara bentuk, tari dewasa ini cenderung ingin kembali pada penjelajahan nilai‑nilai tradisi lama. Kembali ketradisi lama bukan dalam artian kembali kebelekang pada persolan tradisi yang sangat berorientasi pada pola garap seadanya. Tetapi kecenderungan tersebut terletak pada pemanfaatan idiom tradisi untuk digarap dengan pola garap yang baru. Pola garap yang baru tersebut dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademis, dapat memberikan kebebasan bagi mahasiswa maupun seniman akademik untuk merefleksikan berbagai gagasannya, baik dalam bentuk isi maupun ornamen yang terdapat dalam karya tari kontemporer mereka.

Nuansa tradisi sering muncul dalam karya tari kontemporer yang diciptakan oleh mahasiswa dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademik, akan tetapi secara nilai atau esensi dari karya tersebut tidak lagi membicarakan masalah sosial dalam kehidupan tradisi dari suatu masyarakat tertentu. Malah terkadang inti persoalan atau cerita dari tari tersebut sama sekali tidak menyinggung konteks tradisi, yang ada hanya dorongan untuk pemanfaatan vocabulary tradisi sebagai sumber garapan. Hal inilah yang semakin memperkaya nilai artistik dunia tari kontemporer Indonesia masa kini, yang diproduksi berdasarkan eksplorasi dunia akademis melalui evoiusi dan inovasi dalam pembelajaran koreografi tari.

Akan tetapi lebih unik dan menarik dari pergolakan tari kontemporer tersebut dilakukan oleh para pakar di dunia barat. Dewasa ini tokoh dan seniman tari di dunia barat semakin menjelajahi nuansa ketimuran. Terjadi apa yang disebut siklus, yakni kembali ke bawah, artinya kembali ke tradisi, yang seiring disebut post modernisme.

Dalam bentuk tampilan seni tari kontemporer yang menggejala di Indonesia selalu saja spirit atau roh tradisi ini muncul. Hal tersebut dinakhodai oleh Sardono W. Kusumo dan Bagong Kusudiarjo serta Gusmiati Suid hingga generasi muda sekarang ini. Dari berbagai event festival dan pagelaran, roh dan nuansa tradisi selalu muncul dalam berbagai bentuk tampilan baru.

Seiring kalangan seniman tari lupa bahwa seni tari kontemporer bukanlah seni adopsi dari bentuk tari modem yang ada di dunia barat. Yang ada adalah pola garap yang baru tentang khasanah tari tradisi yang lebih bebas menjelajah dan berimprovisasi serta berkolaborasi dengan berbagai segmen.

Modern bukanlah bertumpu dengan menyalin bentuk budaya barat, tetapi berpikir secara intelektualitas tentang pembaharuan pada budaya sendiri. Tari kontemporer di Indonesia sangat kaya dengan corak dan warna. Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke memiliki sumber garapan untuk bejuta‑juta karya tari kontemporer pada masa kini dan masa datang.

Tari kontemporer membebaskan koreografernya dari tempat berpijak, sejauh ia memiliki wacana atau wawasan vocabulary tentang bentuk tersebut. Malah sebuah karya tari kontemporer yang saya saksikan dalam gelanggang tari Sumatera 2003 di Padang terasa lucu dan hambar, yang ditampilkan oleh seorang koreografer muda dari Bandung. la mencoba menjelajahi nuansa barat dengan konteks cerita Sangkuriang, padahal kekuatan teknik yang ia miliki sama sekali tidak menguasai teknik tari barat tersebut. Akhirnya tariannya terasa agak lucu, karena teknik dan rasa (ekspresi gerak) tidak bisa dia adopsi sedemikian rupa seperti orang barat menari. Padahal ia akan lebih berhasil seandainya ia memperbaharui tradisinya sebagai spirit yang ia kembangkan dengan ornamen baru. Di sini yang saya katakan sejauh koreografer menguasai bentuk dan nuansa ekspresi gerak, dari mana dia berangkat mesti sesuai selera dan keinginannya serta relevan dengan konsep garapannya.

Lebih menarik adalah karya tari Gorga koreografer Iskandar dari Medan dan Alfiandri serta Hasminda Fitri, yang keseluruhannya membawa spirit tradisi, baik dalam bentuk maupun isi. Spirit tradisi bukan berarti memindahkan bentuk asli ke dalam teks tari atau tampilan karya tari, akan tetapi masalah tradisi tersebut menjadi acuan yang akan diolah atau digarap dalam karya tari kontemporer selanjutnya. Persoalan tradisi tersebut dijadikan bahan eksplorasi dan eksploitasi dalam karya kontemporer. Pada gilirannya seni tradisi tersebut menjadi baru dalam koridor kontemporer, yang lebih bersifat individual. Artinya bersandar pada komunitas untuk melahirkan gagasan pribadi yang akan dikembalikan ke komunitasnya.

Banyak koreografer kontemporer di dunia barat yang memiliki spirit tradisi, sebut saja Isadora Duncan, Martha Graham, Fina Baus dan Eliza Monte. Koreografer kondang ini menjelajahi fenomena tradisi sebagai roh karya tari kontemporer. Apalagi di Indonesia banyak sekali kita jumpai koreografer senior yang mengambil spirit tradisi. Malah trend spirit tradisi menjadi milik dunia tari kontemporer Indonesia masa kini.

Dunia kontemporer dewasa ini menjadi kajian daiam ideologi berbagai cabang seni seperti halnya seni tari, dimana pengetahuan koreografi sangat merespon konsep‑konsep kontemporer dalam pola garap maupun teknik gerak. Aktifitas ini menjadi trend bagi dosen‑dosen tari (pengajar) pada perguruan tinggi seni di Indonesia dan di berbagai belahan dunia.

Dunia akademik seni pada masa kini merupakan pelopor dalam berbagai inovasi konsep tari kontemporer. Realita ini disebabkan karena dunia akademik memiliki laboratorium dan studio yang refresentatif untuk melakukan berbagai eksplorasi dan eksperimen, yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa melalui berbagai penelitian dan pengkajian secara ilmiah, dalam ruang dan waktu yang berkesinambungan dan konsisten. Sehingga perguruan tinggi seni merupakan suatu barometer dan peletak pondasi bagi tumbuh dan berkembengnya tari kontemporer masa kini di Indonesia.

IV. Penutup

Tari Kontemporer bukanlah tari yang bersifat komunal, akan tetapi tari yang bersifat individual. Tari yang bersifat kontemporer membebaskan koreografer untuk berkreafivitas menjelajahi ruang dan waktu, yang tidak terikat dengan suatu bentuk tertentu yang telah baku. Tari kontemporer adatari sebuah karya tari kontekstual dan juga aktual dan bersifat temporer untuk berganti lagi dengan bentuk yang lebih baru lagi.

Tari kontemporer bukanlah harus tunduk dan berbentuk budaya barat, tapi ia bebas sesuai kemampuan wacana dan wawasan koreografer. Ia dapat saja bersumber pada satu atau lebih tradisi yang ada kemudian berakulturasi. Sebuah tari kontemporer yang baik alangkah baiknya bersumber kepada kemampuan koreografer menangkap gejolak dan budaya lingkungan yang lebih diakrabinya.

Trend tari kontemporer Indonesia dewasa ini adalah mengangkat spirit tradisi. Banyak koreografer senior dan generasi muda Indonesia dalam berbagai festival dan pergelaran bertumpu dari tradisi. Sumber‑sumber garapan tradisi tidak akan habis‑habisnya untuk berjuta‑juta karya tari untuk kini dan akan datang.

Ada sebagian koreografer menganggap bahwa tari kontemporer adalah milik dunia barat, jadi setiap bentuk tarian tersebut harus ada gerak tari barat di dalamnya. Ini adalah pemikiran yang keliru terhadap tari kontemporer. Tari kontemporer tidak terikat dengan bentuk dasar tari barat, kalaupun ia ada dalam sebuah karya tari itupun sah‑sah saja. Namun bukan harus seperti pemikiran tersebut di atas.

Tari kontemporer lebih dsebabkan oleh inovasi yang dilahirkan oleh koreografer dari dirinya sendiri, sesuai pengalaman batin yang diajarinya. Tari kontemporer memiliki warna gaya serta teknik tersendiri menurut individu-individu koreografernya.. Dalam tari kontemporer, kita berbicara masalah kepribadian koreografernya, baik tentang ilmu pengetahuan, intelektualitas, estetis dan etis serta logisnya.

Dewasa ini perkembangan dunia tari kontemporer bukan saja mengisi ruang‑ruang festival pada level tertentu saja, namun dunia tari kontemporer secara pedahan sudah mulai digandrungi pada kalangan generasi muda. Sebab itu tari kontemporer tidak lagi milik komunitas tertentu saja, seperti hainya seniman. Pada berbagai gedung pertunjukan di Indonesia seperti Gedung Kesenian Jakarta, Taman Budaya Yogyakarta, STSI Surakarta, Taman Budaya Padang dan Art Centre Denpasar, namun tari kontemporer sudah menjadi komoditi pada. kalangan masyarakat menengah ke atas.

Tari kontemporer selalu saja membawa perubahan dan fenomena baru dalam setiap kemunculannya di atas panggung. Dia selalu tampil dalam bentuk kemasan dan garapan baru, apalagi tari kontemporer dengan namanya kontemporer yang selalu berubah dalam berbagai segi pada setiap konser yang digelar oleh senimannya. Tari kontemporer merupakan media ekspresi bagi seniman untuk menjembatani masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan birokrat dan komunitas lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Andra, Joni. 1994. Tari Kontemporer dan Tradisi Minangkabau. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta

Eru, P. Wismayanti. 1992. Golek Menak dan Transformasi Budaya. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta

Jupianto. 2000. Tari Masa Kini dan Perubahan Sosial. Padang : Taraju.

Wijaya, Putu. 1998. “Fenomena Kontemporer”. Jurnal Seni ISI : Vol IV. ISI Yogyakarta

Yuda, Indra. 2001. Tari dan Permasalahannya Dalam Perubahan Sosia Budaya. Padang : PPS UNP

Read More......

Kamis, 17 April 2008

JENIS KRITIK SENI

JENIS KRITIK SENI


Berdasarkan jenisnya kritik seni dapat dijabarkan dalam 3 jenis, dimana penggunaan ke tiga jenis tersebut tidak sama porsinya dalam realitas para pengkritik menggunakannya. Seorang kritikus, mungkin lebih banyak menggunakan dua jenis saja, begitu juga kalangan masyarakat pencinta seni atau para pengamat seni, walaupun dalam taraf pemula.Karena ke tiga jenis kritik seni tersebut ada diantaranya yang kurang bisa dipetik makna yang lebih luas namun dia tetap saja merupakan jenis dari kritik.

Adapun ke tiga jenis kritik seni tersebut adalah : 1} Kritik bahasa sikap, 2} Kritik bahasa lisan dan 3} kritik bahasa tulisan. ketiga jenis ini dalam setiap event pergelaran seni atau pameran seni , artinya baik pada bentuk seni pertunjukan maupun pada seni rupa dan seni sastra, seperti sastra lisan, ketiga jenis kritik seni ini bisa muncul secara bersamaan.

Menarik dalam hal ini, seperti dalam seni pertunjukan, dimana ada saja penonton yang kurang berkenan dengan pertunjukan yang sedang disaksikannya, efek dari rasa ketidak senangan itu terkadang dilakukan dengan sikap , seperti berteriak, tepuk tangan, mondar mandir, dan bersiul atau melakukan kegiatan yang bikin heboh atau berisik, denagn tujuan seperti protes atas ketidak sukaan dia dengan pertunjukan tersebut. Kegiatan seperti tersebut dinamakan dengan kritik bahasa sikap.

Sementara kritik seni dalam bahasa lisan sudah barang tentu disampaikan dengan menggunakan retorika, walaupun nantinya penyampaiannya terstruktur atau tidak. Bahkan apakah mendalam atau dangkal, itu semua tergantung kepada kemampuan dia mengkritik. Namun tidak semua pengkritik disebut oleh masyarakat seni sebagai kritikus seni. Biasanya kritik bahasa lisan susah untuk direview atau diulang mengulasnya, namun dia bisa diulang mengulasnya apabila pihak penyelenggara sebuah kegiatan pementasan yang menghadirkan kritikus harus merekam setiap pembicaraan dengan audio atau audio visual, sebagai dokumentasi. Dengan tujuan agar dapat dipertanggung jawabkan, sehingga diskusi atau penyampaian kritik tersebut dapat diulang untuk pedoman bagi orang atau seniman yang dikritik.

Pada sisi lain, kritik tulisan adalah jenis kritik seni yang paling dapt dipertanggung jawabkan, karena dia terdokumentasi dengan jelas, bisa dibasa dan dikupas berulang-ulang. Sehingga kritik tulisan bisa menjadi teori atau pedoman bagi seorang kreator seni yang dikritik untuk membenahi diri dan karyanya pada masa selanjutnya. Ada kalanya seorang kritikus seni hanya bisa berretorika, namun tidak bisa menulis, sebaliknya begitu ada yang mampu menulis namun kurang mampu untuk berbicara.

Struktur Kritik seni jenis tulisan sangat menentukan kualitas karya kritiknya. adapun struktur yang ideal adalah: 1} introduksi, 2} deskripsi, 3} analisis, 4} interpretasi, 5} solusi dan 6} penutup atau simpulan.Struktur tersebut adalah struktur ideal dari tulisan seorang kritikus seni. Tulisan jangan menganalisa bagian - bagian yang lemah saja tapi analisalah secara objektif dan komprehensif { menyeluruh}, artinya sisi positif dan membangun perlu diungkap sebagai motifasi orang yang berada dalam posisi dikritik, inilah karya kritik seni yang objektif.

Read More......

Jumat, 18 Januari 2008

SEJARAH TARI BALANSE MADAM (BALANSE MADAM DANCE OF HISTORY)

SEJARAH TARI BALANSE MADAM (BALANSE MADAM DANCE OF HISTORY)
OLEH : INDRA YUDA



Asal-Usul Tari Balanse Madam
Tari Balanse Madam sebuah tari tradisional yang terdapat di Seberang Palinggam Kota Padang, yang menjadi milik dan warisan budaya masyarakat Suku Nias Kota Padang. Tari Balanse Madam merupakan sebuah kesenian tari yang berupa peninggalan budaya lama yang telah ditransmisikan secara turun temurun dalam masyarakat suku Nias di Seberang Palinggam.
Sejarah keberadaan Tari Balanse Madam tidak terlepas dari kehadiran bangsa Portugis di pantai barat pulau Sumatera pada abad ke enam belas.
Kedatangan bangsa Portugis ke Kota Padang telah membawa dampak terhadap tumbuhnya kesenian di Padang waktu itu, diantaranya tari Balanse Madam dan Musik Gamad. Nosafirman (1998: 2) menjelaskan seabad sebelum tanggal 7 Agustus tahun 1669, Padang hanya berupa perkampungan tradisional yang terletak di pinggiran pantai Sumatera bagian barat, yang kalah ramai dibanding Tiku dan Pariaman. Namun kampung ini mulai ramai sejak orang-orang Portugis dan Aceh berdatangan untuk berdagang ke Kota Padang pada masa itu.
Menilik kehadiran bangsa Portugis ke Padang sebagai pedagang, maka bersamaan itu pula berdatangan penduduk imigran dari pulau Nias untuk bekerja sebagai buruh atau pembantu di pelabuhan bagi bangsa Portugis. Kedatangan orang Nias dibawa oleh para pedagang China yang datang ke Sumatera Barat dari pulau Nias pada awal abad ke-16. Mereka ditempatkan di berbagai daerah antara lain di Padang (terutama di daerah Muara), di daerah Pariaman dan Pasar Usang dan sebagian lain di daerah Muara Sakai Pesisir Selatan. Akan tetapi dari jumlah keseluruhan orang Nias tersebut lebih banyak ditempatkan di Padang. (Nosafirman, 1998: 22)
Dengan dipekerjakannya orang-orang Nias yang berada di Padang oleh Portugis, maka terjadilah relasi sosial budaya antara kedua suku bangsa tersebut, sehingga menularkan suatu bentuk kesenian yakni tari Balanse Madam. Awal lahirnya Tari Balanse Madam adalah akibat seringnya terjadi kontak (hubungan) sosial antara bangsa Portugis sebagai majikan dengan orang Nias sebagai bawahan atau pekerja.
Setiap pesta yang dilakukan oleh bangsa Portugis baik di kapal ataupun di daratan selalu diperkenalkan tarian yang berbentuk tari pergaulan seperti dansa kepada orang-orang Nias. Bangsa Portugis bukan saja menyebarkan pengaruhnya sebagai pedagang tetapi juga dalam hal kesenian. Baik tari ataupun musik selalu mereka sebarkan atau tularkan pengaruhnya di Kota Padang. Yang terdekat pada waktu itu dengan komunitas Portugis adalah orang-orang Nias yang bekerja sebagai pembantu, baik pada keluarga Portugis maupun dalam kelancaran usaha perdagangannya dan sebagai buruh.
Fenomena yang terjadi pada waktu itu adalah seringnya orang Nias menyaksikan pertunjukan kesenian baik tari maupun musik yang disajikan oleh bangsa Portugis, maka lama kelamaan orang Nias mulai mempelajari dan mengembangkannya melalui suatu proses adaptasi dan adopsi dengan proses transformasi imajiner.
Melalui transformasi imajiner, para seniman atau masyarakat Nias yang memiliki kemampuan rasa estetis dan jiwa seni, mulai mengembangkan pola-pola gerak tari pergaulan yang dilakukan oleh bangsa Portugis tersebut. Pola-pola gerak tersebut, seperti pola gerak tari Dansa. Kemampuan mentransformasi dan mengadaptasi dari pola-pola Dansa ke dalam bentuk tari baru tidaklah begitu sulit bagi masyarakat Nias, hal ini disebabkan tarian yang bersifat sosial dan dalam disain yang seperti berpasang-pasangan dalam disain lantai yang melingkar.
Proses adaptasi dan transformasi imajiner ini disebabkan adanya rangsangan kinetetis, yang dirasakan oleh masyarakat Nias. Secara realitas bangsa Portugis tidak mengajarkan tarian dansa kepada masyarakat Nias, atau orang Nias secara individu, akan tetapi mereka hanya memberikan suatu pembelajaran dengan jalan memberikan suatu kesempatan kepada masyarakat Nias untuk dapat menyaksikan peristiwa pesta Dansa dalam ruang lingkup komunitas bangsa Portugis tersebut.
Fenomena inilah yang berkembang diantara kedua suku bangsa tersebut. Relasi-relasi sosial seperti ini, lama kelamaan menjadi suatu peniruan oleh masyarakat Nias. Pola-pola sosial atau pergaulan bangsa Portugis yang sering menggelar pesta Dansa, secara budaya tidak bersebarangan dengan kepercayaan dan budaya masyarakat Nias pada masa itu.
Kebiasaan-kebiasan bangsa Portugis tersebut menjadi obsesi pula bagi masyarakat Nias yang bermimigrasi ke Kota Padang. Bagaimanapun mereka perlu suatu ajang untuk menjalin relasi antar mereka agar silaturahmi diantara mereka sebagai pendatang (perantau) di Kota Padang, dapat terjalin dalam ikatan yang kuat, agar rasa senasib sepenanggungan sebagai orang perantauan dapat dirasakan secara bersama-sama.
Atas dasar kreativitas, lahirlah tari Balanse Madam yang merupakan adaptasi dari tarian Dansa bangsa Portugis. Pola-pola gerak yang dikreasikan tidak sama sekali berakar pada gerak Dansa, akan tetapi yang disadur adalah pola-pola gerak tari dan disain lantai serta suasana dan fungsi dari tarian dansa tersebut.
Konsep gerak berakar sepenuhnya pada dasar gerak tari tradisi yang dibawa dari kampung halaman orang Nias, seperti Maena dan Hiwo. Kemudian dikombinasikan dengan gerakan tarian Melayu. Karena pada masa itu tarian Melayu juga sedang berkembang di tengah bangsawan perkotaan atau Bandar di pulau Sumatera.
Semenjak itu, mulailah tari Balanse Madam diperkenalkan dari satu komunitas suku ke suku yang lain. Atau dari Marga yang satu ke Marga yang lain dalam setiap peristiwa adat dan pertemuan antar warga Nias keturunan di Kota Padang. Tarian pertama yang disajikan belum begitu sempurna, karena lebih bersifat spontan. Masalah ini disebabkan karena masing-masing suku atau marga memiliki keinginan dan gaya masing-masing dalam menarikan. Sudah barang tentu antara Marga Gulo dengan Zebua kurang bersesuaian dalam gaya menarikan. Ketidaksamaan dalam gaya menari ini menjadi sorotan dan perbincangan dalam rapat antar Marga dan Suku masyarakat Nias se Kota Padang.
Melalui rapat atau musyawarah antar Marga dalam masyarakat Nias yang ada di Padang pada pertengahan abad ke-16, maka disusun kembali struktur tari Balanse Madam dan segala tata cara menarikannya maupun tentang syarat-syarat yang diperlukan dalam menyajikan tari Balanse Madam. Kesepakatan melahirkan suatu keputusan bahwa tari Balanse Madam diakui sebagai sebuah tari tradisional masyarakat Nias yang telah menetap di Kota Padang, dan kemudian pada gilirannya menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan dan diwariskan turun temurun dalam lingkup masyarakat Nias. Secara tidak langsung juga menjadi fokus budaya bagi masyarakat Nias.
Gambar 1. Daerah Seberang Palinggam
Awal pertumbuhan dan penyebaran tari Balanse Madam bermula di daerah Seberang Palinggam dan Kampung Nias. Berbicara tentang tari Balanse Madam berarti juga berbicara tentang daerah Seberang Palinggam. Daerah Seberang Palinggam merupakan kawasan mayoritas suku Nias di Kota Padang, yang merupakan daerah asal pendaratan masyarakat Nias di Kota Padang dari kepulauan Nias. Hal ini dimungkinkan karena daerah Seberang Palinggam merupakan kawasan yang berada dalam wilayah pinggiran sungai Batang Arau.
Sebagai sebuah tari tradisi, tari Balanse Madam sangat dekat dengan komunitasnya. Kata Balanse yang berarti harmonis dan Madam diambil dari istilah dalam tari Balanse yang berarti nyonya. la merupakan milik dari komunitas suku Nias yang berada di Seberang Palinggam. Tari Balanse Madam adalah salah satu contoh dari manifestasi perilaku masyarakat suku Nias Kota Padang. Kehadiran dan kelangsungan tari Balanse Madam menjadi tanggung jawab masyarakatnya, karena ia merupakan sebuah warisan tradisi yang harus dipelihara.
Selanjutnya Syarif menjelaskan (1990: 8), tari tradisional dapat diartikan sebagai: (1) kesenian yang diselenggarakan demi kelang­sungan sebuah tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat dalam artian adat istiadat, (2) tari tradisional dapat diarahkan sebagai sebuah kesenian yang memiliki norma (etika) dan nilai-nilai yang merefleksikan corak kehidupan masyarakat pendukungnya. Tari tradisional juga selalu terikat akan falsafah maupun norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya, seperti halnya dengan tari Balanse Madam yang merupakan jenis tari tradisional masyarakat suku Nias yang telah lama mendiami Kota Padang tepatnya di daerah Seberang Palinggam.
Sebagai tari tradisi ia akan selalu merujuk pada kehendak dan konvensi-konvensi yang diinginkan oleh masyarakat pendukung dari tari tersebut. Keberadaannya tidak terlepas dari campur tangan berbagai pihak, sehingga ia dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat yang melingkupinya.
Tari tradisional pada umumnya tidak dapat diketahui dengan pasti siapa penciptanya, karena tari tradisionai bukan merupakan hasil cipta dari kreativitas yang lahir oleh seorang individu, akan tetapi ia tercipta secara bersama dengan pemikiran kolektif dari masyarakat pendukung dimana tarian tersebut tumbuh dan berkembang (Kayam, 1981: 60).
Karena tari tradisi merupakan sebuah ungkapan atau ekspresi yang berbentuk kesenian dari masyarakat dalam persembahannya baik lewat gerak, kostum dan musik, selalu menggambarkan ciri khas dari budaya masyarakat yang memiliki keberadaan tari tersebut. Tari tradis baik dari kehendak, pemikiran (ide) maupun rasa (emosi) keseluruhannya bermuara pada perilaku masyarakat pendukungnya.
Soedarsono (1986: 83) menjelaskan tari tradisi adalah merupakan ekspresi jiwa manusia secara komunal yang dituangkan lewat gerak yang ritmis dan indah. Jiwa manusia tersebut terdiri dari aspek kehendak, akal (pikiran) dan emosi atau rasa, bertitik tolak dari ciri tersebut Tari Balanse Madam dikatakan tari tradisi orang Nias di Kota Padang. Tari Balanse Madam memiliki empat dasar gerak yaitu sewai, salam, step (langkah) dan lenggang. Sedangkan kostum yang dipergunakan adalah kostum yang bercorak Melayu, dengan tidak ditentukan jenis warnanya. Musik yang mengiringi tari Balanse Madam adalah jenis musik Mars.
Tari tradisi seperti tari Balanse Madam merupakan bagian dari kehidupan komunitas suku Nias secara kolektif. Karakter dari masyarakat suku Nias dan corak kehidupannya direfleksikan lewat penyajian tari Balanse Madam. Bentuk penyajiannya bersifat simbolis. Geraknya sangat dinamis dengan pola lantai lingkaran sehingga terjadinya komunikasi antar sektor-sektor penari.
Tawanto Karim menjelaskan tari Balanse Madam berbentuk tari pergaulan, dalam artian tarian yang bersifat sosial. Jumlah penarinya delapan orang yang terdiri dari empat orang wanita dan empat orang pria. Posisi penari saling berhadapan antara pasangan yang satu dengan pasangan yang lain, dengan kedudukan (keberadaan) penari pada posisi Utara menghadap Selatan dan posisi Timur menghadap (berhadapan) dengan posisi Barat.
Tari Balanse Madam dalam pertunjukannya sering ditampilkan pada berbagai acara pesta perkawinan, pengangkatan penghulu (tetua adat) dan acara adat lainnya. Musik dari tari Balanse Madam terdiri dari seperangkat perkusi seperti tambur, set drum dan simbal. Musik pengiring lainnya adalah biola, akordion dan alat tiup.
Secara keseluruhan tari Balanse Madam diiringi oleh orkes musik Musik Gamad, karena Musik Gamad merupakan bentuk kesenian musik yang dimiliki oleh masyarakat suku Nias di Seberang Palinggam Kota Padang yang kehadiranya bersamaan dengan munculnya tari Balanse Madam dalam masyarakat Nias.
Tari Balanse Madam ditampilkan dapat dilakukan siang hari maupun malam hari. Hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan kegiatannya. Dalam arti kata tarian ini dapat ditampiikan pada ruangan terbuka ataupun tertutup. Tari Balanse Madam ditarikan oleh orang-orang yang telah berkeluarga. Setiap penari harus jelas apakah ia seorang suami atau isteri. Jadi tarian tradisional Balanse Madam bukanlah tarian yang ditarikan oleh semua orang, ini aturan yang telah ditetapkan dalam rapat antar suku atau Marga pada pertengahan abad ke-16.
Setelah proses penetapan tarian Balanse Madam sebagai tari tradisi masyarakat Nias, yang telah diatur dengan gaya, dan tata cara yang seragam. Sejalan dengan itu pula masyarakat Padang yang bersuku Minangkabau melalui Sutan Padang mengakui keberadaan tarian ini sebagai tarian Padang dari komunitas Suku Nias. Mulailah masyarakat Padang semenjak era tersebut memiliki warisan baru yaitu tari Balanse Madam.
Awal pertumbuhan tari Balanse Madam menurut Tawanti dan Utiah, tidak terjadi konflik yang berarti antara orang Nias dan Minangkabau maupun China dan orang Keling. Karena ke-empat suku inilah pada abad ke -16 yang menjadi penduduk kota Padang. Kenyataan ini disebabkan, karena dari segi struktur gerak, struktur penyajian dan tata cara penyajian maupun kostum dan musik pengiring, sama sekali tidak bertentangan dengan budaya suku-suku lain yang ada di Kota Padang pada masa itu. Memang ada pada awalnya sebelum menari Kepala Suku dan pemusik disuguhi minuman keras yang mengandung alkohol, akan tetapi setelah ditetapkan sebagai tarian adat, minuman keras diganti dengan yang tidak mengandung alkohol.
Pada awal pertumbuhan tari Balanse Madam, masyarakat di luar suku Nias tidak diperkenankan untuk menarikan, hanya baru sebagai menyaksikan saja. Apalagi masa itu kawin campur belum terjadi, atau perkawinan lintas suku belum terjadi di tengah-tengah masyarakat Nias. Kenyataan ini yang menyebabkan belum boleh dipelajari oleh suku lain.
Tari Balanse Madam bukan berasal dari Kepulauan Nias sebagai tanah leluhur, dia disebabkan oleh Diaspora suku Nias. Kalaupun dicari di tanah leluhur, tari Balanse Madam tidak mungkin dapat ditemukan. Tari Balanse Madam hanya dapat ditemukan dalam masyarakat Nias yang bermigrasi ke Kota Padang dari abad ke-16 saja. Masyarakat inilah yang menjadi pemilik sah tari Balanse Madam, dan mewariskannya secara turun temurun hingga sekarang ini abad ke 29 atau era teknologi dan globalisasi.
Kitapun tidak akan menemukan tari Balanse Madam pada orang imigrasi Nias yang bukan keturunan orang orang Nias abad ke-16 dulu. Karena tari Balanse Madam merupakan identitas dan fokus budaya bagi suku Nias keturunan abad ke-16 yang telah diakui sebagai orang Padang, yang telah memiliki tanah pusaka di seputar Gunung Padang atau Bukit Lantiak dan Mata Air.
Semula asal nama Balanse Madam tidak ada yang pasti tahu, namun yang jelas tari Balanse Madam memiliki perintah dalam bergerak dengan sebutan Balanse Madam, sejak itu tarian ini dipanggil oleh masyarakat tari Balanse Madam. Seperti sudah dijelaskan juga sebelumnya arti Balanse “harmonis” dan Madam adalah “nyonya”. Ada juga kalangan masyarakat mengatakan tari Balanse Madam adalah tarian keharmonisan hubungan rumah tangga.
Bagian lain dari masyarakat pada masa lalu menamakan juga tarian Balanse Madam dengan istilah Kodril, Countril atau Quatril. Sebab itu tidak dapat dipastikan sejak kapan dipanggil tarian ini dengan sebutan Balanse Madam.
Disisi lain awal pertumbuhan tari Balanse Madam juga disebabkan adanya rumah-rumah Bola yang didirikan oleh Belanda di daerah Muara Padang. Kehadiran rumah-rumah cukup berarti dalam pemunculan tari Balanse Madam pada awal abad ke-16, sampai pada akhir abad ke-16. walaupun sebenarnya tarian ini pada akhirnya menjadi tarian adat orang-orang Nias Kota Padang.

B. Pertumbuhan Tari Balanse Madam Abad Ke-16
Tari Balanse Madam setelah menjadi kesenian tradisi orang Nias Padang. Maka kemudian diaturlah tari Balanse Madam menurut adat istiadat yang berlaku dalam suku Nias di Padang. Menghindari hal - hal yang tidak diingini karena ada beberapa hal yang tabu bagi orang Nias sendiri maupun bagi tetangga mereka (orang Minang) yang merupakan orang pribumi di Kota Padang, dimana ketabuan tari Balanse Madam disebabkan oleh karena tarian tersebut bercorak pergaulan antara pria dan wanita dalam bentuk berpasang-pasangan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Nias yang mana pada giilrannya tari tersebut disusun sesuai dengan adat istiadat orang Nias Kota Padang, dengan ketentuan sebagai berikut: setiap penari pria dan wanita haruslah yang sudah menikah, tidak ada hubungan keluarga antara penari pria dan wanita, setiap gerakan persentuhan tangan tidak diizinkan dan harus dilapisi dengan secarik saputangan, sebelum penampilannya, penari pria dan wanita harus minta izin kepada suami atau isteri maupun kepada pemimpin adat. Sehingga saat ini, tarian yang bersifat tradisi ini masih dipertahankan.
Tarian Balanse Madam terdiri dari berbagai bentuk gerak perpaduan antara gerak Melayu dan Minang serta gerak tari tradisional dari pulau Nias seperti tari Maena, Hiwo dan Molaya yang dibawa oleh orang Nias hijrah ke Kota Padang. Sedangkan dalam struktur penyajiannya tari Balanse Madam diawali dengan empat orang penari laki-laki yang kemudian melakukan gerak pencak, setelah gerak pencak dilakukan kemudian mereka bergerak menjemput penari wanita. Setelah penari pria dan wanita berada di panggung (arena) yang sebelumnya telah melalui proses perizinan dari tetua adat, selanjutnya komander memerintahkan tarian segera dimulai, dan pemusikpun bersiap sedia untuk mengiringi tarian. Komander juga bertindak sebagai pengendali tarian hingga menentukan kapan tarian harus diselesaikan.
Dalam sajiannya tari ini ditarikan oleh delapan orang penari, yang terdiri dari empat orang penari pria dan wanita (yang diajak oleh penari pria). Tarian berlangsung dengan arahan komander di luar arena yang menempati posisi dekat anggota pemusik. Setiap gerakan atau ragam gerakan penari selalu harus mengikuti komando (arahan) dari seorang komander, tugas penari hanya menjalankan tugas atas instruksi Komander.
Pola gerak yang dilakukan adalah berbentuk pola pergaulan, dimana terdapatnya suatu komunikasi gerak yang responsif dengan dukungan ekspresi di antara masing-masing pasangan penari. Dalam bentuk disain lantai yang melingkar dan empat persegi. Geraknya selalu mengandung nuansa keakraban dan pergaulan. Masing-masing pasangan menari dengan pasangannya, kemudian sesuai komando dari komander mereka dapat bertukar pasangan baik ke depan maupun ke samping. Pada dasarnya tari Balanse Madam berfungsi sebagai tontonan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Dalam konteks waktu dan event, tarian ini dapat disajikan dalam upacara adat, pesta perkawinan, dan berbagai pesta adat.
Kehadiran tari Balanse Madam pada masa lalu (abad ke-16) merupakan hal yang sangat signifikan bagi kalangan suku Nias di Seberang Palinggam. Berbagai pesta yang digelar terasa hambar dan kurang semarak tanpa kehadiran dari pertunjukan tari Balanse Madam. Daya tarik tari Balanse Madam sangat berarti bagi masyarakat suku Nias di Kota Padang, terutama untuk mengisi acara hiburan pada pesta perkawinan.
Bagi suku Nias di Kota Padang pada masa lalu, kehadiran Tari Balanse Madam pada setiap pesta perkawinan, dapat memberikan suatu gambaran bahwa yang sedang punya hajat adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam material. Secara tidak langsung biaya yang dikeluarkan untuk pesta lumayan besar.
Bertitik tolak dengan konteks material, Darwis Loyang menjelaskan bahwa dalam setiap pesta perkawinan yang diiaksanakan oleh anggota masyarakat suku Nias di Kota Padang selalu ditampilkan tari Balanse Madam bagi yang mampu dalam melaksanakannya. Hal ini dikarenakan oleh faktor finansial yang besar. Apalagi yang punya hajat harus mendatangkan para tetua adat, kelompok pemusik (orkes Musik Gamad) dengan segala fasilitasnya, belum lagi mengundang banyak kerabat dan warga kampung sekitar.
Tari Balanse Madam merupakan bentuk tarian yang bersifat hiburan dengan memiliki keunikan dalam personaliti, struktur penyajian, etika bergerak (menari) maupun simbol-simbol gerakan yang disajikan. Keunikan dari personaliti adalah seluruh penari baik laki-laki ataupun wanita harus berasal dari orang-orang yang sudah berkeluarga atau yang sedang menjalankan proses kehidupan rumah tangga. Dengan arti kata sedang memiliki status suami atau isteri. Tidak ada status janda atau duda maupun bujang dan gadis sebagai penari Balanse Madam pada masa pertumbuhan tarian ini abad ke-16.
Menilik dari sudut pandang struktur penyajian, tari Balanse Madam dimulai atau diawali oleh penghormatan penari laki-laki dengan gerak pencak kepada tetua adat, yang sebelumnya penari tersebut sudah minta izin kepada isteri masing-masing untuk menari. Kemudian tarian baru dapat dimulai apabila penari laki-laki meminta izin kepada tetua adat untuk mengajak penari wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain. Seterusnya, tetua adat memerintahkan pada suami penari wanita tersebut, mengizinkan isterinya untuk menari, barulah dikatakan tari dapat dimulai. Selanjutnya penyajian tari diserahkan oleh tetua adat kepada seorang Komander (pemimpin atau penuntun tarian).
Dari sudut pandang etika menari (bergerak) tidak dibenarkan penari pria menyentuh tangan (telapak tangan) penari wanita secara langsung. Akan tetapi sebagai gantinya, untuk menghindari kontak langsung maka penari wanita melapisi telapak tangannya dengan secarik sapu tangan.
Sebelum terbentuknya tari Balanse Madam, kesenian masyarakat Nias di Kota Padang adalah unsur kesenian yang mereka bawa merantau ke Kota Padang. Dari tanah leluhurnya seperti Hiwo, Maena dan Molaya, yang tidak semua suku atau Marga yang dapat menarikan atau memainkan.
Kesenian yang dimiliki oleh orang Nias di Padang pada awal abad ke-16, tatkala kedatangan pertamanya, makin lama agak menyusut dari aktivitasnya. Pada pertengahan abad ke-16 terbentuklah kesenian Balanse Madam dan Musik Gamad.
Kesenian yang berasal dari kepualaun Nias terutama yang terkait dengan tari Balanse Madam seperti Hiwo, Molaya, Maena dan Musik Gamad.
1. Kesenian Maena
Kesenian Maena merupakan salah satu kesenian masyarakat Nias di Kota Padang yang berasaI dari Pulau Nias. Kesenian ini merupakan kesenian tari-tarian yang diiringi oleh nyanyian yang dinyanyikan juga oleh penari. Para pemainnya terdiri dari pria dan wanita dengan gerakan yang mencerminkan kegembiraan.
Kesenian ini biasanya dimainkan pada saat pesta-pesta perkawinan. Dalam pesta perkawinan waktu dulu, di waktu mempelai pria datang ke tempat mempelai wanita, maka kesenian ini lebih dulu dimainkan oleh rombongan mempelai pria untuk memuja-muji mempelai wanita dan keluarganya, selanjutnya kesenian ini juga dimainkan oleh rombongan mempelai wanita memuja-muji mempelai pria dan keluarganya. Sedangkan bila dilaksanakan pada upacara pengangkatan penghulu, syairnyapun berisi puji-pujian terhadap penghulu yang diangkat tersebut. Pada waktu dulu kesenian ini biasanya disertai dengan kesenian Folau Hiwo (kesenian hiburan) maupun Mamaheu Noma (kesenian dalam meruntuhkan rumah).
Pada saat sekarang, gerakan Maena ini boleh dikatakan sudah bebas dalam arti para penari boleh menciptakan gerakan tersendiri maupun syair lagunya, dan boleh dilakukan oleh kelompok pria atau wanita saja. Syair yang dinyanyikan juga tergantung pada situasi atau acara yang diikuti. Misalnya pada acara perkawinan syairnya berisi puji-pujian terhadap mempelai atau keluarganya, kalau untuk acara kerohanian maka syairnya juga berisikan tentang kerohanian dan sebagainya. Hingga pada saat ini kesenian Maena ini agak jarang dilakukan.

2. Folau Hiwo (Hiburan)
Kesenian ini merupakan kesenian hiburan dan biasanya dilaksanakan pada acara-acara pernikahan. Kesenian ini dilakukan oleh beberapa orang laki-laki dengan saling berpegangan tangan namun tidak melingkar. Kemudian, gerakan yang dilakukan seperti gerakan ular dan mengelilingi rumah tempat pesta dilaksanakan. Sambil bergerak, mereka juga bernyanyi membawa cerita baik tentang pernikahan maupun pujian terhadap masing­-masing mempelai dengan keluarganya.
Bila gerakan mereka tidak bisa memutari rumah, maka gerakannya cukup di halaman saja. Pada saat ini kegiatan inipun sudah jarang dilaksanakan karena di samping tidak ada yang mengajarkan, juga mereka tidak berkeinginan untuk melaksanakannya.
Kesenian Hiwo merupakan sumber garapan bagi tari Balanse Madam, hal ini terlihat seperti pola lantai lingkaran yang ada pada tari Balanse Madam, gerakan berpegangan tangan dan kedua unsur kesenian ini sama­-sama ditampilkan dalam acara pernikahan (pesta perkawinan).
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian awal bahwa kesenian Balanse Madam ini merupakan kesenian yang dipengaruhi oleh kesenian bangsa Portugis yang pernah datang ke Kota Padang dan dikembangkan oleh masyarakat suku Nias pada pertengahan abad ke-16. Hingga saat ini kesenian Balanse hanya dapat dipertunjukkan oleh masyarakat suku Nias saja dalam konteks tradisi (warisan budaya).
Menurut Bapak Tawanto Lawolo ada beberapa faktor penyebab kesenian ini dapat diterima oleh masyarakat Nias pada waktu itu, antara lain: (1) pada saat itu orang Nias banyak yang menjadi pembantu pribadi orang-orang Portugis tersebut sehingga sering menyaksikan kesenian ini dimainkan, (2) banyak orang Nias yang menganut agama yang dibawa oleh orang Portugis tersebut (yakni agama Kristen) sehingga hubungan keduanya semakin dekat, dan (3) gerakan tari Balanse Madam ini ada kemiripan dengan gerakan kesenian yang ada pada masyarakat Nias itu sendiri yakni kesenian Maena, Hiwo dan Molaya, sehingga lebih mudah dalam mempelajarinya.
Dengan berbagai alasan atau penyebab di atas, akhirnya tarian Balanse Madam dapat diterima oleh orang Nias di Seberang Palinggam. Pada gilirannya tarian ini disuburkan dan ditumbuhkembangkan dalam masyarakat Nias di Seberang Palinggam. Untuk menguatkan keberadaannya maka tarian ini pada pertengahan abad ke-16 dikokohkan sebagai tarian adat (tradisi warisan budaya) orang Nias di Seberang Palinggam.
Tari Balanse Madam berkembang pada pertengahan abad ke-16. hampir seluruh kelompok kesatuan Marga dan suku di berbagai pelosok Kota Padang dapat menarikan tari Balanse Madam. Mulai dari kelompok komunitas di Seberang Palinggam, Komunitas Simpang Enam, Kampung Nias sekarang dan Komunitas Tabing. Menyebarnya tari Balanse Madam ini seiring dengan menyebarnya kedudukan atau tempat tinggal orang-orang Nias yang ada di Padang.
Kehadiran tari Balanse Madam diperlukan ketika pertengahan abad ke-16 tersebut, salah satunya untuk meredam konflik antar suku. Karena konflik antar suku ini pada awalnya sering terjadi dikarenakan egosentris dari masing-masing suku atau Marga. Masing-masing marga atau suku selalu saja memaksakan aturan suku atau marganya yang harus digunakan dalam pergaulan atau kehidupan sosial sehari-hari. Hal hasil sering terjadi konflik antar suku.
Menurut Siciak Gadiang-gadiang, salah satu solusi untuk meredam konflik antar suku adalah tari Balanse Madam, karena tarian inilah yang tidak dimiliki oleh orang Nias di Kepulauan Nias. Sebagai pemersatu diantara mereka dibentuklah unsur budaya baru, yang dapat melunturkan egoisme marga atau suku mereka. Karena Kepulauan Nias terdiri dari dua kawasan besar yaitu Kepulauan Utara dan Selatan. Adat istiadat dan budaya diantara wilayah tersebut juga memiliki perbedaan dan persamaan. Dari sinilah muncul ego-ego tersebut, yang pada gilirannya memunculkan konflik.
Hadirnya tari Balanse Madam yang menjadi ikon atau simbol baru, yang dibuat secara bersama-sama, sudah barang tentu meleburkan adat dan budaya mereka dalam satu ikatan yaitu tari Balanse Madam. Oleh sebab itu pertengahan abad ke-16 tarian ini dengan berbagai rintangan dan persoalan antar suku secara bersama-sama oleh masyarakat Nias digalakkan. Apalagi kehadiran tarian ini sudah mendapat persetujuan oleh Sutan Padang di Alang Laweh sebagai tari tradisi Padang dari kalangan masyarakat suku Nias.
Disisi lain, digalakkannya tari Balanse Madam pertengahan abad ke-16 adalah untuk memunculkan identitas mereka sebagai orang Nias yang telah menjadi masyarakat Padang. Karena ikrar mereka sebagian besar tidak akan kembali lagi ke tanah leluhur. Kelak sebagai pertanda mana orang Nias Padang dan orang Nias yang datang pada masa datang adalah terletak pada adat istiadat dan budayanya, yaitu salah satunya tari Balanse Madam.

C. Masyarakat Pendukung Tari Balanse Madam
Secara tradisi Tari Balanse Madam merupakan warisan budaya orang Nias yang ada di Seberang Palinggam dan Kota Padang umumnya. Oleh karenanya, sudah barang tentu kesenian Balanse tersebut lebih hidup dan memang suatu keharusan untuk hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang. Orang Nias warga Kota Padang tersebut adalah keturunan orang-orang Nias yang merantau dan mendirikan adat istiadat baru pada awal abad ke-16. Mereka adalah orang Nias yang telah diterima menjadi orang Padang, bukan para pendatang saat ini yang ada di Kota Padang. Orang-orang Nias awal abad ke-16 tersebut telah pula diterima secara adat oleh penguasa Kota Padang, yakni Sutan yang ada di Alang Laweh.
Karena orang-orang Nias sudah diakui menjadi warga Kota Padang, secara tidak langsung Tari Balanse Madam menjadi budaya atau kesenian tradisi Kota Padang yang terdapat pada komunitas orang-orang Nias di Seberang Palinggam, hingga komunitas orang-orang Nias di seluruh Kota Padang. Masyarakat kota secara moral turut mendukung terhadap keberlangsungan tari Balanse Madam. Pada kenyataannya hal ini dapat ditemui pada setiap perayaan ulang tahun Kota Padang tepatnya tanggal 7 Agustus setiap tahunnya. Dari partisipasi tentang pengakuan keberadaan tari Balanse Madam di Kota Padang oleh orang Minang yang mayoritas dan beragama Islam, hal ini berarti bahwa kesenian Balanse dapat diterima oleh warga Kota Padang sebagai bahagian dari kehidupan masyarakat kota. Kesenian Balanse telah diakui sebagai kesenian tradisi, yang merupakan warisan budaya, yang harus berkelanjutan secara turun-temurun dalam warga masyarakat pemilik tari Balanse itu sendiri.
Berbicara masalah tari Balanse Madam sebagai tarian adat masyarakat Nias, pada gilirannya seluruh komponen masyarakat Nias keturunan yang telah menjadi orang Padang (penduduk asli Padang semenjak abad ke-16) menjadi masyarakat pemilik budaya tari Balanse Madam. Walaupun masyarakat Nias terdiri dari daerah asal yang berbeda dari Kepulauan Nias, ditunjang oleh Marga yang berbeda-beda pula, sebut saja Zebua, Gulo, Harefa, Dawolo, Lombu, Lawolo, Hura, Daeli, Zalukhu dan Laoli. Akan tetapi mereka telah diikat oleh persatuan budaya baru, yang tak lain kesenian tari Balanse Madam.
Semenjak pengakuan keberadaan mereka menjadi penduduk tetap Kota Padang, pada pertengahan abad ke-16 oleh Sutan Padang dan masyarakat Minangkabau, semenjak itu pula mereka disarankan membentuk identitas atau budaya baru yang dapat disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat tempatan, yakni masyarakat Minangkabau. Peninggalan-peninggalan budaya lama disarankan untuk menyesuaikan. Apalagi konflik antar marga sering terjadi akibat berbenturan masalah budaya ke margaan dan wilayah asal tanah leluhur mereka.
Konsep pemikiran itulah melahirkan budaya baru orang Nias Padang, yang hanya dimiliki oleh orang Nias yang telah menjadi orang Padang. Salah satu dari gagasan tersebut melahirkan produk budaya tari Balanse Madam, yang diakui keberadaannya oleh semua marga atau oleh seluruh masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang. Mulailah saat itu seluruh unsur kekerabatan dalam kesukuan atau marga orang-orang Nias keturunan merasa berkewajiban untuk mendukung keberadaan tari Balanse Madam dalam kehidupan sosial mereka.
Semenjak dicetuskan tarian Balanse Madam sebagai adat masyarakat Nias Padang, semenjak itu pula disosialisasikan dan dibudayakan menyangkut hal-hal teknis yang berlaku dalam pertunjukan tari Balanse Madam kepada seluruh lapisan masyarakat Nias yang tersebar di Seberang Palinggam dan Kampung Nias.
Kedua wilayah ini merupakan basis tempat tumbuh dan berkembangnya kesenian tari Balanse Madam pada awal pertumbuhannya di Kota Padang. Wilayah ini selalu ramai oleh para penduduk Nias keturunan pada abad ke-16 tatkala digelar pertunjukan kesenian tari Balanse Madam, masyarakat Nias di kedua wilayah ini menjadi masyarakat pendukung kesenian tari Balanse Madam secara tradisional.
Tak salah kiranya masyarakat pendukung tari Balanse Madam adalah orang-orang Nias yang telah menjadi warga Kota Padang, yang pada awalnya pertumbuhannya berbasis di wilayah Seberang Palinggam dan Kampung Nias. Masyarakat Nias Kota Padang secara tradisi dan kebudayaan merupakan pemilik sekaligus masyarakat pendukung tari Balanse Madam.
Masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang pada abad ke-16, oleh para kepala kampung, kepala adat atau tetua adat dan orang-orang yang berpengaruh dalam kesukuan atau marga mendorong berbagai lapisan masyarakat untuk memahami, mengetahui dan mendukung keberlangsungan perkembangan tari Balanse Madam di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Nias.
Salah satu bentuk keterikatan yang dapat mendorong keberlangsungan pertumbuhan tari Balanse Madam menurut Tawanto adalah melibatkan pemangku adat. Keterlibatan ini seperti diatur dalam tata cara penyajiannya. Dengan melibatkan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat Nias, secara tidak langsung mengharuskan tarian Balanse Madam untuk terus tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Nias.
Sering dalam sosialisasi pertumbuhan tari Balanse Madam, para pemangku adat menurut Tawanto menyebarkan pengaruhnya dengan berbagai isu tentang betapa pentingnya kehadiran tari Balanse Madam sebagai media interaksi dan integrasi antar berbagai marga dan kesukuan dalam masyarakat Nias. Hal yang terpenting dalam mendorong masyarakat Nias untuk membudayakannya, adalah tari Balanse Madam berperan sebagai tanda mereka adalah orang Padang, tidak lagi orang Nias yang baru datang, akan tetapi adalah orang Padang. Memang pada tahun 1970-an ke bawah orang Padang pinggiran tidak mau disebut dengan orang Padang, karena menurut mereka, yang orang Padang itu adalah orang Nias. Barulah semenjak era 1980-an semenjak perluasan Kota Padang mereka mau disebut orang Padang.
Gambar 2. Daerah Muara, tempat pendaratan Masyarakat Nias
Disamping tari Balanse Madam sebagai tarian tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Nias Kota Padang, akan tetapi bukan tidak ada masyarakat pecinta tarian ini diluar masyarakat Nias. Sebagai contoh adalah komunitas keturunan imigran dari Asia Selatan seperti suku Keling (Tamil dan India serta Gujarat).
Berbicara kehadiran orang-orang Nias di Padang, tak ketinggalan pula untuk menyinggung masyarakat keturunan dari suku Keling (istilah orang Minangkabau). Karena mereka merasa sesama perantau, hal ini menimbulkan rasa solidaritas diantara mereka. Rasa solidaritas ini berkembang pada relasi-relasi kepentingan politik dan ekonomi, serta eksistensi mereka di Kota Padang.
Untuk memperkokoh eksistensi mereka, perlu diantara mereka saling berbagi dan saling mendukung dalam hal ini salah satunya dalam masalah kebudayaan. Fakta yang jelas pada pertengahan abad ke-16 saat lahirnya orkes Musik Gamad di Kota Padang, salah satunya disebabkan campur tanganya orang Keling dan orang Nias, karena mereka berdualah lahir orkes Musik Gamad, yang kemudian berkembang sebagai musik pengiring tari Balanse Madam.
Walaupun demikian, kalangan suku Keling hanya ketika itu berada dalam tataran posisi penikmat, dan memberikan dukungan moral terhadap keberlangsungan pertumbuhan tari Balanse Madam di Kota Padang masa itu. Suku Keling adalah salah satu suku imigran dari luar kepulauan Nusantara yang dapat disejajarkan kedudukannya dengan suku Nias pada masa pertengahan abad ke-16 tersebut. Masyarakat Keling yang berada di sekitar sungai Batang Arau, atau tepatnya sekarang di daerah Pasar Gadang, Ranah dan daerah sekitar Tanah Kongsi di daerah Pondok sekarang, rata-rata kehidupan mereka berniaga. Masyarakat Keling sangat gemar dengan kesenian, baik tari maupun musik. Realitas ini yang menyeret mereka untuk respon terhadap kesenian tari Balanse Madam.
Ditilik dari pertunjukan tari Balanse Madam yang bernuansa pergaulan, dan tidak terlalu rumit untuk dipelajari. Apalagi tarian ini mengandung unsur joget, walaupun berupa langkah-langkah step biasa seperti gerak jalan (melenggang), bagi suku Keling terasa sesuai dengan pola-pola tarian leluhur mereka. Apalagi mereka membutuhkan media hiburan untuk berinteraksi. Dukungan masyarakat Keling membuat pertumbuhan tari Balanse Madam pada masa abad ke-16, menjadi membudaya dalam masyarakat Nias Padang.
Dukungan lain yang tak kalah penting adalah berasal dari Sutan Padang dan para warga Padang lainnya yang mayoritas suku Minangkabau. menurut Utiah, salah seorang pewaris tari Balanse Madam masa sekarang ini, tak jarang Sutan Padang menyaksikan pertunjukan tari Balanse Madam yang digelar dalam wilayah Kampung Nias dan Seberang Palinggam.
Sutan Padang sama sekali tidak melarang kesenian tari Balanse Madam dibudayakan di Kota Padang. Walaupun demikian Sutan Padang memberi saran agar kesenian tari Balanse Madam menyesuaikan dengan tata krama dan etika orang Minangkabau sebagai pemilik daerah kekuasan. Pertunjukan tari Balanse Madam agar tidak menyimpang dari pola-pola budaya Minangkabau.
Kenyataan yang terjadi pada masa awal pertumbuhan tari Balanse Madam, bahwa tarian ini tidak mendapat tantangan yang berarti dari masyarakat di luar suku Nias, baik dari suku Minangkabau maupun suku Keling, bahkan penguasapun baik Belanda dan Sutan Padang tidak melarang aktivitas kesenian ini. Ternyata pada gilirannya kesenian ini pulalah yang menjadi ikon kota Padang hingga masa kini.
Sungguhpun demikian dari abad ke-16 sampai orde lama dan awal orde baru atau tahun 1970-an, kesenian Balanse Madampun tidak pernah dimainkan oleh suku diluar suku Nias. Masyarakat Minang hanya sekedar penikmat, bahkah suku China dan Kelingpun merupakan penikmat yang setia hingga sekarang ini.
Memasuki tahun 1980-an barulah tari Balanse Madam mulai menyebar ke berbagai sanggar tari dan sekolah-sekolah seni atau perguruan tinggi seni di Sumatera Barat dan terutama di Kota Padang. Hal ini membuktikan masyarakat pendukung tari Balanse Madam buka saja berasal dari pemilik sah dari warisan budaya tersebut yakni masyarakat Nias, akan tetapi juga masyarakat Kota Padang pada umumnya.
Semenjak pemerintahan Kota Padang dipimpin oleh Syahrul Ujud tahun 1983, keterbukaan pemerintah terhadap kesenian asli kota Padang mulai dipopulerkan kembali ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kota. Tidak saja kesenian asli yang berasal dari kenagarian di luar Kota Padang lama, seperti kesenian Nagari Pauah, Lubuk Kilangan, Nan Duo Puluah, Bungus Teluk Kabung dan Koto Tangah, yang jelas berakar pada budaya Minangkabau. Akan tetapi pemerintah kota juga menggali kembali kesenian asli warga Kota Padang yang telah diakui menjadi budaya Kota Padang. Melihat sejarah kehadiran orang Nias di Kota Padang, sudah barang tentu kesenian tari Balanse Madam merupakan warisan budaya Kota Padang yang perlu dilestarikan dan diakui keberadaannya.
Kehadiran tari Balanse Madam dengan sejarahnya panjang, oleh pemerintah Kota Padang semenjak kepemimpinan Syahrul Ujud pada tahun 1983, tarian ini dijadikan salah satu ikon Kota Padang, disamping Musik Gamad, yang juga banyak dimainkan oleh masyarakat Nias bersama komunitas Suku Keling keturunan.

Read More......

TARI MINANGKABAU: PERAN ELIT ADAT DAN KEBERLANGSUNGAN

TARI MINANGKABAU :
PERAN ELIT ADAT DAN KEBERLANGSUNGAN
Indra Yuda *)

Abstrak: Artikel ini disajikan untuk menjelaskan tentang bagaimana peran elit adat seperti Penghulu dan Ninik Mamak di Minangkabau dewasa ini, terhadap keberlangsungan pertumbuhan tari tradisional Minangkabau di Sumatera Barat. adanya perubahan sistem pemerintahan Nagari menjadi desa, dan pada sisi lain seiring pula terjadinya perubahan sosial budaya pada masyarakat Minangkabau, berdampak pada keberlangsungan hidup tari tradisional Minangkabau dalam kantong budayanya. Dapat diungkapkan dalam artikel ini bahwa peran elit adat sudah mulai bergeser dalam kaumnya, sementara kemenakan atau kaumnya terseret arus globalisasi dengan trend masa kini. Akibatnya elit adat kurang berperan dalam menggiatkan pertumbuhan tari tradisi. Trend positif saat ini, adalah dimana peran elit adat sebagai fasilitator diambil alih oleh lembaga pendidikan tari, baik formal maupun non formal.

Kata Kunci: Elit adat, tari tradisional Minangkabau, Institusi pendidikan non formal dan formal, serta keberlangsungan.


1. PENDAHULUAN
Masyarakat Minangkabau merupakan bagian suku bangsa Indonesia, yang dalam pola kekerabatan menganut sistem matrilinial. Sistem matrilinial berdasarkan kepada ikatan garis keturunan melalui garis ibu. Merujuk kepada garis keturunan ibu tersebut, saudara perempuan di tempatkan sebagai penerus garis keturunan kesukuan, dalam hal ini termasuk penerus atau penerima dari berbagai bentuk warisan material maupun yang bersifat adat-sitiadat. Disisi lain, kaum laki-laki ditempatkan sebagai pengelola dan penjaga harta warisan material yang disebut Pusako. Sementara itu, dalam jabatan ke-adatan (jabatan menurut adat), kedudukan laki-laki bertindak sebagai penghulu dan ninik mamak. Dalam pewarisan gelar jabatan menurut adat diwariskan dari penghulu atau mamak kepada kemenakan yaitu anak laki-laki dari saudara perempuan mereka (Simulie, 2002: 28).
Kaum laki-laki yang menjabat dalam adat menurut pola kekerabatan matrilinial disebut dengan istilah elit adat. Para penghulu dan ninik mamak atau mamak adalah kelompok elit adat dalam kekerabatan matrilinial. Berdasarkan adat Minangkabau (Hakimi; 1985: 20) elit adat sangat berperan dalam mengontrol dan mengatur pola kehidupan bermasyarakat menurut aturan adat istiadat, baik adat istiadat yang bersifat adat salingka Nagari (Adat yang berlaku di tiap-tiap Nagari) di Minangkabau.
Wilayah Minangkabau pada masa lalu terdiri dari federasi Nagari-Nagari. Gabungan dari berbagai Nagari-Nagari inilah berdirinya kerajaan Minangkabau, sebab itu ada istilah adat salingka Nagari (adat tersebut hanya berlaku didalam Nagari itu saja, tidak universal). Artinya adat setiap Nagari otonom milik Nagari, akan tetapi bukan berarti tidak pula ada persamaan diantara Nagari-Nagari tersebut (Sayuti, 2002: 17).
Manan (1985:30) menjelaskan bahwa Nagari merupakan suatu birokrasi pemerintahan terkecil di Minangkabau. Setiap Nagari memiliki hak otonom, baik dari segi sistem sosial, politik, ekonomi dan kesenian. Perkembangan Nagari terletak pada kerjasama antara elit adat (Pemangku jabatan adat) dan masyarakat yang terdiri dari berbagai kaum dan suku.
Nagari dalam wilayah Minangkabau memiliki identitas dan fokus kebudayaan masing-masing. Dari segi produk budaya, Nagari diberi wewenang untuk memproduk secara kolektif (komunal) bentuk-bentuk budaya yang mereka inginkan, yang sesuai dengan karakteristik perilaku dan kepribadian mereka. Salah satu produk budaya tersebut adalah kesenian. Disamping sistem organisasi sosial dan adat-istiadat. Kesenian yang ditumbuhkembangkan di Minangkabau dari berbagai Nagari-Nagari, merupakan manifestasi dan refleksi dari kehidupan orang Minangkabau sebagai makhluk sosial.
Akibat adanya perombakan sistem politik di Indonesia, maka secara tidak langsung ikut mempengaruhi struktur birokrasi pemerintahan adat di Minangkabau. Kenyataan ini diawali oleh keinginan pemerintah pusat (Jakarta) untuk menyeragamkan pengistilahan bagi daerah birokrasi pemerintahan terkecil dari seluruh Indonesia. Pada tahun 1980 seluruh daerah pemerintahan paling rendah diperkotaan berobah nama menjadi kelurahan, sementara di kabupaten menjadi desa. Dampak dari perubahan tersebut, menimbulkan sistem pemerintahan Nagari sebagai birokrasi terkecil tidak ada lagi di Minangkabau.
Adanya perubahan tersebut berdampak pula pada sistem budaya di Minangkabau. Nagari terpecah-pecah menjadi desa atau kelurahan. Identitas budaya tidak lagi milik Nagari, tetapi sudah menjadi milik banyak desa dan kelurahan. Elit adat pun terpecah-pecah dalam jabatannya. Semula hanya sebagai Datuk Panungkek (wakil penghulu), sekarang menjadi penghulu pucuak (penghulu pucuk/pemimpin penghulu). Masalah ini disebabkan karena tempat tinggal mereka sudah menjadi dua kekuasaan pemerintahan yang setara, yakni sudah menjadi desa-desa dari satu Nagari, terkadang satu Nagari menjadi empat desa atau kelurahan. Secara tidak langsung tentu ke-empat desa atau kelurahan harus memiliki sistem budaya maupun sistem pemeritahan adat masing-masing pula.
Bagaimanapun juga, kenyataan tersebut berdampak pula terhadap aktivitas maupun kelestarian atau pewarisan dari tari-tari tradisional yang terdapat di berbagai Nagari di Minangkabau.
Menurut Firman (1998: 332) bahwa semakin meningkatnya perubahan sosial di Minangkabau berdampak pada bergesernya peran penghulu dan Ninik Mamak. Dari tingginya perhatian pada keluarga saparuik, dewasa ini perhatian tersebut semakin melemah saja. Akibatnya para elit adat hanya lebih menfokuskan perhatian pada keluarga inti. Disinilah asal mula semakin melonggarnya bimbingan para elit adat terhadap kemenakan dan kaumnya dalam berbagai hal adat istiadat. Termasuk masala warisan budaya seprti halnya masalah pewarisan tari tradisional.
Tari tradisional yang pada awalnya milik satu Nagari, sekarang menjadi milik empat desa atau lima desa maupun kelurahan. Terkadang tanggungjawab dari masyarakat desa dan kelurahan, ataupun pemerintahan yang berkuasa tidak lagi begitu peduli. Dengan melemahnya peran elit adat dalam pemerintahan desa dan kelurahan, juga ikut mempengaruhi terhadap pelestarian dan keberlangsungan dari perkembangan tari tradisi di Minangkabau. Apalagi saat sekarang globalisasi budaya, sosial, politik dan ekonomi ikut menyeret adat istiadat dan kesenian ke berbagai perubahan dan pergeseran terhadap tari tradisional di Minangkabau.
Pada masa lalu Ninik Mamak dan surau adalah elemen yang terpenting dalam pertumbuhan tari Minangkabau. Semenjak adanya globalisasi dan perubahan diberbagi bidang, terlebih perubahan kebijakan politik pemerintahan, dan pertumbuhan ekonomi, menyebabkan peran elit adat semakin melemah dalam kaum dan saudara saparuiknya. Lemahnya peran elit adat dan menurunnya kontrol sosial serta bimbingan elit adat terhadap kemenakan, maka kemenakanpun kurang memahami struktur adat dan persoalan-persoalan budaya di Minangkabau, termasuk pembudayaan tari tradisi di lingkungan masyarakat Nagari sebagai pemilik tari tradisi tersebut (Erlinda, 2005: 28).
Fenomena-fenomena tersebut menjadi suatu masalah dalam pertumbuhan tari Minangkabau masa kini. Mulai dari masalah sistem pemerintahan adat, sebagai birokrasi pemerintahan terkecil, kedudukan penghulu dan ninik mamak dalam pemeritahan desa atau lurah masa kini, hingga pada perubahan sosial dalam masyarakat Minangkabau. Artikel ini akan mencoba menelusuri persoalan melemahnya peran elit adat yang berdampak terhadap pertumbuhan dan keberlangsungan tari tradisi dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini.

2. Kajian Literatur
Zulkifli (2005:20) menjelaskan akibat perubahan sistem pemerintahan yang terjadi di Nagari di Minangkabau, mengakibatkan melemahnya fungsi dan tanggung jawab elit adat. Elit adat berada di luar garis kewenangan dalam berbagai kebijakan politis di Nagari dewasa ini. Lebih jelasnya struktur sosial dari masyarakat menjadi indentik dengan keseluruhan hubungan peranan. Pada dasarnya peranan-peranan tersebut selalu saling berkaitan dan tidak pernah sepenhnya bertahan (Baal, 1988:92).
Secara tidak langsung jaringan sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut, yang terdiri dari berbagai posisi dan peran yang menyertainya, dimana posisi dan peran tersebut memberikan kontribusi untuk kelangsungan hidup sistem sosial, persoalan ini dikatakan dengan fungsi sosial. Penelitian ini melihat bagaimana dewasa ini fungsi sosial yang diperankan oleh elit adat. Elit adat dapatkah memberi kontribusi yang berarti terhadap keberlangsungan tari tradisi. Referensi ini mengarah kepada bagaimana suatu jaringan sosial dapat memberi sumbangan terhadap sistem sosial, dimana sistem sosial memberi arah terhadap pertumbuhan tari tradisi di Minangkabau.
Firman (1998:95) menjelaskan perubahan dalam struktur kekerabatan dalam sistem matrilinial di Minangkabau, menuntut masyarakatnya untuk mengubah tata kehidupannya dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Artinya Firman melihat sebuah perubahan di Minangkabau mengharuskan terjadinya perubahan pada tatanan kehidupan.
Berbagai proses menimbulkan suatu perubahan, karena proses seperti proses sosial dapat merubah struktur sosial dalam masyarakat. Bahkan proses dipandang pula dapat merubah eksistensi dari suatu unsur kebudayaan dalam kehidupan sosial masyarakat. Perubahan struktural pada suatu sistem sosial masyarakat berarti perubahan dalam kultur normatid dari sistem sosial bersangkutan. Saling ketergantungan antara unit-unit atau sub sistem, berarti perubahan yang terjadi pada satu unit menyeret perubahan pada unit lain (Parson dalam Lauer, 2003:112)
Perubahan sebagai proses yang terjadi dalam masyarakat diakibatkan olehperubahan pada unit-unit atau sub sistem dapat secara mendasar merubah tatanan struktur sosial. Seperti perubahan ke tata pemerintahan di Nagari menjadi desa, akan menyebabkan bergeser tatanan struktur masyarakat Nagari secara adat, menjadi hukum ke tata negaraan yang terpusat. Artinya keberadaan Nagari sebagai wilayah hukum adat tempat eksisnya para elit adat, secara tidak langsung mengalami pergeseran. Disisi lain sistem pemerintahan otonom Nagari yang berubah menjadi sistem pemerintahan terpusat berdampak pada sistem kebudayaan pada wilayah Nagari, yang telah berganti nama dengan desa atau kelurahan.
Menurut Lauer (2003:113) perubahan struktural dapat terjadi dalam dua bentuk proses, seperti ada yang datang dari luar masyarakat secara eksternal dan ada perubahan yang disebabkan oleh proses internal dari masyarakat tersebut. Perubahan dari dalam masyarakat seperti pengaruh peran yang dimainkan oleh pimpinan kharismatis, ataupun berdasarkan konvensi yang terjadi antar seluruh anggota masyarakat.
Struktur sosial selalu berubah dimana perubahan tidak akan terjadi apabila masyarakat sebagai kesatuan fungsional memelihara sistem yang berlaku secara tradisi. Dalam hal ini struktur sosial selalu hidup dan bergerak, yang dapat diklasifikasikan menjadi : (1) bergerak karena hubungan aktivitas yang berlangsung dalam ruang dan waktu, (2) bergerak dalam arti kontiniunitas dan struktur sosial dalam ruang dan waktu, (3) bahwa bergerak disisi lain adalah suatu proses pertumbuhan terhadap struktur sosial (Fotes dalam Koentjaraningrat, 1990: 192).
Perubahan dalam hal ini dipandang sebagai suatu proses bergerak, dimana karena adanya suatu aktivitas sosial dalam suatu masyarakat menyebabkan perubahan pada struktur sosial. Melihat relevansi dengan perubahan menurut Foes, mau tidak mau perubahan terjadi diakibatkan berubahnya unsur-unsur atau sub sistem dalam masyarakat, yang berdampak pada sub sistem yang lain. Konsep berkait ini terjail dalam proses perubahan, yang merujuk pada perubahan ruang dan waktu.
Pandangan lain dari Firman (1998:93) dimana Firman melihat perubahan dalam struktur keluarga matrilinial di Minangkabau, menuntut Mamak (elit adat) untuk beradaptasi agar kehidupan keluarga menjadi stabil. Dengan kata lain perubahan dengan proses adaptasi yang dilakukan mamak (elit adat), agar mereka dapat beradaptasi secara budaya terhadap sesuatu yang baru. Karena sebelumnya tidak pernah ada dalam sistem budaya dan tatanan kehidupannya di Minangkabau.


3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan asumsi‑asumsi penelitian kualitatif dalam sifatnya multidisiplin seperti antropologi dan sosiologi. Dalam hal ini, kenyataan sosiologis yang terwujud dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau dijadikan sebagai sasaran untuk memahami tari Minangkabau sebagai tari tradisi. Untuk memahami keberadaan tari Minangkabau sebagai aktivitas kesenian dilakukan beberapa metode meliputi studi kepustakaan, etnografis dan studi dokumentasi
Pada tahap awal dilakukan upaya penelusuran terhadap hasil‑hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan. Beberapa hasil penelitian terkait seperti yang dikemukakan pada bagian studi kepustakaan sebelumnya. Hasil penelitian itu dapat memberikan inspirasi untuk menelusuri bagaimana kenyataan pertumbuhan tari tradisi Minangkabau dewasa ini. Untuk mempertajam faktualitas data maka studi kepustakaan itu mendorong penulis untuk melakukan suatu etnografi dan analisis komposisi yang terbatas pada dua kawasan. Pertimbangan teoritisnya adalah kawasan masyarakat Minang di Nagari-nagari sebagai kantong tradisi dan kawasan perkotaan tempat tumbuh dan berkembangnya tari kreasi hasil produksi akademisi. Tentu hal ini dipandang bermanfaat untuk meraih deskripsi yang lebih konkret atas realitas tari Minangkabau dan keberlangsungannya dilihat dari peran serta elit adat.
Etnografi dilakukan dengan dua model yakni : (1) studi tentang tari Minangkabau sebagai aktivitas kesenian yang menjadi milik warisan budaya masyarakat Nagari di Minangkabau, (b) studi tentang peranan elit adat dalam mendorong terjadinya pertumbuhan tari Minangkabau sebagai warisan budaya. Melalui studi representasi komunitas masyarakat Nagari akan ditelusuri data meliputi, akses masyarakat terhadap tari tradisi Minang, adat istiadat, sistem sosial dan struktur sosial dan kehadiran pranata modern di Nagari. Melalui studi representasi terhadap peran elit adat ditelusuri jenis data meliputi akses elit adat terhadap masyarakat, politik, kebudayaan dan adat istiadat serta struktur sosial masyarakat di Nagari, termasuk kontrol sosial.
Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui beberapa teknik. Untuk menelusuri gambaran sistem sosial dilakukan studi kepustakaan dan observasi terlibat. Untuk menelusuri tari Minangkabau dan peranan elit adat dilakukan dengan tenik wawancara dan observasi mendalam. Demikian juga untuk mendapatkan gambaran tentang proses perubahan yang terjadi dilakukan dengan wawancara dan observasi terlibat.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, dengan menghindari tendensius dan memperturutkan perasaan, untuk itu peneliti tetap mengutamakan kejernihan pikiran, ini merupakan upaya yang sangat harus diperhatikan. Hal dimaksud bertujuan untuk menjamin keobjektifitasan penelitian, dengan tujuan agar tidak mempengaruhi “natural setting” dan latar penelitian. Instrumen lain seperti: buku catatan, alat pencatat, camera video, camera foto, dan tape recorder yang keseluruhannya bersifat melengkapi instrumen utama.
Penelitian ini berpedoman pada 12 langkah penelitian Spardley (1977) yang telah dimodifikasi menjadi sembilan langkah yaitu : (1) menentukan objek penelitian, (2) melakukan observasi lapangan, (3) melakukan analisis domain, (4) melakukan observasi terfokus, (5) melakukan analisis taksonomi, (6) melakukan observasi terseleksi, (7) melakukan analisis komponensial, (8) melakukan analisis tema budaya dan (9) menulis laporan
Untuk memperkuat kesahihan data hasil temuan dan otensitas, maka oleh sebab itu peneliti dalam hal ini mengacu kepada penggunaan standar keabsahan data yang telah dijelaskan oleh Lyncoln dan Guba (1983) yang terdiri dari: (1) kepercayaan (credibility), (2) keteralihan (transferability), (3) dapat dipertanggungjawabkan (dependenbility), (4) penegasan atau kepastian (confirmability).

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Perubahan Sosial Masyarakat Minangkabau dan Relevansinya Terhadap Tari Minangkabau
Adanya laju pertumbuhan dalam berbagai bidang dewasa ini, mengakibatkan sektor-sektor budaya mengalami dinamika perubahan maupun pergeseran. Dalam hal ini, seni tari Minangkabau merupakan salah satu dari objek perubahan tersebut. Hadirnya globalisasi ekonomi, sain dan teknologi merupakan salah satu indikator kenapa terjadi perubahan dalam berbagai tari tradisi di Minangkabau
Melihat perubahan dan pergeseran ataupun perkembangan pada tari Minangkabau, fenomena ini dapat dilihat dari persoalan perubahan sosial budaya. Terjadinya perubahan sosial budaya pada masyarakat Minangkabau berpengaruh terhadap peran, posisi dan pelestarian maupun terhadap keberlangsungan dari pertumbuhan seni tari tersebut dalam masyarakat pendukungnya.
Berdasarkan teori sosio historis perkembangan, bahwa perubahan dan perkembangan pasti terjadi menuju ke arah depan dengan kemajuan yang lebih baik. Perkembangan dalam masyarakat akan terjadi, dalam hal ini terjadi suatu perubahan sosial yang berevolusi walau berlangsung dengan lambat. Dimana perkembangan tersebut menuju kesempurnaan. Disisi lain, perkembangan dalam sosial budaya, menggeser posisi kemapanan dari norma, nilai dan adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat, terutama masyarakat tradisional dengan kata lain masyarakat yang hidup di pedesaan.
Sementara itu, tari tradisional Minangkabau lebih banyak berdomisili atau tumbuh dan berkembang pada daerah pedesaan. Karena daerah pedesaan merupakan kantong-kantong atau sentra dari keberadaan tari Minangkabau. Di desa ini pula banyak bermukim para elit adat (penghulu dan ninik mamak), walaupun diperkotaan tidak tertutup kenungkinan para elit adat bermukim, apalagi pada zaman globalisasi ini.Dimana pada zaman sekarang ini banyak elit adat yang berpredikat penghulu tinggal di perkotaan, hal ini disebabkan ada sebagian mereka mendapatkan gelar atau jabatan penghulu karena status kekayaan maupun gelar akademik dan jabatan di pemerintahan. Dengan adanya perubahan sosial budaya tersebut, daerah pedesaan yang dahulu masih menganut dengan kuat konvensi adat, sekarang mulai bergeser kearah pemikiran idealisme global. Karena apa? Karena para elit adat yang bermukim di perkotaan banyak yang berpaham sekuler dan menjadi masyarakat global.
Merujuk pada teori Comte (dalam Yuda, 2004: 125) dimana Comte menyatakan bahwa ada tiga persoalan teoritis yang berbeda yang dilalui manusia secara berurutan, dalam perkembangan hidup manusia yaitu: (1) tingkat teologis, dimana manusia mempercayai segala fenomena diciptakan oleh zat yang Maha Agung. Dalam konteks ini manusia percaya pada jimat, dewa dan keesaan Tuhan, (2) Tingkat metafisika, pada tingkat ini, kekuatan gaib yang abstrak yang bersumber pada kekuatan alam semesta menjadi landasan manusia dalam berperilaku dan beraktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, dan (3) Tingkat Ilmiah atau positiv, pada tingkat ini, manusia mencari hukum-hukum yang menentukan berbagai fenomena, nalar dan pengamata yang realita dan logis menjadi alat utama dalam berfikir.
Berdasarkan pendapat Comte tersebut dan melihat realitas yang terjadi dalam perkembangan tari Minangkabau dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakatnya, dapat dilihat dari kategori sejarah dan proses simbolis yang terjadi. Dalam kategori sejarah ada tiga kategori yaitu: (1) Tradisonal patrimonial, (2) Kapitalis, dan (3) Teknokratis. Sedangkan dalam proses simbolis ada tiga sub bagian, indikatornya yaitu berdasarkan lembaga (institusi), simbol dan norma atau hukum.
Melihat dari konsep sosio historis tersebut bisa diuraikan bahwa dari zaman tradisional tari Minangkabau dikelola atau digunakan oleh lembaga (institusi) masyarakat pendukungnya maupun kerajaan. Dimana simbol dari tarian pada kategori sejarah bersifat mistis dan religius. Sedangkan norma atau hukum dari kategori sejarah yang bersifat tradisional adalah bersifat komunal dan kepatuhan.
Sementara pada zaman kapitalis, lembaga pengguna atau pengelola adalah tenaga profesional, maupun pesanan dan bersifat penawaran. Simbol yang muncul adalah realis dan norma yang berlaku adalah individualis.
Zaman teknokratis modern, lembaga pengguna adalah profesional, negara, pesanan dan juga penawaran. Sedangkan simbol yang muncul adalah pseudo-realis dan positivisme, sementara norma adalah individualis dan modifikasi perilaku.
Memandang pada konteks sosio historis dan realitas yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau dewasa ini, dapat dijelaskan dalam tulisan ini bahwa masyarakat Minangkabau berada dalam tahap atau tingkat positivisme ilmiah. Kenyataan ini dilihat dari perubahan zaman yang terjadi dan munculnya idealisme global, yang merupakan suatu era tempat tumbuhnya pemikiran rasional diatas pemikiran metafisika dan irrasional. Adanya tahap rasionalitas ini, mengubah pula pandangan orang Minangkabau terhadap kesenian tradisi, seperti halnya tari tradisi Minangkabau. Sebelumnya pada masa lalu kesenian tradisi seperti tari yang merupakan identitas bersama yang lahir akibat pemikiran kolektif.
Dewasa ini tari Minangkabau merupakan objek kebutuhan rohani yang tidak dianggap lagi sebagai identitas budaya orang Minang yang lahir akibat pikiran kolektif. Kebutuhan akan kesenian tradisi atau tari Minangkabau oleh masyarakat Minang itu sendiri, tidak lagi mengikat secara spirit ke Minangkabauan. Akan tetapi hanya sebagai kebutuhan batin semata, akibat dari kejenuhan-kejenuhan rutinitas pekerjaan. Ada juga yang memposisikan tari Minangkabau sebagai nilai ekslusif, yaitu sebagai tolak ukur dari pangkat dan jabatan maupun status sosial. Fenomena tersebut dewasa ini terlihat dalam pesta perkawinan yang digelar di gedung-gedung mewah. Kenyataannya yang menggunakan tari Minangkabau adalah para orang kaya dan pejabat, tarian tersebut tidak lagi bersifat tradisi walau masih disebut tari Minangkabau. Tari tersebut lebih kepada tari kreasi yang bersumber kepada vocabullary dan gaya serta warna dan karakter Minangkabau. Sebetulnya tarian tersebut tarian versi baru walau nama tarian tersebut dan bentuknya hampir sama. Sementara masyarakat pedesaan atau masyarakat kelas bawah diperkotaan sudah jarang menggunakan tari tradisi dalam acara adat atau acara pribadi rumah tangga mereka.Tari Minangkabau yang bentuk baru yang merupakan representasi tersebut, padaumumnya beredar atau tumbuh dan berkembang di perkotaan.
Fenomena tersebut disebabkan dari bergesernya posisi dan peran tari Minangkabau dalam masyarakat Minangkabau sendiri. Hal ini sesuai dengan konsep perubahan yang linear, bahwa zaman teknokratis modern ini lembaga pengguna dari tari Minangkabau adalah pemerintah, untuk seremonial, dan pelaku profesional. Disamping itu, ada pesanan dari konsumen serta terjadi tawar menawar yang normanya bersifat individualis. Sebab itu tari Minangkabau sudah bergeser dari kepemilikan komunal berubah menjadi kepemilikan individual. Dari konvensi adat istiadat bergeser menjadi konvensi antar individu dan profesionalis atau konsumen. Sebab itu wajar saja tari Minangkabau menjadi seni pesanan dan yang muncul dalam masyarakat adalah seni yang tidak lagi terikat rasa spirit keminangkabauannya.
Fenomona lain dari pergeseran nilai dan norma pada tari Minangkabau adalah faktor peran serta elit adat dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat atau anggota kaum kerabatnya. Dengan eksisnya elit adat dan memiliki integritas, niscaya keberlangsungan tari tradisi Minangkabau, yang merupakan identitas kultural orang Minangkabau akan tetap tumbuh dan berkembang. Faktor peran serta dari elit adat sangat berdampak positiv terhadap kehidupan sosial masyarakat, sehingga melalui peran serta aktif dari elit adat membuat anggota kaum kerabat senantiasa interes dengan adat-istiadat, berarti ikut pula interes terhadap keberlangsungan tari Minangkabau. Akan tetapi timbul pertanyaan apakah saat ini para elit adat masih eksis, dan memiliki integritas serta wibawa dalam kaum kerabatnya?

4.2 Kedudukan dan Peran Elit Adat dalam Masyarakat Minangkabau Sekarang
Elit adat merupakan bagian dari struktur organisasi sosial masyarakat Minangkabau. Elit adat merupakan istilah bagi orang-orang yang memangku jabatan fungsional maupun struktural dalam adat atau kaum kerabat kesukuan dalam masyarakat Minangkabau. Dalam kekerabatan matrilinial, elit adat dalam kaum disebut mamak yang memiliki jabatan fungsional, atau ninik mamak, selanjutnya penghulu. Mamak ada juga disebut mamak kepala waris, dimana mamak kepala waris adalah saudara laki-laki yang tertua dari saudara perempuan dalam satu keluarga.
Pada zaman Orde Baru (dalam rezim presiden Soeharto) kelompok elit adat dibawah naungan KAN (Kerapatan Adat Nagari). Adat, yang bertujuan mengelola persoalan masyarakat yang berkaitan dengan adat-istiadat dan warisan maupun sosial budaya. Kaum elit adat menurut Hasan (1988:12) berperan dalam menggerakkan dan memobilisasi masyarakat dalam hal pelestarian dan pertumbuhan kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal seperti unsur kesenian. Kesenian sebagai manifestasi dan identitas orang Minangkabau bagi elit adat masa lalu sangat diperhatikan dan dipelihara, baik pelestarian, perkembangan damn pewarisannya.
Kaum ninik mamak dan penghulu masa lalu ikut sebagai penggerak anak dan kemenakannya dalam menggeluti atau mempelajari seni tradisi seperti tari Minangkabau. Bahkan para tokoh-tokoh tari adalah penghulu dan mamak kepala waris dalam keluarganya. Sebut saja Darwis datuak Rajo Bungsu di Pauh, Yahya di Koto Anau, Tepan di Painan, Sidi Burak di Pariaman, Datuak Tumbijo di Kayu Tanam dan Tawanto di Seberang Palinggam serta Siciak Gadiang-gading di Gunung Padang. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang berpengaruh dalam kaum kerabatnya, bahkan hampir diseluruh Nagari. Fenomena ini disebabkan karena diantara mereka ada yang cerdik pandai. Pengaruh pamor mereka berdampak terhadap keberlangsungan seni tari di Minangkabau.
Dewasa ini kedudukan elit adat dalam masyarakat masih tetap seperti masa Orde Baru dengan KAN sebagai organisasinya. Akan tetapi peran mereka dalam masyarakat tidak lagi begitu berjalan sesuai fungsinya sebagai lembaga kontrol terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Minangkabau.
Menurut Firman (1998: 92), dengan adanya perubahan pada sektor ekonomi dan sain, teknologi, apalagi begitu derasnya arus globalisasi, membuat perubahan dalam fungsi mamak di Minangkabau. Mamak sebagai ahli waris persoalan adat istiadat dan kebudayaan tidak lagi menjalankan fungsinya. Mereka lebih terjebak dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga intinya (dia dengan anak dan istrinya). Para mamak tidak lagi begitu antusias dengan jabatan mamak dalam kaumnya, mereka lebih memikirkan tanggung jawab sebagai suami menurut agama daripada tanggungjawab menurut adat. Dimana dia diharuskan untuk membimbing kemenakannya, dan menjaga marwah dan martabat kaumnya.
Macetnya fungsi mamak berdampak terhadap pelestarian nilai-nilai dan norma serta esensi adat-istiadat dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini. Dengan macetnya fungsi mamak serta mamak adalah juga sebagai seorang ayah dalam keluarganya yang hanya berfikir secara ekonomi dan pertumbuhan sain dan pendidikan, secara tidak langsung melemahnya perhatian dan tanggungjawabnya pada masalah adat istiadat di Minangkabau. Berarti juga berdampak terhadap pelestarian seni tari tradisi di Minangkabau.

4.3 Keberlangsungan Tari Tradisi dalam Masyarakat Minangkabau Sekarang
Tari tradisi saat sekarang keberlangsungannya antara hidup segan mati tak mau. Realitas ini terjadi setelah adanya perubahan peran elit adat dalam masyarakat Minangkabau. Artinya kelompok atau orang yang bertanggungjawab terhadap kelestarian budaya dan peradaban ke Minangkabauan sudah beralih peran. Walau ada sebagian dari mereka yang masih menggalakkan, akan tetapi anak kemenakannya terlanjur tidak percaya dengan kaum elit adat. Apalagi arus globalisasi telah jauh menyeret mereka dengan budaya urban (metropolitan). Dengan adanya fasilitas komunikasi dan informasi yang canggih menyebabkan pemikiran dan peradaban ke Minangkabauan menjadi marginal, bukan saja di Metropolitan (perkotaan) malah sampai ke pedesaan.
Keberlangsungan tari tradisi saat ini bukan lagi menjadi tanggungjawab dunia pendidikan atau notabenenya pemerintah melalui Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten, maupun Dinas Kepariwisataan. Melalui Dinas Pendidikan dalam otonomi daerah dibentuk mata pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau). Guru BAM kembali memperkenalkan seni tari tradisi Minangkabau pada murid-murid sekolah. Begitu juga di perguruan tinggi dengan mata kuliah Tari daerah setempat, dimana muatannya adalah tari tradisi Minangkabau. Melalui jendela pendidikan sepertinya tari Minangkabau dapat terus berlangsung kehidupannya di tengah-tengah masyarakat.
Adanya sedikit pemaksaan oleh guru BAM bagi murid-muridnya untuk belajar tari tradisi Minangkabau, diharapkan keberlangsungan pertumbuhan tari Minangkabau tetap lestari sepanjang masa. Suatu strategi yang sudah tepat oleh pemerintah, kaerna murid-murid sekolah adalah tunas-tunas generasi yang akan berperan dalam kehidupan berbudaya, beradat dan berbangsa di Minangkabau maupun diluar Minangkabau. Walau murid-murid tersebut dalam rumahtangganya tidak mendapat pemahaman atau pendidikan tentang adat-istiadat atau seni tari Minangkabau, karena para orang tua sekaligus elit adat lebih memikirkan sektor ekonomi dan pendidikan dalam berkompetisi pada derasnya arus global saat ini.
Munculnya mata pelajaran BAM dan adanya otonomi daerah serta adanya gagasan dari segelintir elit adat, yang sekaligus sebagai penguasa pada pemerintahan untuk kembali ke Nagari, berdampak terhadap keberlangsungan tari tradisi di Minangkabau. Kerinduan sebagian penguasa yang sekaligus seorang elit adat untuk kembali ke Nagari disikapi oleh elit pendidikan di Minangkabau. Kembali ke Nagari berarti suatu simbol yang mengisyaratkan untuk kembali kekebudayaan dan sosial masyarakat Minangkabau, berarti juga kembali dengan segala yang berbau tradisi dengan kemasan modernisasi. Dengan begitu kehidupan seni tari tradisi niscaya akan tetap berlangsung dalam masyarakat Minangkabau.


5. Penutup
5.1 Simpulan
Dampak dari perubahan membuat posisi para elit adat kurang mendapat tempat dalam pemerintahan desa. Kenyataan ini disebabkan oleh sistem pemerintahan desa yang sentralistis. Artinya dengan sentralistis kepentingan-kepentingan lokal seperti adat istiadat, adat kebiasaan dan kebudayan sistem kekerabatan agak kurang terakomodasi.
Seiring dengan itu, maka peran elilt adat semakin melemah pula. Para elit adat tidak bisa begitu saja seperti dulu mengambil kebijakan atau diikut sertakan dalam pengambil kebijakan dalam pemerintahan desa. Kenyataan dari itu pada bagian lain mamak atau para elit adat sudah merasa kehilangan wibawa dan peran kekuasaan. Pada gilirannya mereka merasa kehilangan eksistensi dan aktivitas.
Disisi lain sejalan dengan perubahan tersebut, muncul pertumbuhan sains dan teknologi serta pengetahuan. Apalagi adanya arus globalisasi dari berbagai bidang masuk dalam tatanan kehidupan masyarakat Nagari-nagari di Minangkabau. Ideologi atau konsep maupun bentuk perubahan ini yang ditandai dengan era kebebasan, hak azasi, persaingan. Munculnya media berupa elektronik, yang tanpa bisa dicegah membawa berbagai informasi. Secara tidak langsung menyeret pula pada pola pikir masyarakat di nagari-nagari. Masyarakat di Nagari bagi yang berduit dengan gampang mendapatkan informasi melalui bantuan parabola, dan dengan mudah mengakses informasi, belum lagi adanya internet dan telepon seluler.
Kesemua gejala dan kenyataan tersebut berdampak terhadap bergesernya peran mamak dimata kemenakan, begitu juga penghulu. Banyak para anggota masyarakat kurang memandang lagi keberadaan elit adat. Sementara Bapak atau suami yang sebetulnya juga adalah ninik mamak bagi keluarga saparuik (keluarga adik beradik) atau kemenakannya (anak dari saudara perempuannya) lebih terfokus pada keluarga intinya (dia dengan istri dan anak-anaknya). Disisi lain kemenakanpun berperilaku yang tidak lagi memposisikan elit adat pada tempatnya.
Trend lain yang muncul saat ini, banyak para elit adat yang pada usia baya atau usia kerja meninggalkan kampung halaman, merantau untuk mencari penghidupan baru. masalah in disebabkan karena telah sempitnya lapangan ekonomi, apalagi tanah ulayat sudah terjual ataupun tergadai. Merekapun berasumsi mereka andaikan dikampung juga tidak punya apa-apa, karena arisan harta untuk saudara perempuannya.
Akibatnya, kontrol sosial dan bimbingan pada kemenakan dan keluarga saparuik menjadi longgar. Maka ada sebagian keluarga atau kemenakan bamamak ka mamak urang (berpaman ke paman orang lain). Begitu juga masalah penghulu, banyak yang hanya sekedar menyandang gelar datuak (datuk). Sementara dia jauh berada di rantau. Sering para elit adat ini meninggalkan tugas dan tanggungjawabnya. Seperti jarang mereka mengawasi harta pusaka, mengawasi perilaku saudaranya dan kemenakan maupun kaumnya. Jarang sekali mau terlibat membimbing kemenakan dan kaum kerabat, apalagi menyelesaikan masalah internal kaum dan keluarga. Banyak yang beralasan kesibukan pekerjaan di rantau.
Deskripsi di atas menyeret pula pada keberlangsungan tari tradisional Minangkabau dewasa ini. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa lalu yang menari adalah parewa (anak muda yang membela nagari), pandeka (pendekar) dan pangulu (penghulu). Ketiga kategori tersebut adalah kelompok ninik mamak. Ketiganya saling bekerjasama. Masa lalu peran penghulu dalam matrilinial adalah sebagai penguasa dan pengayom keluarga kaumnya mampu untuk membimbing kaumnya untuk mewarisi kebudayaannya, seperti tari tradisional. Akan tetapi dewasa ini mereka tidak mampu lagi membimbing kemenakan, keluarga dan kaumnya untuk mewarisi budaya tradisi seperti tari tradisional Minangkabau.
Ketidakmampuan mereka juga berasal dari perubahan sistem pemerintahan di nagari dan dampak dari arus globalisasi dan kemajuan sains dan teknologi. Sebab itu banyak masyarakat di nagari-nagari beralih perhatian pada seni-seni urban atau seni-seni global. Walaupun masih ada kepedulian elit adat pada sebagian nagari, begitu juga sebaliknya dengan masyarakatnya.
Kenyataan yang terjadi saat ini, ternyata keberlangsungan tari tradisional Minangkabau diambil alih oleh lembaga pendidikan formal dan non formal seperti SMK Negeri 7, STSI Padang Panjang dan Sendratasik FBSS Universitas Negeri Padang. Sementara lembaga non formal seperti sanggar-sanggar tari dan seni pertunjukan, yaitu PLT Indojati, Sanggar Syofiani, Sanggar Satampang Baniah dan Sanggar Langkisau.
Peran lain juga dilakukan oleh Dinas Pendidikan Nasional. Melalui Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Barat, yang memutuskan untuk menggunakan Budaya Alam Minangkabau (BAM) dalam kurikulum sebagai salah satu mata pelajaran. Kesempatan ini diguakan oleh guru BAM untuk menggali dan memperkenalkan kembali seni tari tradisional Minangkabau.
Disisi lain Departemen Pendidikan Nasional secara Nasional memasukkan mata pelajaran tari daerah setempat dalam pembelajaran tari di sekolah. Disinilah diinterpretasikan tari daerah setempat adalah sebagai nama lain dari tari tradisional. Sebab itu guru kesenian mengajarkan tarian tradisional di sekolah. Dengan adanya usaha tersebut menjadikan keberlangsungan tari tradisional Minangkabau tetap berkelanjutan.
5.2 Saran
Berdasarkan temuan hasil penelitian yang telah dianalisa dan dibahas dalam laporan penelitian ini, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi pemerintahan Nagari, yang telah kembali pada ke nagariannya, untuk membudayakan kembali seni tari tradisional dalam masyarakat pendukungnya dan masyarakat nagari itu sendiri
2. Diharapkan bagi pemerintah Propinsi yang diteruskan pada pemerintahan Nagari agar mengaktifkan kembali fungsi dan peran elit adat (ninik mamak dan penghulu), baik secara UU atau peraturan maupun secara pelaksanaannya
3. Masyarakat Minangkabau diharapkan untuk lebih mengerti dan memahami pentingya arti warisan budaya seperti tari tradisional Minangkabau untuk dipelihara dan dikembangkan. Karena seni tari tersebut merupakan salah satu identitas kultural orang Minangkabau
4. Melalui penelitian ini, diminta lagi peran aktif para penghulu dan ninik mamak maupun para kemenakan untuk saling bersinergi dalam memajukan pertumbuhan tari tradisi Minangkabau
5. Jurusan Sendratasik FBSS Universitas Negeri Padang, STSI Padang Panjang diharapkan melalui penelitian ini, lebih membuka diri terus berusaha mengkaji dan menggali serta mengembangkan dan mempertahankan keberadaan seni tari tradisional Minangkabau





KEPUSTAKAAN

Arbi, Alfar. 1999. Urai Kerai Suatu Tarian dalam Ritual Pengobatan Pada Masyarakat Mentawai. Padang: Taraju.

Baal, Van J 2003. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Hingga Dekade 1970 (terjemahan) Jakarta: Gramedia.

Edwiko. 1999. “Tari Tukuk Tunggal Dalam Kehidupan Masyarakat Parumpuang Kabupaten Limo Puluah Koto”: FBPS IKIP Padang

Erlinda. 2005. “ Tari Minangkabau Gaya Surau”. Padang Panjang: STSI

Firman. 1998. “Adaptasi Fungsi Mamak dalam Masyarakat Matrilinial Minangkabau dengan semakin menonjolnya Keluarga Samande dibandingkan keluarga Saparuik”. Jurnal Humanus Vol I Nomor 1 Tahun 1998. Padang: Lemlit Universitas Negeri Padang

Glinka, Josef. 1998. Kerasulan dan Kebudayaan, disadur dari Loius Luz Betak. Seri Buku Pastoralia. Seri IX/7/1984. Ende: Percetakan Amoldus

Hakimi, Idrus. 1985. Adat Minangkabau dan Sako Pusako. Padang: Pemda Sumatera Barat .

Hasan, Firman. 1987. Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau. Padang : Pusat Penelitian UNAND

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Laner, Robert H. 2003. Perspektif tentang Perubahan Sosial (terjemahan). Jakarta: Rineka Cipta

Maman, Imran. 1984. Nagari Sebagai Birokrasi Pemerintahan Terendah di Sumatera Barat. Padang: Pemda Sumbar

Pelly, Usman. 1994. Teori-teori Budaya. Jakarta: DIKTI
Renni, Dwi Okta. 1998. “Tari Mancak Padang ditinjau dari Perkembangannya di Ikua Koto Kota Padang”. Padang: FPBS IKIP Padang

Sayuti. 2002. Minangkabau dalam Perubahan. Padang: LKAAM Sumbar

Sedyawati, Edi. 1984. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Sepriono. 2000. Internalisasi Budaya Minangkabau. Padang: PPS UNP

Simulie, P. 2002. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Padang: LKAAM Sumbar

Sosmita, 1998. 1992. “ Problematika Pewarisan Tari Piriang di Padang Magek”. Padang: FPBS IKIP Padang

Spradley, James. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta; Tiara Wacana.

Zulkifli, 2005. “Randai Multi Kultural”. Padang Panjang: WDA West Sumatera

Read More......