Senin, 13 Agustus 2007

PERANAN KRITIK SENI TERHADAP PERKEMBANGAN DUNIA KESENIAN


Oleh Indra Yuda

Abstrak

Perkembangan kesenian terkadang tidak selaras dengan perkem-bangan yang terjadi pada sebagian masyarakat pencinta seni. Lajunya perkembangan dunia seni, baik yang terjadi pada kreator dan karyanya, dirasa perlu dijembatani oleh suatu informasi agar komunitas pencinta seni memiliki suatu gambaran yang berarti. Dengan tujuan pada gilirannya dapat memberikan kontribusi tentang arah dan tujuan serta posisi dan nilai dari karya seni itu sendiri.

Dalam hal ini kritik seni sangat diperlukan kehadirannya, tentu bukan sembarang kritik, akan tetapi kritik yang cerdas dan bukan berupa ajang pembantaian maupun sebagai legitimasi.

Dalam artikel ini dipaparkan berbagai peranan kritik seni terhadap perkembangan kesenian seperti : kritik sebagai penilaian atas nilai, sebagai informasi, motivasi dan tolak ukur.

1. PENDAHULUAN

Dalam berbagai pertunjukan kesenian maupun pameran seni, seperti seni rupa dan seni kriya yang selalu disuguhkan untuk kalangan terbatas maupun masyarakat pencinta seni, sering kita jumpai kegiatan semacam ini kurang mendapat respon dari kalangan pengunjung ataupun penonton. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tiket yang terjual dan banyaknya tempat duduk yang masih belum terisi. Kendala seperti ini sering menghantui para penyelenggara pertunjukan dan pameran kesenian kita di tanah air.

Fenomena tentang sepinya penonton akhir-akhir ini, memancang bukan hal yang baru, apalagi untuk jenis seni yang temporer dan ekspresionisme maupun jenis seni instalasi. Lebih dekatnya dapat dilihat pada pergelaran tari, teater dan musik serta seni tradisional yang sering ditampilkan pada pusat-pusat kesenian atau pada Taman Budaya yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia.

Sering pertunjukan tari dengan gerak yang begitu artistik, suguhan teater yang menampilkan berbagai aktor yang berbakat dan tampilan komposisi aktor yang berbakat dan tampilan komposisi musik yang begitu didisain dengan pola-pola yang ritmis. Apalagi pertunjukan tersebut ditunjang dengan berbagai publikasi seperti media cetak dan elektronik, baik bersifat daerah maupun nasional, ke semua kiat tersebut belum menjamin terjaringnya animo masyarakat terhadap pertunjukan yang begitu berkualitas tersebut. Seperti kadang kala ada usaha panitia penyelenggara untuk tidak memungut bayaran, hal ini juga merupakan suatu usaha yang gagal.

Persoalan ini dapat diduga karena kurangnya informasi tentang berbagai objek seni dan persoalannya. Ketidaktahuan dan kurangnya wawasan terhadap objek seni, membuat masyarakat kurang tertarik untuk menyaksikan berbagai pertunjukan yang digelar oleh berbagai kalangan penggerak seni.

Menurut Sal Murgianto (1993: 12) di sinilah perlunya kritik seni dibutuhkan oleh masyarakat, masyarakat perlu diberi pemahaman tentang seni dan perkembangannya. Untuk membantu masyarakat dalam memahami seni, kebutuhan tentang kritik seni dirasa sangat penting sebagai salah satu media informatif. Akan tetapi kritik yang dibutuhkan bukan berarti kritik yang asal-asalan, tetapi kritik yang tajam dan cerdas.

Lemahnya animo masyarakat terhadap berbagai suguhan kesenian, dapat disebabkan oleh lemahnya mutu karya seni dan kurang berkualitasnya seniman sebagai seorang kreator. Seniman sangat dituntut untuk selalu dinamis, kreatif, produktif dan inovatif.

Seniman perlu berkaca, perlu ada data untuk evaluasi diri. Yang pada gilirannya sangat membantu dalam proses kreativitas selanjutnya, apakah tentang pencaharian ide, konsep garapan maupun membentuk pola-pola baru. Dalam konteks ini kehadiran kritik sangat berarti bagi seniman dan karyanya.

Pada kenyataannya dewasa ini banyak seniman kita yang alergi kritik. Mereka tidak mau untuk dikritik, ini salah siapa? Hal ini disebabkan juga sering seorang kritikus bertindak sebagai algojo. Kritik yang dilontarkan sering bersifat rekayasa dan subyektif. Apalagi dalam perkembangan dunia seni sekarang, ada kalanya juga kritikus tidak mengikuti lajunya arus perkembangan dunia seni, yang kenyataannya sudah semakin mengglobal. Akhirnya sering terlihat seniman sebagai seorang yang diposisikan sebagai terdakwa.

Satoto (1992: 12) berpandangan, bahwa banyak sebagian kritikus yang hanya karena pengaruh atau kedudukannya pada suatu lembaga kesenian, ikut mewarnai hasil penilaian terhadap suatu karya seni, padahal yang bersangkutan belum tentu memahami seni dan dengan segala perkembangan yang terjadi.

Berdasarkan kasus tersebut, ternyata banyak seniman mati di tengah jalan. Gejala ini sangat merugikan pertumbuhan kreativitas seniman dan perkembangan kesenian di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Untuk itu dalam tulisan ini akan dipaparkan berbagai pendekatan terhadap kritik seni dari berbagai sisi, seperti kritik sebagai penilaian atas nilai, sebagai media informasi, motivasi dan kritik sebagai tolak ukur, yang pada gilirannya dapat membantu kelancaran pertumbuhan seni pada masa datang.

2. KRITIK SEBAGAI PENILAIAN ATAS NILAI

Sebagai sebuah kritik yang difungsikan untuk menilai suatu nilai seni dari objek kritikan, banyak hal yang harus diperhatikan. Dari masalah tehnis dan non tehnis serta unsur penunjang dari objek kritikan yang mendalam, penilaiannya perlu diketahui dan dipahami oleh seorang pengkritik dalam melancarkan kritikannya.

Memang menilai sebuah nilai seni tidak semudah menilai "dua tambah dua sama dengan empat", nilai di sini ibarat sesuatu yang tersembunyi di balik hijab. Ia lebih merupakan sesuatu yang bersifat abstrak yang terjadi dalam sebuah karya seni. Kita tidak langsung dapat mengatakan bahwa pertunjukan sebuah tari tersebut mengalami kegagalan, dengan kata lain kurang dapat memproyeksikan konsepnya ke dalam sebuah koreografi atau sebuah konsep bunyi yang diproyeksikan dalam aplikasi komposisi musik.

Menurut Kwant (1975: 19) mengatakan bahwa :

Karena berkisar pada nilai-nilai, maka kepekaan terhadap nilai harus memegang peranan pokok dalam kritik. Kalau kepekaan terhadap nilai itu tidak ada, kritik menjadi tanpa respek. Orang yang mampu memberikan kritik seni hanyalah dia, yang peka terhadap nilai-nilai artistik yang ada dalam sebuah karya seni.

Dalam memberikan penilaian ada hal-hal tertentu yang perlu diperhatikan yaitu seperti aspek tehnis dan non tehnis. Kedua aspek ini sangat menentukan seorang kritikus dalam melancarkan kritikannya. Kedua aspek tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Aspek Teknis

Yang dikatakan aspek tehnis adalah hal-hal pokok dalam sebuah karya seni. Hal-hal yang pokok tersebut seperti contoh :

1) Untuk seni tari adalah penari, pemusik, alat musik pencahayaan, komposisi, kostum, rias dan koreografi tari secara menyeluruh seperti: desain lantai, desain atas, ruang, dinamik, dramatik, dan transisi, kemudian properti dan setting.

2) Untuk musik adalah pemusik, alat musik, melodi, ritem, dan komposisi musik yang dimainkan, desain dinamik, dramatik, dan harmoni.

3) Untuk teater adalah pemain (aktor dan aktris), pencahayaan, dialok, bloking, kostum dan rias, mimik atau ekspresi, akting, alur cerita yang didesain, terakhir properti dan setting.

4) Untuk seni rupa (non pertunjukan) seperti : jenis cat, jenis kampas, jenis kuas, komposisi ruang, komposisi warna, arah dan dimensi, teknik proyeksi.

b. Aspek Non Tehnis

Dalam aspek non tehnis kita lebih banyak berbicara secara ekstrinsik dari sebuah karya seni. Hal-hal yang bersifat ekstrinsik perlu dipertimbangkan, sebab aspek ini sangat terkait dengan keberhasilan sebuah karya seni. Aspek non tehnis dapat dijabarkan sebagai berikut; pertama adalah aspek pendidikan dan pengetahuan seniman, selanjutnya kondisi di lapangan (seperti adanya insiden dalam sebuah pertunjukan), psikologis, sarana dan prasarana (fasilitas), cerita atau naskah dalam tari dan teater, lingkungan tempat tumbuhnya seorang seniman, latar belakang budaya, waktu (waktu dalam proses), judul dan sinopsis, klasifikasi seni (kontemporer, kreasi, tradisi, modern, post modern, happening art).

Pada persoalan kritik sebagai penilaian dirasa perlu membedah objek kritikan dengan sistematika penilaian. Sistematika sangat efektif dalam menentukan objektifitasnya sebuah penilaian. Di sini sengaja kita bicarakan masalah objektifitas, hal ini lebih disebabkan untuk menghindari kritik yang rekayasa, atau kritik yang bermuara hanya pada rasa senang atau tidak senang pada suatu objek.

Sistematika yang akan dilakukan adalah sistematika analisis (koreksi) dan evaluasi. Kedua sistem ini dapat dilakukan pada semua objek seni. Sebelum melakukan analisis perlu adanya data, data yang diperlukan adalah data tentang objek tersebut yang bersifat non tehnis seperti : ide (gagasan), judul, sinopsis, naskah cerita, tipe karya, bentuk penyajian, abstraksi karya, biodata seniman, konsep garapan, gambaran karya terdahulu, jenis klasifikasi seni (kontemporer, kreasi, natural, tradisi, happening art), seluruh data perlu dipahami.

Dalam melakukan analisis perlu mensingkronisasikan data dengan apa yang dilihat (apa yang disaksikan). Di sini tempatnya seorang kritik, mempertemukan antara aspek teknis dan non teknis. Pertemuan kedua aspek ini pada gilirannya diharapkan menghasilkan evaluasi yang objektif.

Langkah selanjutnya masuk pada tahap apa yang dinamakan dengan evaluasi. Dalam evaluasi sudah ada sebuah pernyataan dan keputusan (kesimpulan) yang akan dilontarkan. Pada frase kedua ini sudah dapat dinyatakan tingkat keberhasilan dan tingkat kegagalan. Di sini juga sudah bisa dilontarkan tentang nilai artistik dan estetik terhadap sebuah objek kritik.

Sebagai hasil evaluasi, perlu adanya argumentasi yang melatar belakangi pernyataan tentang nilai tersebut. Argumentasi didapat setelah melakukan analisis pada frase pertama.

3. KRITIK SEBAGAI INFORMASI

Kritik dapat mempengaruhi masyarakat terhadap perkembangan kesenian. Semakin baik kehidupan sebuah kritik dalam perkembangan kesenian, semakin berkembang pula seni itu dalam masyarakat. Kritik dapat berdampak negatif terhadap kehidupan kesenian dan sebaliknya pula dapat berdampak positif.

Menurut Sal Murgiantoro (1993: 12) mengatakan bahwa :

Menulis kritik tarik bukan hanya menentukan nilai, memberi laporan deskriptif tentang sebuah pergelaran, atau membantu masyarakat untuk memahami bentuk-bentuk seni. Lebih daripada itu semua, menulis kritik seni adalah juga menyampaikan sejumlah pandangan yang bernilai tentang sebuah pergelaran seni dalam bentuk tulisan yang menarik, jujur dan objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ditilik fungsi kritik sebagai informasi besar dampaknya terhadap masyarakat pecinta seni, seniman, kalangan intelektual, dan birokrasi seni. Sudah dirasa perlu kritikus menginformasikan hasil kritikannya secara populer di tengah-tengah masyarakat secara luas, baik masyarakat pendukung seni maupun masyarakat biasa di luar pendukungnya.

Dampak dari kurangnya informasi ini bisa dirasakan oleh kreator seni, seperti : kurangnya minat masyarakat untuk menyaksikan suguhan karya mereka. Tidak lain dikarenakan kurangnya kritikus memberikan penjelasan tentang seni dan karya seni dalam perkembangannya, baik yang aktual maupun yang bersifat tradisi.

Cuma saja dalam menginformasikan perlu dengan kejujuran tanpa merekayasa. Di lain pihak pemilihan redaksi kata harus mempertimbangkan segi sasaran yang dituju oleh kritikus. Seperti berbicara dengan masyarakat umum (general) tentu tidak bisa disamakan dengan orang akademik. Apalagi bila berhadapan dengan seniman, sedang kalangan seniman sendiri ada yang bersifat tradisi dan modern dan yang bersifat otodidak dan akademik.

Informasi dari hasil kritikan seorang kritikus diyakini dapat mempengaruhi imeg masyarakat sebagai penikmat seni. Mereka akan dapat mengetahui perkembangan seni dan senimannya, di samping mengetahui kualitas objek seni. Dari informasi yang diberikan mereka sudah punya wawasan tentang objek seni. Dan ini adalah hal yang sangat penting untuk mereka. Di mana modal dasar dalam berapresiasi adalah wawasan tersebut.

Bagi kalangan birokrasi seni, persoalan informasi dari kritikus sangat mereka butuhkan. Data ini mereka jadikan sebagai dokumentasi tentang perkembangan seni dan permasalahannya. Mereka dipastikan mengkoleksi seniman dan karyanya atas level-level yang sesuai dengan kriteria mereka, yang berdasarkan kepada informasi dari hasil kritikan yang mereka terima.

Sering kita mendengar pembauran istilah kontemporer dengan modern dan modern dengan kreasi dan seterusnya kreasi dengan tradisi. Fenomena ini disebabkan oleh kurang tajamnya penulis kritik menyatakan klasifikasi seni tersebut dalam tulisan mereka. Informasi yang mereka baca dalam berbagai ulasan hasil kritikan seorang kritikus tidak menggiring mereka untuk dapat memahami perbedaan tersebut.

Ketajaman informasi ini terkadang juga dapat disebabkan oleh faktor sumber daya manusianya. Lemahnya pengetahuan tentang objek, menyebabkan informasi simpang siur dan saling bertabrakan. Informasi sangat tergantung kepada pengetahuan tentnag kritik dan objek serta kejelian menganalisa sebuah objek.

4. KRITIK SEBAGAI MOTIVASI

Kritik tidak saja dirasakan hanya mengungkapkan kelemahan atau kegagalan dari sebuah karya seni yang dihasilkan oleh seniman. Betapa kejamnya seorang Mr X mengatakan bahwa karya musik Mr B tidak layak tampil dalam sebuah pertunjukan musik yang mereka gelar pada suatu pusat seni.

Kritik seperti itu lebih merupakan kritik yang mematikan dan tidak mempertimbangkan nilai etika dan psikologis. Hal ini perlu dihindarkan, karena kritik semacam ini tidak zamannya dalam era teknologi sekarang ini. Kritik tersebut lebih cocok dikatakan sebagai kritik yang tradisional.

Kritik harus membangun, seorang kritikus harus dapat menyatakan yang baik dan mana yang buruk. Segi apa buruknya dan segi apa baiknya. Dan dapat mengungkapkan apa penyebabnya. Yang paling terpenting lagi, bisa memberikan solusinya. Karena solusi dalam pemecahan masalah sangat dibutuhkan.

Pada sebagian karya seni terkadang mengalami kegagalan dalam pertunjukan, namun ada hal yang menarik dari karya tersebut untuk diungkapkan sebagai nilai tambah dalam memotivasi senimannya. Persoalannya bisa saja ada terobosan baru yang mereka tampilkan. Terkadang ide dan pola garap mereka sangat menarik.

Sering kita jumpai karya seni yang mulanya diolok-olok, namun pada akhirnya menjadi trend semua seniman. Alangkah baiknya diungkapkan dan dinyatakan kelebihan mereka. Toh mereka adalah sebagai seorang manusia yang mempunyai rasa dan jiwa. Setiap manusia pasti ingin disanjung dan tidak ingin diremehkan atau dicerca.

Sebuah karya seni diyakini mempunyai nilai tambah dan nilai kurang. Dengan kata lain ada positif dan ada negatif. Dengan jalan mengungkapkan sisi positif berarti kita telah memotivasi seniman (kreator seni) untuk berbuat lagi di masa mendatang, karena apa? Karena pada bagian lain kita pasti saja membicarakan kelemahan, ini semua dengan tujuan agar objek seni tersebut lebih berkualitas pada masa selanjutnya.

Dalam memotivasi bukan berarti merekayasa, namun di sini lebih menelaah sisi kuat dari karya seni tersebut. Teknis penyampaian hasil kritikan sangat dibutuhkan. Di sini perlu penganalisaan yang tajam tentang sisi kuat dair sebuah objek seni. Kalau berbicara sisi lemah sudah hal yang biasa dalam dunia kritik. Karena pada mulanya kritik timbul dari sebuah aksi negatif yang dilakukan oleh suatu objek tertentu.

5. KRITIK SEBAGAI TOLAK UKUR (KACA PERBANDINGAN/ INTRO-SPEKSI)

Kritik di satu sisi diibaratkan sebuah kaca, kaca tempat bercermin diri, kaca tempat melihat segi-segi tertentu yang ada pada tubuh manusia. Hitamkah, putih atau biru warna hidungnya, perlu melakukan pengacaan agar dapat mengenal diri lebih jauh dan terperinci.

Dalam perkembangan seni modern kehadiran kritik sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh peradaban manusia yang semakin maju dan terus berkembang. Dengan peradaban yang terus berkembang secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi percaturan dan perkembangan kesenian di abad teknologi.

Dengan munculnya pertunjukan kesenian yang multikultural maupun multi interdisiplinner, secara jelas telah memperlihatkan, begitu dahsyatnya perkembangan kesenian tahun ke tahun. Perkembangan ini perlu pula dibarengi dengan perkembangan kritik sebagai mitra dari berbagai objek seni.

Pentingnya kritik sebagai kontrol atau kaca perbandingan dalam berkesenian lain dan tidak bukan, agar jangan karya dan senimannya tertinggal dengan informasi dan pengetahun yang sedang berjalan. Perlu dia mengukur sejauh mana kemampuannya dan apa yang telah ia perbuat, apakah mendahului zamannya atau malah surut ke belakang. Sejauh mana ia sanggup menerapkan kemampuan dan pengetahuannya terhadap karyanya, atau sejauh mana ia dapat menyerap pengetahuan yang diterima-nya.

Untuk itu berarti kita harus jujur, seorang kritikus harus jujur dalam melancarkan kritikannya terhadap objek seni yang dihadapinya. Karena sebagai kaca perbandingan ata tolak ukur untuk karya selanjutnya. Berarti hasil kritikan harus memuat hal-hal yang sangat komprehensif, ini disebabkan agar segala data tentang objek seni tersebut baik secara intrinsik maupun ektrinsik, diberikan kepada kreator objek seni tersebut.

Hasil yang diberikan perlu dilengkapi dengan argumentasi dan pemecahan masalah yang relevan dan tepat guna. Kekuatan argumentasi sangat mendukung objek kritikan untuk memahami dan mengetahui segala kelebihan dan kelemahan yang dilakukan objek tersebut.

6. PENUTUP

Imajinasi masyarakat adalah sebuah penilaian, di mana penilaian yang diungkapkan adlah penilaian yang konotasinya negatif. Segala aksi yang timbul dari suatu objek yang bersifat negatif selalu mendapat tudingan, cercaan, dakwaan dan pemojokan yang mematikan.

Sebetulnya dalam perkembangan kesenian di era teknologi sekarang ini, persoalan yang semacam ini tidak lagi menjadi fokus utama, karena perubahan peradaban manusia, kesenian dan pendukungnya pun ikut berubah pula. Dengan demikian kritik seni seperti itu lebih dikategorikan kepada kritik yang tradisional.

Perlu rasanya kritik seni lebih dimasyarakatkan, agar seniman dan masyarakat pendukungnya dapat mengetahui segala perkembangan, perubahan dan permasalahan seni dan senimannya. Untuk itu perlu berbagai pandangan terhadap kritik seni.

Kritik bukan saja sebagai penilaian apakah bagus dan tidak bagus. Kritik dapat dikategorikan ke dalam berbagai fungsi. Sebagaimana pertama sudah diketahui bahwa fungsinya adalah sebagai penilaian atas nilai seni, kedua sebagai informasi, karena hasil kritikan perlu diinformasikan ke segala lapisan. Selanjutnya sebagai motivasi. Objek kritikan perlu dimotivasi agar jangan tunas-tunas muda sebagai aset kesenian mati begitu saja.

Karena sudah sama-sama diketahui tidak seluruh dari objek tersebut mempunyai kelemahan. Terakhir jadikanlah hasil evaluasi tersebut sebagai tolok ukur untuk langkah mereka selanjutnya. Jadikanlah sebagai kontrol kreativitas yang sangat objektif bukan hal yang rekayasa. ***

DAFTAR PUSTAKA

Hardjana, Andoe. 1991. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.

Kwant, E.C. 1975. Manusia dan Kritik (Men En Kritiek). Di Indonesiakan oleh A. Soedarminto. Yogyakarta: Kanisius.

Murgianto, Sal. 1993. Ketika Cahaya Merah Memudar. Jakarta: CV. Deviri Ganan.

_________. 1993. Seniman Tradisi Belum Siap Kritik. Dalam Jurnal MSPI, July 1993: 12-16.

Satoto, Soediro. 1992. Teater dan Film Sebuah Kritik. Dalam Jurnal Seni ISI, No. II/04 Oktober 1992: 13-18.

Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Read More......


Read More......

"MENCARI IDENTITAS DALAM MISKINNYA PRODUKTIVITAS"


PENTAS SENI III DKSB

Oleh : Drs. Indra Yuda, M.Pd

Dalam Pekan Seni III, tanggal 26 – 31 Oktober 2002, DKSB menggelar berbagai pementasan karya seni pertunjukan seperti tari, teater, maupun musik. Seniman yang berpartisipasi dalam event tersebut sebagian besar berasal dari Sumatera Barat, sedangkan seniman luar Sumbar yang diundang adalah kelompok musik dari Yogyakarta dengan komposer Pincuk, serta Faisal Amri seniman tari asal Sumbar yang saat ini berdomisili di Pulau Batam.

Di samping kegiatan pementasan DKSB juga menggelar seminar dan lokakarya yang terlaksana atas kerjasama DKSB dengan masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Dalam tulisan ini penulis tidak akan membicarakan tentang seminar maupun teater dan musik dengan komposernya, akan tetapi dalam kesempatan ini penulis akan membicarakan soal tari dan koreografernya dengan segala persoalan yang ada.

Dengan mengamati dari delapan repertoar tari selama sepekan, secara umum yang dikagumi dari koreografer kita di Sumbar saat ini adalah semangat mereka. Kita perlu mengacungkan jempol kepada koreografer-koreografer kita tersebut, lebih-lebih yang dianggap sudah mapan seperti Ibu Syofiani dan Ibu Zuriati Zubir. Memang sepertinya kegiatan Pentas Tari kali ini secara tidak sengaja menampilkan potret dari ibu-ibu (Bundo Kanduang), karena lima dari delapan koreografer adalah wanita.

Dengan tidak merasa risih koreografer Syofiani Yusaf tetap komit dengan prinsip berkeseniannya di tengah hiruk pikuknya nuansa kontemporer. Begitu juga Zuriati Zubir menganggap usia bukanlah halangan untuk berkreativitas.

Sedangkan menengok profil koreografer lainnya, rata-rata mereka masih muda dan memiliki intensitas yang tinggi terhadap dunia tari. Seperti halnya judul dari tulisan kali ini adalah "Mencari Identitas dalam Miskinnya Produktivitas". Titel ini sengaja penulis pilih mengingat realitas yang tampak dalam berbagai karya koreografi dalam event tersebut.

Pertunjukan tari pada hari pertama menampilkan koreografer Angga Djamar, Ninon Syofia, Zuriati Zubir, dan Syofiani Yusaf. Angga Djamar seorang koreografer muda debutan Nan Jombang Group menampilkan karya dengan titel The hope becomes a dream. Secara teknis Angga Djamar cukup menguasai suasana penonton. Karya Angga memang berangkat dari sebuah teknik yang mapan dan sangat akrab dengan Angga sendiri. Dalam menguasai performance Angga cukup berhasil, karena disain dramatik yang dibangun sesuai dengan tipe maupun bentuk penyajian dan tarian berjalan dengan kesan tidak terputus secara emosional. Akan tetapi dari segi koreografi, Angga belum sepenuhnya berhasil ini disebabkan persoalan-persoalan yang diinginkan Angga tidak muncul di atas panggung.

Namun ada yang disayangkan, dengan motivasi yang sangat bagus Angga belum memiliki identias bahkan karya Angga tidak produktif. Ada kesan karya Angga merupakan sebuah potongan set dari gurunya Ery Mefri. Kita perlu menanti identitas Angga pada masa datang.

Seperti halnya Angga, Zuriati Zubir juga terjebak dengan kemampuan teknis penari utamanya Joni Andra dan Deslenda. Melihat set yang ditampilkan Zuriati angan saya melayang jauh, seakan-akan sayapun ikut menari, namun sayang Zuriati sepertinya bimbang dengan konsepnya. Keinginan untuk membawa teori Doris Humprey sangat kuat, hal hasil Zuriati menyelipkan juga konfigurasi-konfigurasi konvensional.

Dengan kekuatan Deslenda dan Joni Andra diramu dengan penari yang diset dengan skematis konvensional, Zuriati sepertinya kehilangan identitasnya selama ini. Zuriati termasuk pencetus vocabulary gerak stakato dengan sangat mengutamakan karakteristik Minangkabau dan persoalan ke Minangkabauan, namun dalam karya tari ini Zuriati seperti tidak setia dengan dirinya. Namun ada yang dipujikan pada Zuriati ia masih produktif di masa tua.

Ninon Syofia masih terikat dengan pola almamaternya dalam mendisain tari dramatik bercerita. Pola yang sering dimainkan oleh STSI Surakarta kemudian melintas ke STSI Padang Panjang, ternyata menjadi identitas bagi seniman tari STSI Padang Panjang. Sebut saja Zulkifli dan Syaiful Herman dalam "Kau dan Aku". Antara Syaiful dan Ninon sangat dekat sekali begitu juga dengan Susarita Lora. Namun sebagai seniman Ninon masih produktif, akan tetapi Ninon perlu keluar dari kungkungan tradisi STSI agar Ninon bisa bicara dengan dirinya sendiri.

Bercerita tentang kesetiaan dan identitas adalah Syofiani orangnya. Syofiani tidak merasa canggung dengan menampilkan karya tari kreasi yang monumental. Karya tersebut sebetulnya kurang sesuai dengan tema kegiatan yang bertajuk "spirit tradisi dalam seni pertunjukkan kontemporer". Sedangkan dalam karya Syofiani tidak ada identitas kontemporer, karya Syofiani adalah karya tari monumental. Akan tetapi sebagai insan tari kita pantas hormat kepada beliau, di mana karena beliau kita bisa ada seperti ini.

Syofiani adalah sebuah identitas lain dari percaturan tari Sumatera Barat, seperti kata Asril, S. Kar, M.Hum., kita bernostalgia dengan tampilnya karya Syofiani. Di sisi lain kita berharap ada peningkatan produktivitas dari Syofiani, ternyata yang tampil tetap muka lama. Namun kita berharap Ibu Syofiani tetap berproduksi di usia senjanya.

Tampilan hari kedua untuk tari menampilkan koreografer Filhamzah dari Indojati Group dan Lesmandri dari Group Limpapeh Batusangkar. Lesmandri adalah salah satu orang kepercayaan legendaris Gusmiati Suid. Saking percayanya Gusmiati kepada Lesmandri itu terlihat dalam karyanya. Les masih seperti halnya Angga Djamar. Identias Gusmiati sangat begitu kuat dalam karya Lesmandri, walaupun dibantu oleh Nurul, Les belum bisa lepas dari bayang-bayang Buk Yet. Baik dari segi koreografi maupun dari teknik Lesmandri merupakan reinkarnasi dari Buk Yet, walaupun tidak sedasyat Buk Yet. Dari segi produktivitas Les juga tidak produktif, karya dengan judul Si Upik sudah tidak aktual, sudah berusia lima tahun.

Filhamzah sendiri walaupun agak produktif tapi tidak ada memiliki sikap yang tegas dalam berkarya. Apakah mau jalur tari kreasi atau jalur serius (kontemporer). Filhamzah terkadang agak labil, dan sering terbawa arus trend koreografer lain. Masalah identitas adalah masalah yang urgen bagi Filhamzah. Di samping itu Filhamzah harus banyak bereksplorasi terhadap pencarian identitas, mumpung masih muda. Akan tetapi Filhamzah mempunyai spirit yang kuat terhadap ke Minangkabauan, tinggal bagaimana menyusun koreografi yang pas sesuai dengan identitasnya.

Deslenda yang tergolong agak berpengalaman dari panggung kontemporer tampil di hari terakhir. Deslenda mengusung karya yang juga bukan baru, karya tersebut sudah lebih dari tiga event ditampilkan, termasuk terakhir di IDF 2002. Kita berharap dengan usia yang masih muda Len agak produktif, namun kenyataan lain yang kita saksikan. Deslenda begitu juga Faisal kuat dengan teknik, namun untuk menyusun sebuah koreografi Len terkendala dengan memilih simbol-simbol yang akan dikomposisikan.

Dengan arti kata ada kesan dialog yang dilakukan Len adalah suatu penjelasan dari isi cerita tarinya. Akhirnya Deslenda tidak berbicara apa-apa dengan simbol tarinya. Padahal gagasannya bagus dan aktual, namun dalam menggarapan koreografi ada kesan tidak menyambungnya antara simbol dan pemaknaan simbol. Pada bagian lain kita berharap agar Deslenda dapat menjadi dirinya seutuhnya dengan mencopot atribut Gusmiati, karena Len sendiri pernah dekat dengan Buk Yet. Kita salut pada Deslenda dalam keadaan duka ia tetap kokoh dan terus berkarya dan berkesenian.

Karya yang terakhir penulis ulas adalah buah karya Faisal Amri. Sebagai orang muda yang optimistis Faisal pantas diberi bimbingan, kebetulan Faisal pernah menjadi salah seorang mahasiswa penulis di FBSS, UNP. Faisal Amri sangat kuat dengan artistik dan kaya dengan vocab tradisinya sama halnya dengan Filhamzah. Hanya saja Faisal lemah dengan gagasan. Lihat saja tarinya yang bertajuk perempuan, yang hanya melihat perempuan dari aksen saja.

Dari segi teknik Faisal tak ubah Lesmandri dan Deslenda ketiga orang ini memiliki identias yang sama, karena memang berakar pada muara yang sama. Faisal juga akhir-akhir ini kurang produktif. Tapi dia selalu membuat kita berdecak kagum dengan permainan ruangnya, tak ubah seperti karya entertaiment.

Semoga saja kita menemukan identitas yang jelas dari para koreografer kita dan di samping itu selalu tetap eksis dan produktif walaupun di usia senja. Karena kita kaya dengan sumber material maupun karya dengan talenta-talenta koreografer kita. Ini harapan kita bersama.***

*Penulis adalah Dosen FBSS UNP, Pengamat Sosial Budaya dan Koreografer*

Read More......

ORIENTASI SPIRIT TRADISI DALAM KARYA TARI KONTEMPORER PADA PEMBELAJARAN KOREOGRAFI TARI




Oleh Indra Yudha

ABSTRAK

Dewasa ini perkembangan dan pendidikan tari tidak saja sebatas estetika dan artistik, akan tetapi tari telah jauh melangkah seiring dengan terjadinya perubahan sosial budaya dan pertumbuhan ekonomi yang semakin melaju, apalagi perkembangan sains dan teknologi ikut menyeret perubahan dalam ilmu dan pengetahuan tari. Dewasa ini dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademik, pola garapan dalam koreografi tari tidak saja sebatas konvensional yang hanya sekedar penataan gerak demi gerak, tetapi tari juga merupakan media kritik maupun media ekspresif dari senimannya. Tari saat ini bukan saja menjadi milik komunitas tertentu (tradisi) akan tetapi tari merupakan milik individual. Dunia tari yang bersifat individual tersebut dikenal dengan tari kontemporer. Ada kecenderungan di Indonesia dewasa ini, walaupun tari tersebut berbentuk pola garap kontemporer, akan tetapi dia tidak terlepas dah idiom atau spirit tradisi yang dimiliki oleh koreografi. Fenomena ini menjadi trend baru dalam pengetahuan dan pembelajaran koreografi, dalam konteks karya tari kontemporer Indonesia, yang dikembangkan oleh akademisi seni.

Kata Kunci : Tari Kontemporer, Spirit Tradisi dan Pola Garap.

I. Pendahuluan

Perkembangan pengetahuan dan pembelajaran koreografi pada pendidikan seni, maupun oleh seniman pelaku dewasa ini, seringkali membuat orang jadi tercengang‑cengang, takjub, bahkan ada yang tak mampu lagi menangkap spiritnya. Perubahan demi perubahan akan nampak jelas kalau menyimak pada lima puluh tahun yang lalu, seratus tahun yang lalu atau masa yang lebih lama lagi. Kelangsungan sebuah kesenian berjalan seperti mengiring jenasah seorang raja, semuanya tunduk dan kenikmatan pun dijaga (Juprianto, 2000:20).

Pada waktu yang lampau, bukan berarti kebudayaan itu tidak berkembang, hanya saja perubahannya tidak begitu terasa mengejutkan. ­Gejolak perasaan (batin) dan tingkah laku manusia terkungkung (imanensi) oleh berbagai sistem dalam kehidupan yang merupakan benteng untuk mempertahankan keselarasan dan keseimbangan kosmos. Dalam kehidupan yang dikembangkan bukan bentuk ujud laku (kegiatan) atau bentuk fisik, tetapi eksistensinya yang selalu dimantapkan. Hakikat perubahan adalah evolusi dan bukan revolusi. Hal ini yang terjadi dewasa ini pada pengetahuan koreografi yang dilakukan dalam dunia pendidikan tari.

Akan tetapi pada kenyataannya, kesenian tidak pernah berhenti atau mandhek, tetapi selalu tunduk pada suatu gerakan (perubahan); yang lama akan hilang atau berubah untuk diganti dengan yang baru. Setiap perubahan kebudayaan (kesenian) memiliki hidup dan spirit yang memberi arti atau makna kepada manusia, dengan menempatkan kedudukannya dalam kosmos dan dengan menegaskan fungsinya dalam hubungannya dengan hidup itu sendiri. Adanya berbagai gejolak perubahan yang terjadi itu kesenianpun nampak pertumbuhan yang begitu pesat dalam budaya temporer (Eru,1992,73).

Perubahan dalam dunia pendidikan seni, seperti halnya seni tari adalah wajar. Karena usaha itu merupakan suatu bukti adanya semangat untuk membentuk atau mencipta, dengan mencipta berarti melakukan suatu perubahan,hanya saja dalam berbagai perubahan selalu memunculkan gaya dan warna yang mengiringi perubahan tersebut, hal ini mungkin terlihat pada pola garap, trend, teknik dan gagasan yang menembus batas‑batas geografis dan kultural. Fenomena tersebut terlihat aktual dalam pembelajaran koreografi yang dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi seni dewasa ini.

Kehadiran sebuah perubahan dalam seni tari berarti menunjukan suatu penawaran nilai, baik teknik ataupun nilai estetik. Penawaran nilai itu senantiasa diikuti oleh adanya sebuah kehadiran "ujud bentuk” (form and structure). Bentuk-bentuk yang hadir tidak selamanya sama atau serupa dengan yang lama atau pernah ada, tetapi bisa jadi hadir sangat spektakuler dan bersifat menantang.

Kehadiran bentuk dan nilai yang ditawarkan ilmuwan tari serta seniman pelakunya pada setiap waktu, senantiasa disemangati oleh zamannya. Artinya ide serta gagasan merupakan suatu reaksi terhadap sesuatu yang menyentuh perasaan, dengan segenap sensitifitas (kepekaan) dan kreativitasnya dalam melontarkan tanggapan. Hal ini ditegaskan oleh Lois Elfeldt dalam bukunya : A Primer for Choreographers bahwa kehadiran sebuah karya tari adalah suatu ungkapan, sebuah pernyataan, dan sebagai ekspresi dalam gerak yang memuat komentar-komentar terhadap realitas, dimana image-image gerak yang hadir membuat manusia lebih sensitif terhadap realitas (Andra, 1994:80)

Menyimak hal tersebut ternyata setiap kehadiran tari selalu membawa realitasnya sendiri. Pada setiap zaman, bahwa pada sebuah daerah selalu membentuk realitas sesuai dengan kondisi dan situasi. Misalnya sebuah desa mempunyai perbedaan‑perbedaan realitas yang esensial dengan kota. Sementara kota kecil akan berbeda realitasnya dengan kota besar (metropolitan). Sudah barang tentu pernyataan‑pernyataan kinetik dari seniman yang berada di daerah‑daerah yang satu dengan yang lain akan mempunyai atau membawa perbedaan ungkap, pernyataan atau ekspresi dalam menanggapi realita lingkungannya.

Perbedaan berdasarkan tempat atau ruang itu merupakan ungkapan yang didasarkan atas tanggapan dari kondisi geografis atau dibentuk oleh sifat etnisnya. Di sisi lain perbedaan ungkap yang ditimbulkan atau perbedaan masa atau waktu adalah hasil respon terhadap realitas sosial.

Realitas sosial memiliki berbagai spirit dan nilai‑nilai kultural, yang bagaimanapun perubahan terjadi melingkupi kebudayaan tersebut, namun wawasan kultural dan spirit kultural akan selalu hadir dalam bentuk karya manusia tersebut. Secara faktual, apalagi dewasa ini kesenian yang dilahirkan oleh seniman lulusan akademik berorientasi pada siklus nilai‑nilai tradisi.

Trend spirit tradisi dalam dunia seni temporer dewasa ini menjadi konsep siklus dan orientasi pola garap dalam suatu perubahan budaya. Bagaimanapun seorang seniman tidak bisa begitu saja ditarik dari akar budaya yang melingkupinya, dimana budaya tersebut selama ini telah memberi inspirasi dan kekayaan estetis kepadanya, untuk itu pantas rasanya sebuah seni kontemporer memiliki spirit tradisi dari yang selama ini menaungi kehadiran kreator tersebut.

Fenomena tersebut akhir‑akhir ini yang dikembangkan oleh sebagian pengajar koreografi di perguruan tinggi seni, para pengajar koreografi mencoba kembali merevitalisasi seni tari tradisi sebagai orientasi pola garap dalam penciptaan karya tari kontemporer.

II. Pengertian Seni Kontemporer

Seni kontemporer merupakan sebuah klasifikasi tentang seni yang lebih bersifat pada bentuk, ruang dan waktu serta didorong oleh selera yang sangat individual, baik bagi komunitas penonton maupun seniman kreator sendiri. Seni kontemporer selalu bergerak seirama dengan perkembangan waktu, seni kontemporer juga membebaskan dirinya dari ruang tertentu dan masuk kepada ruang lain yang dianggap relevan oleh pribadi senimannya.

Dalam konsep seni kontemporer, sebuah karya tidak terikat oleh sebuah aturan yang baku dan kaku. Misal saja seorang seniman Batak yang melahirkan sebuah karya tari, tidak harus terpaku dengan aturan‑aturan yang berlaku dalam tarian Batak. Ia bebas mengembara, sesuai bentuk apa yang ingin diminati oleh koreografer tersebut (Wijaya, 1998:25).

Dalam dunia kontemporer juga tidak terikat dengan seniman yang universal, seperti halnya balet, ia juga bebas melepaskan kaidah‑kaidah disiplin tari balet, apabila memang bentuk tersebut mempunyai arti baginya. Artinya dalam masalah bentuk, seni kontemporer ataupun tari kontemporer sangat kaya akan pilihan, dan ia tidak terikat akan satu bentuk pijakan, maupun patron‑patron yang baku. Malah sebuah tari kontemporer cenderung melahirkan bentuk lintas budaya atau intercultural (Yuda, 2001:14)

Di samping itu, tari atau seni kontemporer selatu bersifat aktual. Artinya persoalan atau gagasan yang dituangkan dalam tari kontemporer selalu baru atau kekinian, baik cerita, bentuk maupun pola garap dari sebuah koreografi. Tari kontemporer di samping aktual juga bersifat kontekstual. Persoalan yang selalu diusung oleh koreografer pada dasarnya bersifat humanitis atau selalu berkisar tentang kehidupan kekinian. Hal‑hal yang disorot terdorong oleh persoalan kemanusiaan. Seorang koreografer yang berhasil adalah seorang yang dapat mengikuti zamannya, dan arif dengan persoalan atau fenomena‑fenomena yang terjadi di sekitarnya.

Sering koreografer kontemporer berbicara masalah sosial, politik maupun budaya ataupun nilai‑nilai yang telah mengalami degradasi dalam kehidupan masyarakat. Seorang koreografer kontemporer di samping kreator ia sebaiknya juga seorang kritikus terhadap persoalan nilai‑nilai yang berkembang di sekitarnya.

Tari kontemporer bukanlah sebuah karya tari yang bersifat wester­nisasi, dalam artian harus berorientasi dalam bentuknya (form) ke dunia barat. Tari kontemporer tidak perlu berorientasi ke dunia barat, karena kebanyakan di dunia timur telah tersedia berbagai bentuk vocabulary yang dapat menjadi sumber garapan. Tari kontemporer bukan tari modern yang berarti barat, tetapi modern dalam artian pola garap, bentuk dan cerita yang dapat diambd dari tempat mana saja, termasuk daerah asal koreografer itu sendiri, maupun secara bentuk dia berangkat dari etnik dia, namun ceritanya bisa saja dalam bentuk universal. (Andra,199425)

Tari kontemporer, adalah suatu ideologi inovasi yang dapat menyuara­kan pembebasan individual dalam berkreativitas. la tidak dapat lagi dikung­kung oleh segala patron tradisi, maupun patron‑patron westernisasi, akan tetapi ia terlahir dari suatu perenungan yang aktual sesuai kondisi yang melingkupinya. Berbicara masalah kontemporer kita tidak lagi berbicara masalah geografi, maupun etnik, kita tidak bagi berbicara masalah kultur tertentu atau negara, yang ada adalah karya seorang individu yang aktual, konseptual sesuai dengan zamannya dan berbicara masalah lingkungan sekitarnya, yang sifatnya juga sesaat, terus bergulir lagi dalam bentuk inovasi lagi (Yuda, 2001: 23).

III. Spirit Tradisi dalam Tari Kontemporer

Perubahan yang terjadi dalam dunia tari seiring dengan pergolakan dunia yang mengglobal. Pergolakan dunia yang global, membuat segala informasi dan aktivitas kehidupan menjadi seirama diberbagai belahan dunia. Dengan begitu dunia taripun terseret ke dalam koridor globalisasi yang merupakan sebuah ideologi penyeragaman sosial dan politik yang berimbas juga pada berbagai segmen budaya.

Pergolakan budaya dewasa ini begitu mengalir ke berbagai sektor kehidupan, seperti bahasa, ekonomi, teknologi, gaya hidup dan kesenian yang bergejolak begitu deras. Tari tidak lagi sebatas bergoyang atau berjoget, tidak lagi sebatas menyuguhkan teknik gerak yang artistik dan dinamik, tari tidak lagi sebagai hobi atau hanya berfungsi sebagai upacara tradisi dalam suatu masyarakat tertentu, namun tari telah merasuk ke dalam sistem kehidupan manusia yang kompleks.

Pada era kehidupan yang kompleks sekarang, tari sudah berada pada level tertentu dalam ruang lingkup sosial budaya. Pada ruang politik tari sudah berperan dalam performing arts. Sebagai performing arts, tari dapat saja memobilisasi masa dalam bentuk konteks apapun Tari pada level ini, berusaha menjangkau segment intelektual manusia dalam bentuk pemaparan kritik terhadap persoalan sosial, yang terjadi disekitar kehidupan dunia tari tersebut.

Secara bentuk, tari dewasa ini cenderung ingin kembali pada penjelajahan nilai‑nilai tradisi lama. Kembali ketradisi lama bukan dalam artian kembali kebelekang pada persolan tradisi yang sangat berorientasi pada pola garap seadanya. Tetapi kecenderungan tersebut terletak pada pemanfaatan idiom tradisi untuk digarap dengan pola garap yang baru. Pola garap yang baru tersebut dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademis, dapat memberikan kebebasan bagi mahasiswa maupun seniman akademik untuk merefleksikan berbagai gagasannya, baik dalam bentuk isi maupun ornamen yang terdapat dalam karya tari kontemporer mereka.

Nuansa tradisi sering muncul dalam karya tari kontemporer yang diciptakan oleh mahasiswa dalam pembelajaran koreografi di lingkungan akademik, akan tetapi secara nilai atau esensi dari karya tersebut tidak lagi membicarakan masalah sosial dalam kehidupan tradisi dari suatu masyarakat tertentu. Malah terkadang inti persoalan atau cerita dari tari tersebut sama sekali tidak menyinggung konteks tradisi, yang ada hanya dorongan untuk pemanfaatan vocabulary tradisi sebagai sumber garapan. Hal inilah yang semakin memperkaya nilai artistik dunia tari kontemporer Indonesia masa kini, yang diproduksi berdasarkan eksplorasi dunia akademis melalui evoiusi dan inovasi dalam pembelajaran koreografi tari.

Akan tetapi lebih unik dan menarik dari pergolakan tari kontemporer tersebut dilakukan oleh para pakar di dunia barat. Dewasa ini tokoh dan seniman tari di dunia barat semakin menjelajahi nuansa ketimuran. Terjadi apa yang disebut siklus, yakni kembali ke bawah, artinya kembali ke tradisi, yang seiring disebut post modernisme.

Dalam bentuk tampilan seni tari kontemporer yang menggejala di Indonesia selalu saja spirit atau roh tradisi ini muncul. Hal tersebut dinakhodai oleh Sardono W. Kusumo dan Bagong Kusudiarjo serta Gusmiati Suid hingga generasi muda sekarang ini. Dari berbagai event festival dan pagelaran, roh dan nuansa tradisi selalu muncul dalam berbagai bentuk tampilan baru.

Seiring kalangan seniman tari lupa bahwa seni tari kontemporer bukanlah seni adopsi dari bentuk tari modem yang ada di dunia barat. Yang ada adalah pola garap yang baru tentang khasanah tari tradisi yang lebih bebas menjelajah dan berimprovisasi serta berkolaborasi dengan berbagai segmen.

Modern bukanlah bertumpu dengan menyalin bentuk budaya barat, tetapi berpikir secara intelektualitas tentang pembaharuan pada budaya sendiri. Tari kontemporer di Indonesia sangat kaya dengan corak dan warna. Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke memiliki sumber garapan untuk bejuta‑juta karya tari kontemporer pada masa kini dan masa datang.

Tari kontemporer membebaskan koreografernya dari tempat berpijak, sejauh ia memiliki wacana atau wawasan vocabulary tentang bentuk tersebut. Malah sebuah karya tari kontemporer yang saya saksikan dalam gelanggang tari Sumatera 2003 di Padang terasa lucu dan hambar, yang ditampilkan oleh seorang koreografer muda dari Bandung. la mencoba menjelajahi nuansa barat dengan konteks cerita Sangkuriang, padahal kekuatan teknik yang ia miliki sama sekali tidak menguasai teknik tari barat tersebut. Akhirnya tariannya terasa agak lucu, karena teknik dan rasa (ekspresi gerak) tidak bisa dia adopsi sedemikian rupa seperti orang barat menari. Padahal ia akan lebih berhasil seandainya ia memperbaharui tradisinya sebagai spirit yang ia kembangkan dengan ornamen baru. Di sini yang saya katakan sejauh koreografer menguasai bentuk dan nuansa ekspresi gerak, dari mana dia berangkat mesti sesuai selera dan keinginannya serta relevan dengan konsep garapannya.

Lebih menarik adalah karya tari Gorga koreografer Iskandar dari Medan dan Alfiandri serta Hasminda Fitri, yang keseluruhannya membawa spirit tradisi, baik dalam bentuk maupun isi. Spirit tradisi bukan berarti memindahkan bentuk asli ke dalam teks tari atau tampilan karya tari, akan tetapi masalah tradisi tersebut menjadi acuan yang akan diolah atau digarap dalam karya tari kontemporer selanjutnya. Persoalan tradisi tersebut dijadikan bahan eksplorasi dan eksploitasi dalam karya kontemporer. Pada gilirannya seni tradisi tersebut menjadi baru dalam koridor kontemporer, yang lebih bersifat individual. Artinya bersandar pada komunitas untuk melahirkan gagasan pribadi yang akan dikembalikan ke komunitasnya.

Banyak koreografer kontemporer di dunia barat yang memiliki spirit tradisi, sebut saja Isadora Duncan, Martha Graham, Fina Baus dan Eliza Monte. Koreografer kondang ini menjelajahi fenomena tradisi sebagai roh karya tari kontemporer. Apalagi di Indonesia banyak sekali kita jumpai koreografer senior yang mengambil spirit tradisi. Malah trend spirit tradisi menjadi milik dunia tari kontemporer Indonesia masa kini.

Dunia kontemporer dewasa ini menjadi kajian daiam ideologi berbagai cabang seni seperti halnya seni tari, dimana pengetahuan koreografi sangat merespon konsep‑konsep kontemporer dalam pola garap maupun teknik gerak. Aktifitas ini menjadi trend bagi dosen‑dosen tari (pengajar) pada perguruan tinggi seni di Indonesia dan di berbagai belahan dunia.

Dunia akademik seni pada masa kini merupakan pelopor dalam berbagai inovasi konsep tari kontemporer. Realita ini disebabkan karena dunia akademik memiliki laboratorium dan studio yang refresentatif untuk melakukan berbagai eksplorasi dan eksperimen, yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa melalui berbagai penelitian dan pengkajian secara ilmiah, dalam ruang dan waktu yang berkesinambungan dan konsisten. Sehingga perguruan tinggi seni merupakan suatu barometer dan peletak pondasi bagi tumbuh dan berkembengnya tari kontemporer masa kini di Indonesia.

IV. Penutup

Tari Kontemporer bukanlah tari yang bersifat komunal, akan tetapi tari yang bersifat individual. Tari yang bersifat kontemporer membebaskan koreografer untuk berkreafivitas menjelajahi ruang dan waktu, yang tidak terikat dengan suatu bentuk tertentu yang telah baku. Tari kontemporer adatari sebuah karya tari kontekstual dan juga aktual dan bersifat temporer untuk berganti lagi dengan bentuk yang lebih baru lagi.

Tari kontemporer bukanlah harus tunduk dan berbentuk budaya barat, tapi ia bebas sesuai kemampuan wacana dan wawasan koreografer. Ia dapat saja bersumber pada satu atau lebih tradisi yang ada kemudian berakulturasi. Sebuah tari kontemporer yang baik alangkah baiknya bersumber kepada kemampuan koreografer menangkap gejolak dan budaya lingkungan yang lebih diakrabinya.

Trend tari kontemporer Indonesia dewasa ini adalah mengangkat spirit tradisi. Banyak koreografer senior dan generasi muda Indonesia dalam berbagai festival dan pergelaran bertumpu dari tradisi. Sumber‑sumber garapan tradisi tidak akan habis‑habisnya untuk berjuta‑juta karya tari untuk kini dan akan datang.

Ada sebagian koreografer menganggap bahwa tari kontemporer adalah milik dunia barat, jadi setiap bentuk tarian tersebut harus ada gerak tari barat di dalamnya. Ini adalah pemikiran yang keliru terhadap tari kontemporer. Tari kontemporer tidak terikat dengan bentuk dasar tari barat, kalaupun ia ada dalam sebuah karya tari itupun sah‑sah saja. Namun bukan harus seperti pemikiran tersebut di atas.

Tari kontemporer lebih dsebabkan oleh inovasi yang dilahirkan oleh koreografer dari dirinya sendiri, sesuai pengalaman batin yang diajarinya. Tari kontemporer memiliki warna gaya serta teknik tersendiri menurut individu-individu koreografernya.. Dalam tari kontemporer, kita berbicara masalah kepribadian koreografernya, baik tentang ilmu pengetahuan, intelektualitas, estetis dan etis serta logisnya.

Dewasa ini perkembangan dunia tari kontemporer bukan saja mengisi ruang‑ruang festival pada level tertentu saja, namun dunia tari kontemporer secara pedahan sudah mulai digandrungi pada kalangan generasi muda. Sebab itu tari kontemporer tidak lagi milik komunitas tertentu saja, seperti hainya seniman. Pada berbagai gedung pertunjukan di Indonesia seperti Gedung Kesenian Jakarta, Taman Budaya Yogyakarta, STSI Surakarta, Taman Budaya Padang dan Art Centre Denpasar, namun tari kontemporer sudah menjadi komoditi pada. kalangan masyarakat menengah ke atas.

Tari kontemporer selalu saja membawa perubahan dan fenomena baru dalam setiap kemunculannya di atas panggung. Dia selalu tampil dalam bentuk kemasan dan garapan baru, apalagi tari kontemporer dengan namanya kontemporer yang selalu berubah dalam berbagai segi pada setiap konser yang digelar oleh senimannya. Tari kontemporer merupakan media ekspresi bagi seniman untuk menjembatani masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan birokrat dan komunitas lainnya.***

DAFTAR PUSTAKA

Andra, Joni. 1994. Tari Kontemporer dan Tradisi Minangkabau. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta

Eru, P. Wismayanti. 1992. Golek Menak dan Transformasi Budaya. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta

Jupianto. 2000. Tari Masa Kini dan Perubahan Sosial. Padang : Taraju.

Wijaya, Putu. 1998. “Fenomena Kontemporer”. Jurnal Seni ISI : Vol IV. ISI Yogyakarta

Yuda, Indra. 2001. Tari dan Permasalahannya Dalam Perubahan Sosia Budaya. Padang : PPS UNP

Read More......