Senin, 13 Agustus 2007

"MENCARI IDENTITAS DALAM MISKINNYA PRODUKTIVITAS"


PENTAS SENI III DKSB

Oleh : Drs. Indra Yuda, M.Pd

Dalam Pekan Seni III, tanggal 26 – 31 Oktober 2002, DKSB menggelar berbagai pementasan karya seni pertunjukan seperti tari, teater, maupun musik. Seniman yang berpartisipasi dalam event tersebut sebagian besar berasal dari Sumatera Barat, sedangkan seniman luar Sumbar yang diundang adalah kelompok musik dari Yogyakarta dengan komposer Pincuk, serta Faisal Amri seniman tari asal Sumbar yang saat ini berdomisili di Pulau Batam.

Di samping kegiatan pementasan DKSB juga menggelar seminar dan lokakarya yang terlaksana atas kerjasama DKSB dengan masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Dalam tulisan ini penulis tidak akan membicarakan tentang seminar maupun teater dan musik dengan komposernya, akan tetapi dalam kesempatan ini penulis akan membicarakan soal tari dan koreografernya dengan segala persoalan yang ada.

Dengan mengamati dari delapan repertoar tari selama sepekan, secara umum yang dikagumi dari koreografer kita di Sumbar saat ini adalah semangat mereka. Kita perlu mengacungkan jempol kepada koreografer-koreografer kita tersebut, lebih-lebih yang dianggap sudah mapan seperti Ibu Syofiani dan Ibu Zuriati Zubir. Memang sepertinya kegiatan Pentas Tari kali ini secara tidak sengaja menampilkan potret dari ibu-ibu (Bundo Kanduang), karena lima dari delapan koreografer adalah wanita.

Dengan tidak merasa risih koreografer Syofiani Yusaf tetap komit dengan prinsip berkeseniannya di tengah hiruk pikuknya nuansa kontemporer. Begitu juga Zuriati Zubir menganggap usia bukanlah halangan untuk berkreativitas.

Sedangkan menengok profil koreografer lainnya, rata-rata mereka masih muda dan memiliki intensitas yang tinggi terhadap dunia tari. Seperti halnya judul dari tulisan kali ini adalah "Mencari Identitas dalam Miskinnya Produktivitas". Titel ini sengaja penulis pilih mengingat realitas yang tampak dalam berbagai karya koreografi dalam event tersebut.

Pertunjukan tari pada hari pertama menampilkan koreografer Angga Djamar, Ninon Syofia, Zuriati Zubir, dan Syofiani Yusaf. Angga Djamar seorang koreografer muda debutan Nan Jombang Group menampilkan karya dengan titel The hope becomes a dream. Secara teknis Angga Djamar cukup menguasai suasana penonton. Karya Angga memang berangkat dari sebuah teknik yang mapan dan sangat akrab dengan Angga sendiri. Dalam menguasai performance Angga cukup berhasil, karena disain dramatik yang dibangun sesuai dengan tipe maupun bentuk penyajian dan tarian berjalan dengan kesan tidak terputus secara emosional. Akan tetapi dari segi koreografi, Angga belum sepenuhnya berhasil ini disebabkan persoalan-persoalan yang diinginkan Angga tidak muncul di atas panggung.

Namun ada yang disayangkan, dengan motivasi yang sangat bagus Angga belum memiliki identias bahkan karya Angga tidak produktif. Ada kesan karya Angga merupakan sebuah potongan set dari gurunya Ery Mefri. Kita perlu menanti identitas Angga pada masa datang.

Seperti halnya Angga, Zuriati Zubir juga terjebak dengan kemampuan teknis penari utamanya Joni Andra dan Deslenda. Melihat set yang ditampilkan Zuriati angan saya melayang jauh, seakan-akan sayapun ikut menari, namun sayang Zuriati sepertinya bimbang dengan konsepnya. Keinginan untuk membawa teori Doris Humprey sangat kuat, hal hasil Zuriati menyelipkan juga konfigurasi-konfigurasi konvensional.

Dengan kekuatan Deslenda dan Joni Andra diramu dengan penari yang diset dengan skematis konvensional, Zuriati sepertinya kehilangan identitasnya selama ini. Zuriati termasuk pencetus vocabulary gerak stakato dengan sangat mengutamakan karakteristik Minangkabau dan persoalan ke Minangkabauan, namun dalam karya tari ini Zuriati seperti tidak setia dengan dirinya. Namun ada yang dipujikan pada Zuriati ia masih produktif di masa tua.

Ninon Syofia masih terikat dengan pola almamaternya dalam mendisain tari dramatik bercerita. Pola yang sering dimainkan oleh STSI Surakarta kemudian melintas ke STSI Padang Panjang, ternyata menjadi identitas bagi seniman tari STSI Padang Panjang. Sebut saja Zulkifli dan Syaiful Herman dalam "Kau dan Aku". Antara Syaiful dan Ninon sangat dekat sekali begitu juga dengan Susarita Lora. Namun sebagai seniman Ninon masih produktif, akan tetapi Ninon perlu keluar dari kungkungan tradisi STSI agar Ninon bisa bicara dengan dirinya sendiri.

Bercerita tentang kesetiaan dan identitas adalah Syofiani orangnya. Syofiani tidak merasa canggung dengan menampilkan karya tari kreasi yang monumental. Karya tersebut sebetulnya kurang sesuai dengan tema kegiatan yang bertajuk "spirit tradisi dalam seni pertunjukkan kontemporer". Sedangkan dalam karya Syofiani tidak ada identitas kontemporer, karya Syofiani adalah karya tari monumental. Akan tetapi sebagai insan tari kita pantas hormat kepada beliau, di mana karena beliau kita bisa ada seperti ini.

Syofiani adalah sebuah identitas lain dari percaturan tari Sumatera Barat, seperti kata Asril, S. Kar, M.Hum., kita bernostalgia dengan tampilnya karya Syofiani. Di sisi lain kita berharap ada peningkatan produktivitas dari Syofiani, ternyata yang tampil tetap muka lama. Namun kita berharap Ibu Syofiani tetap berproduksi di usia senjanya.

Tampilan hari kedua untuk tari menampilkan koreografer Filhamzah dari Indojati Group dan Lesmandri dari Group Limpapeh Batusangkar. Lesmandri adalah salah satu orang kepercayaan legendaris Gusmiati Suid. Saking percayanya Gusmiati kepada Lesmandri itu terlihat dalam karyanya. Les masih seperti halnya Angga Djamar. Identias Gusmiati sangat begitu kuat dalam karya Lesmandri, walaupun dibantu oleh Nurul, Les belum bisa lepas dari bayang-bayang Buk Yet. Baik dari segi koreografi maupun dari teknik Lesmandri merupakan reinkarnasi dari Buk Yet, walaupun tidak sedasyat Buk Yet. Dari segi produktivitas Les juga tidak produktif, karya dengan judul Si Upik sudah tidak aktual, sudah berusia lima tahun.

Filhamzah sendiri walaupun agak produktif tapi tidak ada memiliki sikap yang tegas dalam berkarya. Apakah mau jalur tari kreasi atau jalur serius (kontemporer). Filhamzah terkadang agak labil, dan sering terbawa arus trend koreografer lain. Masalah identitas adalah masalah yang urgen bagi Filhamzah. Di samping itu Filhamzah harus banyak bereksplorasi terhadap pencarian identitas, mumpung masih muda. Akan tetapi Filhamzah mempunyai spirit yang kuat terhadap ke Minangkabauan, tinggal bagaimana menyusun koreografi yang pas sesuai dengan identitasnya.

Deslenda yang tergolong agak berpengalaman dari panggung kontemporer tampil di hari terakhir. Deslenda mengusung karya yang juga bukan baru, karya tersebut sudah lebih dari tiga event ditampilkan, termasuk terakhir di IDF 2002. Kita berharap dengan usia yang masih muda Len agak produktif, namun kenyataan lain yang kita saksikan. Deslenda begitu juga Faisal kuat dengan teknik, namun untuk menyusun sebuah koreografi Len terkendala dengan memilih simbol-simbol yang akan dikomposisikan.

Dengan arti kata ada kesan dialog yang dilakukan Len adalah suatu penjelasan dari isi cerita tarinya. Akhirnya Deslenda tidak berbicara apa-apa dengan simbol tarinya. Padahal gagasannya bagus dan aktual, namun dalam menggarapan koreografi ada kesan tidak menyambungnya antara simbol dan pemaknaan simbol. Pada bagian lain kita berharap agar Deslenda dapat menjadi dirinya seutuhnya dengan mencopot atribut Gusmiati, karena Len sendiri pernah dekat dengan Buk Yet. Kita salut pada Deslenda dalam keadaan duka ia tetap kokoh dan terus berkarya dan berkesenian.

Karya yang terakhir penulis ulas adalah buah karya Faisal Amri. Sebagai orang muda yang optimistis Faisal pantas diberi bimbingan, kebetulan Faisal pernah menjadi salah seorang mahasiswa penulis di FBSS, UNP. Faisal Amri sangat kuat dengan artistik dan kaya dengan vocab tradisinya sama halnya dengan Filhamzah. Hanya saja Faisal lemah dengan gagasan. Lihat saja tarinya yang bertajuk perempuan, yang hanya melihat perempuan dari aksen saja.

Dari segi teknik Faisal tak ubah Lesmandri dan Deslenda ketiga orang ini memiliki identias yang sama, karena memang berakar pada muara yang sama. Faisal juga akhir-akhir ini kurang produktif. Tapi dia selalu membuat kita berdecak kagum dengan permainan ruangnya, tak ubah seperti karya entertaiment.

Semoga saja kita menemukan identitas yang jelas dari para koreografer kita dan di samping itu selalu tetap eksis dan produktif walaupun di usia senja. Karena kita kaya dengan sumber material maupun karya dengan talenta-talenta koreografer kita. Ini harapan kita bersama.***

*Penulis adalah Dosen FBSS UNP, Pengamat Sosial Budaya dan Koreografer*

Tidak ada komentar: